Ribuan Anak Jadi Yatim Piatu, Amalia Ulfa: Hidup Saya Hancur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat orang tua Amalia Ulfa meninggal karena COVID , dia merasa hidupnya seperti hampa. "Saya merasa hidup saya hancur berkeping-keping," ungkap dia seperti dikutip dari ABCNews, Minggu (22/8).
Ayahnya, Karwita, meninggal di rumah tanggal 10 Juli, tujuh hari setelah dinyatakan positif COVID. Dua hari kemudian, ibunya, Yulis Sukaryati yang dirawat di rumah sakit karena COVID juga meninggal. "Saya dekat sekali sama mama, ke manapun pergi saya selalu menemaninya," kata Amalia lagi.
Amalia yang berusia 24 tahun kini tinggal bersama adiknya yang baru berusia empat tahun, Raffa Abdul Maulana di Kampung Samaran, Garut, Jawa Barat. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Amalia tidak bisa meninggalkan rumah karena harus mengasuh adiknya yang tidak mau ditinggal, sementara ketiga kakaknya tinggal berjauhan.
Saat ini, ia hanya mengandalkan pendapatan dari usaha kecil keluarganya yaitu menjual tabung gas untuk memasak. Sebelumnya, Amalia yang adalah lulusan D3 bahasa Inggris ini pernah kerja selama beberapa bulan di pabrik dan sebulan sebelum orang tuanya meninggal ia bekerja di sebuah hotel di Garut. "Penghasilan dari jualan tabung gas ini tidak akan cukup untuk hidup sehari-hari," katanya.
Kementerian Sosial Indonesia sejauh ini memperkirakan adanya 11.045 anak yang kehilangan satu atau kedua orang tua semasa pandemi. Perkiraan itu dari data yang dikumpulkan sampai akhir Juli, dengan melihat jumlah kematian di kalangan warga Indonesia yang berusia antara 19 sampai 45 tahun. “Kalau misalkan rata-rata satu keluarga itu meninggalkan satu anak maka estimasinya seperti itu,” kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial Kanya Eka Santi.
Kanya mengatakan jumlah anak yang kehilangan orang tua terbanyak adalah di Jawa Timur, yakni 792 orang disusul Yogyakarta dan Jawa Barat, dengan masing-masing sekitar 500 anak-anak. “Di tempat-tempat lain itu masih dalam proses pengumpulan yang saya kira kalau kita mempertimbangkan 34 provinsi, maka angka itu bisa cukup tinggi.”
Namun beberapa lembaga independen, seperti Kawal COVID-19 dan Warga Bantu Warga memperkirakan angkanya melebihi 50 ribu orang, yang nantinya bisa menjadi korban karena meninggalnya orangtua mereka. Erinda Pratiwi kehilangan ibunya karena COVID di Bantul, Yogyakarta beberapa bulan lalu setelah ayahnya juga meninggal tiga tahun sebelumnya.
Setelah kehilangan ibunya, Erinda tinggal bersama kakaknya, tapi dalam dua bulan terakhir Erinda belajar di Pondok Pesantren Ngrukem di Bantul. Di Pondok Pesantren, komunikasi dengan keluarga memang dibatasi. Namun Erinda betah di sana karena ada dikelilingi teman-teman sebaya.
"Waktu di rumah saya kadang sedih melihat dia sebagai adik saya, walau saya juga memiliki anak-anak yang tidak beda jauh usianya dengan Erinda," kata Ari, kakak Erinda kepada ABC Indonesia. "Pengetahuan agama kami tidak cukup. Kami juga khawatir Erinda karena tidak memiliki orang tua lagi. Sejauh ini dia kerasan di pondok pesantren," kata Ari mengenai alasan mengirimkan adiknya ke pondok pesantren.
Menurut Camat Banguntapan, Drs Fauzan Mu'arifin, di mana Erinda tinggal, sejauh ini ada 146 anak di Kecamatannya yang kehilangan orang tua mereka karena COVID.
Fauzan mengatakan mereka sedang berusaha melakukan pendataan untuk mencarikan bantuan, karena khawatir dengan masa depan anak-anak yang kehilangan orangtuanya.
"Anak-anak ini berpotensi putus sekolah, terlantar dan juga memicu pelaku kriminal," katanya kepada ABC.
Dengan jumlah kematian sudah melebihi 120 ribu orang sejauh ini di Indonesia, para pekerja sosial mengkhawatirkan jumlah anak-anak yatim piatu yang perlu mendapat bantuan pengasuhan maupun yang lain akan terus meningkat.
