Pengusaha Ritel Sebut Peningkatan PPN Bisa Picu Kembali PHK Massal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan peningkatan tarif maupun penerapan multi-tarif pajak pertambahan nilai (PPN) saat pandemi kurang tepat lantaran bisnis ritel modern sedang terpuruk.
"Hampir 1.500 gerai ritel modern berhenti beroperasi dalam kurung waktu 18 bulan terakhir. Kami menilai kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dari 10% menjadi 12% akan berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat," kata Roy dalam keterangan yang diterima MNC News Portal Indonesia MPI, Kamis (26/8/2021).
Menurutnya, Pada kuartal II 2021 konsumsi rumah tangga masih dominan dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan sumbangan mencapai 55,07% pertumbuhan domestik bruto.
"Kenaikan tarif pajak akan meningkatkan laju inflasi seiring dengan kenaikan harga barang. Peningkatan pajak multi-tarif juga akan membebani masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai 5%, padahal sebelumnya mereka tidak terkena pajak,” tambahnya.
Lebih lanjut dia menambahkan situasi itu akan lebih tergerus lagi saat dikenakan sistem multi-tarif terendah 5% dan tertinggi 15%.
Selain itu, dampak perbedaan multi-tarif berpotensi membangunkan pasar gelap yang menjadi pilihan utama konsumen maupun peningkatan belanja barang di luar negeri yang harganya lebih bersaing.
"Pajak minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor, termasuk peritel yang mengalami kerugian, sehingga melakukan langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai yang berdampak hilangnya investasi hingga PHK massal," pungkasnya.
Roy meminta penangguhan pemberlakuan pajak penghasilan minimal satu persen terhadap pendapatan kotor perusahaan yang berstatus rugi.
"Hampir 1.500 gerai ritel modern berhenti beroperasi dalam kurung waktu 18 bulan terakhir. Kami menilai kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dari 10% menjadi 12% akan berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat," kata Roy dalam keterangan yang diterima MNC News Portal Indonesia MPI, Kamis (26/8/2021).
Menurutnya, Pada kuartal II 2021 konsumsi rumah tangga masih dominan dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan sumbangan mencapai 55,07% pertumbuhan domestik bruto.
"Kenaikan tarif pajak akan meningkatkan laju inflasi seiring dengan kenaikan harga barang. Peningkatan pajak multi-tarif juga akan membebani masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai 5%, padahal sebelumnya mereka tidak terkena pajak,” tambahnya.
Lebih lanjut dia menambahkan situasi itu akan lebih tergerus lagi saat dikenakan sistem multi-tarif terendah 5% dan tertinggi 15%.
Selain itu, dampak perbedaan multi-tarif berpotensi membangunkan pasar gelap yang menjadi pilihan utama konsumen maupun peningkatan belanja barang di luar negeri yang harganya lebih bersaing.
"Pajak minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor, termasuk peritel yang mengalami kerugian, sehingga melakukan langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai yang berdampak hilangnya investasi hingga PHK massal," pungkasnya.
Roy meminta penangguhan pemberlakuan pajak penghasilan minimal satu persen terhadap pendapatan kotor perusahaan yang berstatus rugi.
(uka)