Menakar Peluang Ritel Online di Masa PPKM Darurat

Sabtu, 03 Juli 2021 - 05:56 WIB
loading...
Menakar Peluang Ritel Online di Masa PPKM Darurat
Iklim bisnis industri ritel kembali mendapat tantangan di masa PPKM Darurat. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3-20 Juli 2021 menjadi ujian yang kesekian kalinya bagi industri ritel Tanah Air. Di saat mulai ada geliat di pusat-pusat perbelanjaan setelah melewati aneka pembatasan sebelumnya, peritel kini harus kembali mengerem karena meluasnya pandemi dan penyebaran virus yang sangat cepat.

Kini, pilihan konsumen pada platform belanja online pun menjadi keniscayaan. Beruntung, sekarang tersedia berbagai kanal belanja secara online yang bisa dimanfaatkan. Perlahan tapi pasti, tren ini pun berpeluang terus meningkat karena pandemi Covid-19 masih belum diketahui kapan akan berakhir.

Melihat hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Fernando Repi mengungkapkan bahwa kontribusi penjualan daring sejauh ini baru mencapai 5% sampai 6% dari total penjualan sektor ritel.

Dia pun tidak memungkiri bahwa kontribusi tersebut masih rendah dan belum dapat menyubstitusi capaian penjualan luring yang terdisrupsi selama pandemi.

"Tapi kami perkirakan tahun depan kontribusinya bisa mencapai lebih dari 20%," ungkapnya kemarin.

Fernando mengemukakan bahwa pemanfaatan big data dan teknologi akan memengaruhi perilaku konsumen yang saat ini banyak berbelanja melalui omnichannel. Tentu hal ini juga berpengaruh pada format toko ritel yang disebut Fernando akan lebih padat lagi. "Ke depan kami melihat format toko besar akan berkurang. Akan lebih banyak small compact store dengan ukuran kurang dari 1.000 meter persegi karena masyarakat lebih nyaman berbelanja lewat omnichannel," lanjutnya.

Adapun segmen ritel yang berpotensi mengalami lonjakan penjualan daring adalah produk busana sebagai dampak dari pemulihan ekonomi. Fernando memperkirakan pertumbuhannya bisa lebih tinggi dari segmen fast moving consumer goods (FMCG).

Selain itu, ada beberapa strategi yang disiapkan pelaku usaha dalam menghadapi masa adaptasi baru, yaitu dengan meningkatkan kolaborasi antara perusahaan teknologi guna mengoptimalisasi pembayaran digital dan pengiriman barang.

"Diperkirakan masa adaptasi ini akan terus berkembang selama dua sampai tiga tahun mendatang," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja tidak memungkiri bahwa kehadiran online shop bisa dijadikan alternatif para peritel untuk meningkatkan penjualan. Guna menghadapi tantangan ini, dia mengatakan pelaku usaha harus menyiapkan sejumlah alternatif.

Menurut Alphonsus, survival mode tidak bisa hanya bertahan, melainkan juga harus berinovasi. Inovasi meliputi produk dan layanan. Dia mencontohkan, saat ini banyak produk yang di-bundling dengan mempertimbangkan kebiasaan baru akibat serangan virus korona.

Contohnya, kopi yang dijual dalam kemasan satu liter dianggap menjadi jawaban kebutuhan konsumen yang tidak bisa minum kopi di kafe karena kebijakan social ditancing. Ada pula industri garmen yang membuat pakaian nyaman untuk di rumah.

Frozen food juga menawarkan hal yang sama sehingga konsumen bisa menyetok kebutuhan makanan hariannya. Dari segi pelayanan, inovasi berarti memperluas pasar karena orang tidak lagi terpaku pada in store karena bisa membeli secara daring.

"Industri ritel di Indonesia harus mulai memanfaatkan AI dan big data sehingga tetap memiliki kedekatan emosi dengan konsumen tanpa harus bertatap muka secara langsung," ucapnya.

