Lahan untuk Investasi Harus Dipermudah

Selasa, 29 Juni 2021 - 06:01 WIB
loading...
Lahan untuk Investasi Harus Dipermudah
Ketersediaan lahan masih menjadi kendala investasi di daerah. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Persoalan lahan kerap menjadi hambatan bagi para investor untuk merealisasikan investasinya di Tanah Air. Masalah klasik ini masih saja ditemui beriringan dengan persoalan regulasi yang berbelit serta perizinan.

Rumitnya persoalan lahan ini setidaknya diakui oleh Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pekan lalu. Secara terbuka dia menyatakan bahwa ketersediaan lahan di daerah masih menjadi penghambat masuknya investasi.

Bahlil pun menyatakan ingin ada pembagian yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah (pemda) karena daerah yang mengetahui persis kondisi di lapangan. Dia bercerita, fakta masih sulitnya menyelesaikan lahan di daerah dibuktikannya beberapa minggu lalu saat dia turun langsung menyelesaikan masalah lahan untuk calon investor di kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung, Sulawesi Utara (Sulut).


Tak hanya di Bitung, pria kelahiran 1976 itu menemukan hal serupa di KEK Palu, Sulawesi Tengah.
“KEK jangan menjadi kawasan industri tanah. Perlu ada formulasi kebijakan untuk menarik tenant ke KEK Palu. Ini harus kita selesaikan bila perlu kita akan membuat kebijakan investasi yang memberikan insentif lebih dibandingkan KEK lain,” ujarnya seperti dikutip dari SINDONews.

Anggota Komite Investasi Kementerian Investasi Rizal Calvary Marimbo mengungkapkan masalah pengadaan lahan ini masuk tiga masalah besar dalam menarik investasi. Dua masalah lainnya, adalah regulasi dan perizinan. Keduanya, menurut dia, sudah mulai teratasi dengan hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan Inpres No 7/2019 Tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

Rizal menjelaskan, dengan aturan itu dan adanya nomor standar prosedur dan kriteria (NSPK) akan memberikan kepastian kepada investor. Perizinan yang selama ini menghambat akan mudah.


“Kita tahu masalah lahan itu (ada) mafia tanah begitu luar biasa. Begitu ada perencanaan pembangunan di sini, tiba-tiba tanah di sekitar sudah naik,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Senin (28/6).

Dia menyebutkan Kementerian Investasi saat ini sedang membenahi hambatan dalam pengadaan lahan. Salah satu yang sukses dan sering dijadikan contoh adalah kawasan industri Batang, Jawa Tengah. Kawasan ini menurutnya adalah yang paling efisien dan mudah untuk memperoleh lahan.

Kementerian Investasi sudah meminta ke pengelola kawasan dan daerah agar investor tidak dibiarkan berjibaku dan bernegosiasi langsung dengan pemilik lahan. Investor asing tentu kesulitan karena tidak menguasai lapangan. Rizal mengatakan pihaknya berjanji akan membangun infrastruktur, seperti jalan, komunikasi, air bersih, listrik, dan lainnya, di kawasan industri.


Wakil Ketua Umum Kadin Johnny Darmawan menceritakan bahwa masalah lain yang sering menghambat investasi adalah ketidakpastian hukum. Lahan, menurutnya, banyak tersedia tetapi yang siap dibangun pabrik atau manufaktur itu tidak mudah. Sekalinya ada lahan, akan tapi infrastruktur pendukung, seperti listrik dan air bersih tidak memadai.

Namun, ujar dia, gelontoran fulus dari investor saat ini sepertinya belum mengalir deras. Masalah pandemi Covid-19 menjadi salah satu alasan investor tak berani jor-joran. Pada kuartal I tahun ini, investasi yang masuk baru Rp219 triliun, atau 25% dari target investasi Rp900 triliun.

“Investor diduga masih wait and see dengan memperharikan praktek dari UU Ciptaker di lapangan,” katanya.

Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Sanny Iskandar mengatakan, kawasan industri sangat dibutuhkan dalam program hilirisasi industri. Hilirisasi tersebut dimaksudkan untuk mendapat nilai tambah produk bahan mentah, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja, dan memberi peluang usaha di Indonesia.

"Memang diharapkan setiap kabupaten kota harus ada kawasannya, karena sesuai dengan Undang-Undang Perindustrian No 3/2014 dan turunannya PP No 142/2015 industri manufaktur baru wajib berlokasi di dalam kawasan industri. Kalau di luar masalahnya akan banyak terkait masalah pencemaran lingkungan, tata ruang, infrastruktur yang belum siap dan sebagainya," katanya.