Dalam dua pekan terakhir, lembaga Save the Children Indonesia sudah membantu setidaknya 30 anak yatim piatu. Mereka juga memberikan bantuan keuangan kepada keluarga yang mengasuh anak-anak tersebut.
“[Penting] bagi anak-anak ini tinggal dengan keluarga yang mereka kenal, bukan di panti asuhan, karena sebenarnya panti asuhan itu adalah pilihan terakhir,” kata Dino Satria, kepala program bidang kemanusiaan di organisasi tersebut.
“Anak-anak ini perlu tetap merasa aman, nyaman, dekat, dan percaya diri dengan keluarga yang mereka kenal.”
Dino mengatakan anak-anak yang kehilangan kedua orang tuanya, khususnya selama pandemi menghadapi sejumlah risiko sosial dan psikologis. "Anak-anak yang kehilangan kedua orangtuanya ini rentan mengalami kesedihan mendalam, bahkan bisa menjadi depresi dan stress, tidak mendapat perlakuan yang baik,” katanya.
“Dan [ada] risiko tinggi untuk dinikahkan sejak dini dan juga dieksploitasi … apalagi kalau anak-anak ini jatuh ke tangan yang orang yang tidak bertanggung jawab.”
Kanya dari Kemensos RI mengatakan pernikahan anak-anak di bawah umur sudah terjadi selama ini di beberapa bagian di Indonesia sebagai salah satu cara keluarga untuk lepas dari tanggung jawab dalam mengurusi mereka.
“Proses yang dilakukan pekerja sosial di lapangan adalah untuk mencegah. Bahkan kita berusaha menyampaikan bahwa itu adalah situasi yang buruk sekali untuk anak,” katanya.
“Tapi kalau memang ada kasus-kasusnya di lapangan seperti itu, itu adalah bagian dari keterbatasan kami karena memang tenaga Kemensos sedikit, tapi juga memang ada kebiasaan yang juga sulit sekali dikendalikan di kita di mana hal-hal seperti itu adalah jalan pintas yang diambil,” kata dia.
Ratusan Anak Minta Bantuan
Permintaan bantuan juga diiterima sebuah gerakan independen bernama Kawal Masa Depan.
Sejak diluncurkan tiga minggu lalu, organisasi tersebut sudah mendapat bantuan lebih dari Rp1 miliar lewat penggalangan dana secara online.
Dalam jangka panjang, mereka bermaksud memberikan dukungan kepada 10 ribu anak yatim piatu, dan sejauh ini sudah mendapatkan 600 permintaan bantuan. Kalis Mardiasih, seorang relawan yang membantu program tersebut, mengatakan inisiatif mereka terfokus pada pendidikan dan kebutuhan sehari-hari anak-anak yatim piatu.
“Di batch pertama itu kan fungsinya merespon masa krisis. Jadi kita kasih satu juta rupiah bentuknya, baik yang santunan maupun beasiswa pendidikan,” katanya. “Asumsinya adalah ya biar mereka bisa lanjut makan, biar bisa melanjutkan hidup."
“Tapi sebetulnya yang nantinya lulus batch 1 itu akan kita follow up untuk jangka panjangnya. Jadi harapan-harapan lebih lanjutnya itu yang nanti diverifikasi lagi dan kita mulai buat mikirin kualitas pendidikannya.”
Organisasi itu juga berusaha berhubungan langsung dengan anak-anak dan keluarga yang masih mengasuh mereka, dan tidak sekedar kontak lewat media sosial. “Nah, kita itu menyadari keterbatasan, karena enggak semua orang connect social media, apalagi di masa krisis kan?” katanya.
“Yang klaster keluarga, di kampung-kampung, anak masih SD sekarang sebatang-kara sama nenek-kakeknya, misalnya, ini kita udah berjejaring sama salah satu kolaborator kita.”
Kalis mengatakan tanggung jawab untuk melindungi anak-anak tersebut sebenarnya adalah pada negara, namun proses administratifnya terhitung "lama".
“Kita tetap menuntut kepada negara untuk melakukan yang terbaik … cuma kita sadar bahwa ini tuh masa krisis. Kita berangkat dari kesadaran itu, jadi keluarga-keluarga masih pada kacau ngurusin anggota keluarganya yang sakit, masih pada clueless (kebingungan),” katanya. “Kita menyadari di masa krisis apa pun, inisiatif-inisiatif kebaikan dari masyarakat itu kan selalu ada pasti," kata dia.