Namun, yang menjadi catatannya adalah aturan perundang-undangan Indonesia terhadap ritel daring dan luring yang dinilai pilih kasih. "Online itu kan relatif bebas pajak, bebas kewajiban macam-macam sehingga harga jual mereka bisa jauh lebih murah daripada offline," ungkapnya.

Alphonsus menekankan, tidak adanya aturan yang setara atau level playing field antara produk yang dijual online dan offline menjadi hal yang sangat merugikan bagi peritel offline. Kehadiran ritel daring pada dasarnya tantangan biasa yang harus dihadapi seiring perkembangan zaman. Karena itu, pascapandemi ritel luring harus mampu berinovasi untuk kembali menggaet pasar yang sempat tergerus.

Meski saat ini tren belanja daring tengah meningkat, menurut Alphonsus ritel luring masih memiliki nilai khusus bagi masyarakat, yang memang tetap membutuhkan interaksi sosial satu sama lain. Bagaimanapun, seseorang tidak akan bisa terus menerus bergantung penuh pada sistem daring.

Hal yang tepat agar peritel bisa bertahan di tengah masifnya laju tren daring yaitu dapat mengubah konsep mal bukan lagi fungsi utamanya sebagai pusat belanja (shopping), melainkan harus menyertakan fungsi lain. Di Singapura dan Hong Kong, misalnya, menjadikan mal sebagai hub koneksi dengan transportasi umum atau hunian.

"Tergantung kreativitas masing-masing pengelola mal untuk membuat fungsi baru, fungsi tambahan, sehingga masyarakat punya pilihan alternatif yang beda dari sekadar dunia maya," tuturnya.

Di lain pihak, ‎Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Bima Laga mengungkapkan, tren berbelanja online mengalami peningkatan karena tren masyarakat untuk membeli kebutuhan telah bergeser dari langsung membeli ke toko menjadi belanja daring.

"Tren belanja online meningkat ketika perayaan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada Desember 2020. Walau di tengah pandemi, transaksi belanja daring selalu meningkat setiap bulannya," ungkap Bima.

Sejauh ini, Bima menjelaskan sejak masa awal pandemi tren dan belanja daring sebenarnya masih bagus dan terus meningkat. Terlebih ditambah festival diskon yang diadakan setiap bulan seperti 11.11, 12.12, 6.6. Pergelaran festival belanja online ini dibuat oleh pelaku industri e-commerce untuk mendorong perputaran kegiatan ekonomi di Indonesia.

Kegiatan perekonomian saat ini dinilai Bima kurang stabil akibat pandemi Covid-19 dan platform e-commerce melancarkan strateginya masing-masing untuk mendukung pelaku bisnis UMKM dan konsumen melalui promo yang hadir.

"Namun, untuk proyeksi kenaikannya sendiri kami belum bisa menyebutkan karena belum ada data. Namun, jika berkaca pada pergelaran Harbolnas 11.11 dan 12.12 tahun lalu, menurut Nielsen transaksi bisa mencapai Rp9,1 triliun, maka bisa saja di perhelatan 7.7 nanti akan ada peningkatan," katanya saat dihubungi KORAN SINDO.

Walau masih terjadi penurunan daya beli, Bima menyatakan pembelian produk pokok seperti pakaian dan makanan masih menduduki kategori penjualan tertinggi. Tidak hanya itu, di masa pandemi pembelian barang yang menunjang sekolah maupun bekerja dari rumah juga tertinggi. Hal ini disusul pula oleh hobi tanaman, bersepeda, hingga mengoleksi hewan piaraan.

Bima pun menyebutkan, bukan tidak mungkin pesta diskon setiap bulan seperti 7.7 dan Harbolnas 11.11 dan 12.12 mendatang akan mendongkrak volume dan transaksi pembelian dibandingkan tahun lalu. "Kami yakin bisa meningkatkan pembelian produk lokal lebih dari 51% sebagaimana capaian tahun lalu," kata Bima.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1898 seconds (0.1#10.140)