BI dan Pemerintah Berbagi Beban Utang Membuka Ruang Fiskal APBN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah mengapresiasi, kerja kolaboratif antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam rangka berbagi beban utang bersama atau burden sharing khususnya dalam menyerap Surat Berharga Negara (SBN) .
Kesepakatan baru yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Jilid III berdampak positif, yakni berkurangnya beban bunga utang yang akan ditanggung oleh pemerintah. Hal ini berkontribusi pada penambahan ruang fiskal APBN ke depan.
“Saya selaku Ketua Banggar DPR memberikan apresiasi atas tercapainya kesepakatan burden sharing ini, sekaligus bangga terhadap kemauan bergotong-royong dari BI, bahkan kontribusi gotong-royongnya sejak awal pandemi. Saya juga memberikan apresiasi kepada saudari Menkeu atas kerja kerasnya mencari banyak breakthrough menghadapi tahun-tahun fiskal yang sulit ini,” ujar Said di Jakarta, Selasa (24/8/2021).
Menurutnya, ketidakpastian ekonomi domestik sangat tinggi seiring pandemi Covid-19 yang masih belum berlalu. Setidaknya selama tiga tahun anggaran sejak 2020-2022, Indonesia tak kuasa menghindarkan diri dari pembiayaan utang.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini menjelaskan pada 2020, Indonesia bergantung pada pembiayaan utang sebesar Rp1.229,62 triliun dan pada 2021 pemerintah memperkirakan kebutuhan pembiayaan utang sebesar Rp 961,5 triliun.
Namun tingginya kebutuhan terhadap pembiayaan utang berdampak panjang. Salah satunya, beban bunga utang yang harus dipikul dikemudian hari. Termasuk pada tahun-tahun sulit akibat pandemi Covid19 dan dampak ekonominya ini berupa beban pokok dan utang pada tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, Debt Service Ratio (DSR) terus naik.
“DSR kita pada tahun 2020 sebesar 46,42%, tahun 2021 naik ke level 49,9% dan pada 2022 diperkirakan naik ke level 51,93%,” terangnya.
Namun di tengah tekanan pembayaran pokok dan bunga utang ini, pemerintah dan BI telah membagi beban bersama. Terbaru, BI dan Pemerintah telah membuat kesepakatan baru melalui SKB Jilid III.
“Saya kira, burden sharing ini sangat positif. Apalagi, ini didesain dengan mengacu pada pengelolaan fiskal moneter yang prudent, kredibel dan integritas,” imbuhnya.
Berdasarkan SKB Jilid III ini, BI berkontribusi pada seluruh biaya bunga untuk biaya vaksinasi dan penanganan kesehatan melalui skema privat placement. BI akan menyerapnya dengan maksimum limit Rp 58 triliun pada tahun 2021 dan Rp40 triliun pada 2022 dengan mempertimbangkan neraca BI.
Selain itu, jumlah pembelian SBN oleh BI dan jumlah penerbitan SBN dengan pembayaran kontribusi BI, dapat dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan pembiayaan Anggaran Penanganan Kesehatan dan Kemanusiaan serta kondisi keuangan BI dengan kesepakatan tertulis antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari SKB III.
Said menjelaskan, ada dua dampak positif dengan burden sharing ini yakni, Pertama, bila tanpa burden sharing ini, rasio belanja bunga terhadap PDB 2021 diperkirakan 2,4%. Namun, dengan burden sharing dua tahun sekaligus 2021 dan 2022 rasio belanja bunga terhadap PDB akan turun ke posisi 2,21% PDB.
Besaran rasio belanja bunga terhadap PDB ini akan terus turun pada tahun 2022 menjadi 2,19% PDB. Tetapi bila tanpa burden sharing lebih tinggi dari 2021 sebesar 2,43% PDB.
Dengan burden sharing ini secara linier akan terus terjadi penurunan rasio belanja bunga terhadap PDB ditahun tahun mendatang. Misalnya 2023 menjadi 2,25% PDB bila tanpa burden sharing posisinya 2,49% PDB, 2024 rasio belanja bunga dengan burden sharing menjadi 2,22%, dan bila tanpa burden sharing akan ke level 2,44% PDB.
Kedua, bukan hanya rasio belanja bunga yang akan turun dengan burden sharing ini. Bahkan rasio belanja bunga terhadap belanja negara juta ikut turun. Bila tanpa burden sharing, rasio belanja bunga terhadap belanja negara sebesar 14,7%. Tetapi dengan burden sharing turun menjadi 13,5%.
“Demikian pula 2022 bila tanpa burden sharing rasio belanja bunga terhadap belanja negara sebesar 16,2%, pada 2023 sebesar 18,0%, pada 2024 sebesar 17,7% dan 2025 sebesar 17,3%,” ulasnya.
Tetapi dengan intervensi burden sharing secara linier rasio belanja bunga terhadap belanja negara akan turun, di 2022 sebesar 14,6%, pada 2023 sebesar 16,3%, sedangkan pada 2024 sebesar 16,1% dan 2025 turun ke level 15,9%.
“Ke depan, saya berharap kerja sama seperti ini makin dieratkan, terutama dalam kedudukannya BI dan Menteri Keuangan sebagai anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), bersama OJK dan LPS,” jelasnya.
Politisi senior PDI Perjuangan ini mengatakan, saling mengisi ruang dan memitigasi bersama-sama terus dikuatkan, agar segala resiko terhadap kondisi sistem keuangan kedepan terantisipasi dengan baik.
“Semoga kerja sama, gotong royong ini menginspirasi banyak kementerian/lembaga lainnya, sekaligus memupuk modal semangat segera mengakhiri pandemi Covid19, dan menyosong kehidupan sosial dan ekonomi yang pulih seperti sedia kala,” tutupnya.