Lihat Juga: Ikuti Kebijakan Pusat, Pemprov DKI Jakarta Pastikan Program Bansos Tidak Berkaitan dengan Masa Pilkada
Ayahnya, Karwita, meninggal di rumah tanggal 10 Juli, tujuh hari setelah dinyatakan positif COVID. Dua hari kemudian, ibunya, Yulis Sukaryati yang dirawat di rumah sakit karena COVID juga meninggal. "Saya dekat sekali sama mama, ke manapun pergi saya selalu menemaninya," kata Amalia lagi.
Amalia yang berusia 24 tahun kini tinggal bersama adiknya yang baru berusia empat tahun, Raffa Abdul Maulana di Kampung Samaran, Garut, Jawa Barat. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Amalia tidak bisa meninggalkan rumah karena harus mengasuh adiknya yang tidak mau ditinggal, sementara ketiga kakaknya tinggal berjauhan.
Saat ini, ia hanya mengandalkan pendapatan dari usaha kecil keluarganya yaitu menjual tabung gas untuk memasak. Sebelumnya, Amalia yang adalah lulusan D3 bahasa Inggris ini pernah kerja selama beberapa bulan di pabrik dan sebulan sebelum orang tuanya meninggal ia bekerja di sebuah hotel di Garut. "Penghasilan dari jualan tabung gas ini tidak akan cukup untuk hidup sehari-hari," katanya.
Kementerian Sosial Indonesia sejauh ini memperkirakan adanya 11.045 anak yang kehilangan satu atau kedua orang tua semasa pandemi. Perkiraan itu dari data yang dikumpulkan sampai akhir Juli, dengan melihat jumlah kematian di kalangan warga Indonesia yang berusia antara 19 sampai 45 tahun. “Kalau misalkan rata-rata satu keluarga itu meninggalkan satu anak maka estimasinya seperti itu,” kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial Kanya Eka Santi.
Kanya mengatakan jumlah anak yang kehilangan orang tua terbanyak adalah di Jawa Timur, yakni 792 orang disusul Yogyakarta dan Jawa Barat, dengan masing-masing sekitar 500 anak-anak. “Di tempat-tempat lain itu masih dalam proses pengumpulan yang saya kira kalau kita mempertimbangkan 34 provinsi, maka angka itu bisa cukup tinggi.”
Namun beberapa lembaga independen, seperti Kawal COVID-19 dan Warga Bantu Warga memperkirakan angkanya melebihi 50 ribu orang, yang nantinya bisa menjadi korban karena meninggalnya orangtua mereka. Erinda Pratiwi kehilangan ibunya karena COVID di Bantul, Yogyakarta beberapa bulan lalu setelah ayahnya juga meninggal tiga tahun sebelumnya.
Setelah kehilangan ibunya, Erinda tinggal bersama kakaknya, tapi dalam dua bulan terakhir Erinda belajar di Pondok Pesantren Ngrukem di Bantul. Di Pondok Pesantren, komunikasi dengan keluarga memang dibatasi. Namun Erinda betah di sana karena ada dikelilingi teman-teman sebaya.
"Waktu di rumah saya kadang sedih melihat dia sebagai adik saya, walau saya juga memiliki anak-anak yang tidak beda jauh usianya dengan Erinda," kata Ari, kakak Erinda kepada ABC Indonesia. "Pengetahuan agama kami tidak cukup. Kami juga khawatir Erinda karena tidak memiliki orang tua lagi. Sejauh ini dia kerasan di pondok pesantren," kata Ari mengenai alasan mengirimkan adiknya ke pondok pesantren.
Menurut Camat Banguntapan, Drs Fauzan Mu'arifin, di mana Erinda tinggal, sejauh ini ada 146 anak di Kecamatannya yang kehilangan orang tua mereka karena COVID.
Fauzan mengatakan mereka sedang berusaha melakukan pendataan untuk mencarikan bantuan, karena khawatir dengan masa depan anak-anak yang kehilangan orangtuanya.
"Anak-anak ini berpotensi putus sekolah, terlantar dan juga memicu pelaku kriminal," katanya kepada ABC.
Dengan jumlah kematian sudah melebihi 120 ribu orang sejauh ini di Indonesia, para pekerja sosial mengkhawatirkan jumlah anak-anak yatim piatu yang perlu mendapat bantuan pengasuhan maupun yang lain akan terus meningkat.
Dalam dua pekan terakhir, lembaga Save the Children Indonesia sudah membantu setidaknya 30 anak yatim piatu. Mereka juga memberikan bantuan keuangan kepada keluarga yang mengasuh anak-anak tersebut.