Namun, untuk membuat sebuah kawasan daerah harus memiliki kompetensi inti daripada industri ekonomi di daerahnya. Saat ini, kata dia, sudah ada 99 kawasan industri yang beroperasi dan tersebar di seluruh willayah Indonesia dengan total area mencapai 94.887.22 hektare.

Sanny menambahkan, ada beberapa persoalan dan hambatan yang dihadapi oleh kawasan industri, yakni regulasi, ketenagakerjaan, infrastruktur utilitas dan logistik, serta fasilitas perpajakan dan insentif. Selain itu, ada juga masalah pertanahan dan tata ruang wilayah, dan gangguan masyarakat.

Persoalan lain yang cukup menantang adalah terkait kompetensi inti industri di daerah, serta perlunya membentuk entitas manajemen kawasan ekonomi. Selain itu kawasan industri juga harus mampu mengelola kawasan agar menarik investor lewat mitra strategis serta penyediaan infrastruktur dan utilitas pendukung.

“Kawasan yang dibangun perlu dibekali koneksi dengan infrastruktur dasar seperti pembangkit listrik, sumber daya air, akses jalan, dan transportasi. Sementara di dalam kawasan, diperlukan instalasi pengelolaan air bersih, air limbah, dan sebagainya,” kata dia

Pengamat ekonomi Fadhil Hasan mengungkapkan, ketersediaan lahan memang selalu masalah dalam investasi. Hal itu terjadi karena ada beberapa kemungkinan antara lain sedikitnya lahan yang dikuasai negara karena sebagian besar sudah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.

“Kedua, investasi tersebut ada di bidang sumberdaya alam yang memerlukan lahan luas. Dan ketiga, proses mendapatkan lahan tersebut tidak transparan dan akuntabel, serba tidak pasti, jadi membyat sulit investasi,” kata dia.

Untuk itu, kata Fadhil, dalam UU Cipta Kerja pemerintah ingin memiliki Land Bank (bank tanah) yang nantinya akan mengatur semua proses dan mekanisme pengadaan lahan untuk investasi secara lebih baik.

“Tapi saya tidak tahu kemajuan dari lembaga tersebut,” katanya.

Ekonom Ryan Kiryanto menilai, sesungguhnya sejak dulu isu investasi di Indonesia adalah masalah ketersediaan lahan. Padahal, lahan sangat penting untuk mendukung kegiatan operasional ketika investasi sudah dilaksanakan oleh pelaku usaha.

Ryan menggariskan, untuk ketersediaan lahan investasi di daerah kuncinya ada pada koordinasi dan sinergi bersama antara pemerintah pusat melalui Kementerian Investasi/BKPM dengan para pelaku usaha dan seluruh pemerintah daerah (pemda).

“Dulu koordinasi itu kurang smooth. Musababnya, pemerintah pusat memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tetapi RPJMN tersebut tidak diturunkan atau diadopsi oleh pemda-pemda terutama di tingkat I yakni provinsi,” katanya.

Dia menilai, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kemudian RPJMN dibahas dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang mana Presiden mengumpulkan para gubernur, bupati, dan wali kota. Dengan Musrenbangnas, Presiden mendorong agar para kepala daerah bersama-sama mengerjakan pekerjaan yang sama dan selaras dari pusat hingga daerah.

Dia membeberkan, data Kementerian Investasi/BKPM bahwa di luar Jawa selama kuartal I/2021 porsi investasinya 52,1 % menunjukkan bahwa pembangunan dan investasi telah mengarah ke pemerataan. Ryan mengatakan, ada beberapa pemicu mengapa investasi ke luar Jawa makin dominan.

“Ini berarti investor domestik atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun investor asing atau Penanam Modal Asing (PMA) telah sadar, bahwa orientasi politik pembangunan ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Pak Jokowi adalah luar Jawa atau bahasa lainnya adalah Indonesia sentris," ungkapnya.

Ryan menjelaskan, para investor baik domestik maupun asing tentu menyadari bahwa banyak potensi ekonomi unggulan di berbagai daerah. Jenis potensi ekonomi unggulan tersebut misalnya di Sumatera adalah perkebunan, di Kalimantan adalah pertambangan, di Indonesia timur seperti Sulawesi dan Maluku yakni perikanan dan sebagian kecil pertambangan, dan di Indonesia timur seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yakni pariwisata.

"Nah, semua itu sudah dipetakan di PSN, Proyek Strategis Nasional, di mana salah satu titik dengan titik yang lain saling terintegrasi. Jadi misalnya kalau bangun infrastruktur di Sumatera Utara, itu harus menopang pariwisata Danau Toba. Kemudian dalam membangun infrastruktur di Mataram, Lombok, dan Labuan Haji, itu harus sesuai dengan yang ada di sana," tegas Ryan.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1868 seconds (0.1#10.140)