Kesepakatan baru yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Jilid III berdampak positif, yakni berkurangnya beban bunga utang yang akan ditanggung oleh pemerintah. Hal ini berkontribusi pada penambahan ruang fiskal APBN ke depan.
“Saya selaku Ketua Banggar DPR memberikan apresiasi atas tercapainya kesepakatan burden sharing ini, sekaligus bangga terhadap kemauan bergotong-royong dari BI, bahkan kontribusi gotong-royongnya sejak awal pandemi. Saya juga memberikan apresiasi kepada saudari Menkeu atas kerja kerasnya mencari banyak breakthrough menghadapi tahun-tahun fiskal yang sulit ini,” ujar Said di Jakarta, Selasa (24/8/2021).
Menurutnya, ketidakpastian ekonomi domestik sangat tinggi seiring pandemi Covid-19 yang masih belum berlalu. Setidaknya selama tiga tahun anggaran sejak 2020-2022, Indonesia tak kuasa menghindarkan diri dari pembiayaan utang.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini menjelaskan pada 2020, Indonesia bergantung pada pembiayaan utang sebesar Rp1.229,62 triliun dan pada 2021 pemerintah memperkirakan kebutuhan pembiayaan utang sebesar Rp 961,5 triliun.
Namun tingginya kebutuhan terhadap pembiayaan utang berdampak panjang. Salah satunya, beban bunga utang yang harus dipikul dikemudian hari. Termasuk pada tahun-tahun sulit akibat pandemi Covid19 dan dampak ekonominya ini berupa beban pokok dan utang pada tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, Debt Service Ratio (DSR) terus naik.
“DSR kita pada tahun 2020 sebesar 46,42%, tahun 2021 naik ke level 49,9% dan pada 2022 diperkirakan naik ke level 51,93%,” terangnya.
Namun di tengah tekanan pembayaran pokok dan bunga utang ini, pemerintah dan BI telah membagi beban bersama. Terbaru, BI dan Pemerintah telah membuat kesepakatan baru melalui SKB Jilid III.
“Saya kira, burden sharing ini sangat positif. Apalagi, ini didesain dengan mengacu pada pengelolaan fiskal moneter yang prudent, kredibel dan integritas,” imbuhnya.
Berdasarkan SKB Jilid III ini, BI berkontribusi pada seluruh biaya bunga untuk biaya vaksinasi dan penanganan kesehatan melalui skema privat placement. BI akan menyerapnya dengan maksimum limit Rp 58 triliun pada tahun 2021 dan Rp40 triliun pada 2022 dengan mempertimbangkan neraca BI.
Selain itu, jumlah pembelian SBN oleh BI dan jumlah penerbitan SBN dengan pembayaran kontribusi BI, dapat dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan pembiayaan Anggaran Penanganan Kesehatan dan Kemanusiaan serta kondisi keuangan BI dengan kesepakatan tertulis antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari SKB III.
Said menjelaskan, ada dua dampak positif dengan burden sharing ini yakni, Pertama, bila tanpa burden sharing ini, rasio belanja bunga terhadap PDB 2021 diperkirakan 2,4%. Namun, dengan burden sharing dua tahun sekaligus 2021 dan 2022 rasio belanja bunga terhadap PDB akan turun ke posisi 2,21% PDB.
Besaran rasio belanja bunga terhadap PDB ini akan terus turun pada tahun 2022 menjadi 2,19% PDB. Tetapi bila tanpa burden sharing lebih tinggi dari 2021 sebesar 2,43% PDB.
Dengan burden sharing ini secara linier akan terus terjadi penurunan rasio belanja bunga terhadap PDB ditahun tahun mendatang. Misalnya 2023 menjadi 2,25% PDB bila tanpa burden sharing posisinya 2,49% PDB, 2024 rasio belanja bunga dengan burden sharing menjadi 2,22%, dan bila tanpa burden sharing akan ke level 2,44% PDB.
Kedua, bukan hanya rasio belanja bunga yang akan turun dengan burden sharing ini. Bahkan rasio belanja bunga terhadap belanja negara juta ikut turun. Bila tanpa burden sharing, rasio belanja bunga terhadap belanja negara sebesar 14,7%. Tetapi dengan burden sharing turun menjadi 13,5%.
“Demikian pula 2022 bila tanpa burden sharing rasio belanja bunga terhadap belanja negara sebesar 16,2%, pada 2023 sebesar 18,0%, pada 2024 sebesar 17,7% dan 2025 sebesar 17,3%,” ulasnya.
Tetapi dengan intervensi burden sharing secara linier rasio belanja bunga terhadap belanja negara akan turun, di 2022 sebesar 14,6%, pada 2023 sebesar 16,3%, sedangkan pada 2024 sebesar 16,1% dan 2025 turun ke level 15,9%.
“Ke depan, saya berharap kerja sama seperti ini makin dieratkan, terutama dalam kedudukannya BI dan Menteri Keuangan sebagai anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), bersama OJK dan LPS,” jelasnya.
Politisi senior PDI Perjuangan ini mengatakan, saling mengisi ruang dan memitigasi bersama-sama terus dikuatkan, agar segala resiko terhadap kondisi sistem keuangan kedepan terantisipasi dengan baik.
“Semoga kerja sama, gotong royong ini menginspirasi banyak kementerian/lembaga lainnya, sekaligus memupuk modal semangat segera mengakhiri pandemi Covid19, dan menyosong kehidupan sosial dan ekonomi yang pulih seperti sedia kala,” tutupnya.
(akr)