“[Penting] bagi anak-anak ini tinggal dengan keluarga yang mereka kenal, bukan di panti asuhan, karena sebenarnya panti asuhan itu adalah pilihan terakhir,” kata Dino Satria, kepala program bidang kemanusiaan di organisasi tersebut.
“Anak-anak ini perlu tetap merasa aman, nyaman, dekat, dan percaya diri dengan keluarga yang mereka kenal.”
Dino mengatakan anak-anak yang kehilangan kedua orang tuanya, khususnya selama pandemi menghadapi sejumlah risiko sosial dan psikologis. "Anak-anak yang kehilangan kedua orangtuanya ini rentan mengalami kesedihan mendalam, bahkan bisa menjadi depresi dan stress, tidak mendapat perlakuan yang baik,” katanya.
“Dan [ada] risiko tinggi untuk dinikahkan sejak dini dan juga dieksploitasi … apalagi kalau anak-anak ini jatuh ke tangan yang orang yang tidak bertanggung jawab.”
Kanya dari Kemensos RI mengatakan pernikahan anak-anak di bawah umur sudah terjadi selama ini di beberapa bagian di Indonesia sebagai salah satu cara keluarga untuk lepas dari tanggung jawab dalam mengurusi mereka.
“Proses yang dilakukan pekerja sosial di lapangan adalah untuk mencegah. Bahkan kita berusaha menyampaikan bahwa itu adalah situasi yang buruk sekali untuk anak,” katanya.
“Tapi kalau memang ada kasus-kasusnya di lapangan seperti itu, itu adalah bagian dari keterbatasan kami karena memang tenaga Kemensos sedikit, tapi juga memang ada kebiasaan yang juga sulit sekali dikendalikan di kita di mana hal-hal seperti itu adalah jalan pintas yang diambil,” kata dia.
Ratusan Anak Minta Bantuan
Permintaan bantuan juga diiterima sebuah gerakan independen bernama Kawal Masa Depan.
Sejak diluncurkan tiga minggu lalu, organisasi tersebut sudah mendapat bantuan lebih dari Rp1 miliar lewat penggalangan dana secara online.
Dalam jangka panjang, mereka bermaksud memberikan dukungan kepada 10 ribu anak yatim piatu, dan sejauh ini sudah mendapatkan 600 permintaan bantuan. Kalis Mardiasih, seorang relawan yang membantu program tersebut, mengatakan inisiatif mereka terfokus pada pendidikan dan kebutuhan sehari-hari anak-anak yatim piatu.
“Di batch pertama itu kan fungsinya merespon masa krisis. Jadi kita kasih satu juta rupiah bentuknya, baik yang santunan maupun beasiswa pendidikan,” katanya. “Asumsinya adalah ya biar mereka bisa lanjut makan, biar bisa melanjutkan hidup."
“Tapi sebetulnya yang nantinya lulus batch 1 itu akan kita follow up untuk jangka panjangnya. Jadi harapan-harapan lebih lanjutnya itu yang nanti diverifikasi lagi dan kita mulai buat mikirin kualitas pendidikannya.”
Organisasi itu juga berusaha berhubungan langsung dengan anak-anak dan keluarga yang masih mengasuh mereka, dan tidak sekedar kontak lewat media sosial. “Nah, kita itu menyadari keterbatasan, karena enggak semua orang connect social media, apalagi di masa krisis kan?” katanya.
“Yang klaster keluarga, di kampung-kampung, anak masih SD sekarang sebatang-kara sama nenek-kakeknya, misalnya, ini kita udah berjejaring sama salah satu kolaborator kita.”
Kalis mengatakan tanggung jawab untuk melindungi anak-anak tersebut sebenarnya adalah pada negara, namun proses administratifnya terhitung "lama".
“Kita tetap menuntut kepada negara untuk melakukan yang terbaik … cuma kita sadar bahwa ini tuh masa krisis. Kita berangkat dari kesadaran itu, jadi keluarga-keluarga masih pada kacau ngurusin anggota keluarganya yang sakit, masih pada clueless (kebingungan),” katanya. “Kita menyadari di masa krisis apa pun, inisiatif-inisiatif kebaikan dari masyarakat itu kan selalu ada pasti," kata dia.
Lihat Juga: Ikuti Kebijakan Pusat, Pemprov DKI Jakarta Pastikan Program Bansos Tidak Berkaitan dengan Masa Pilkada
(nng)