Boikot China Terhadap Australia Telah Mengalihkan Arus Batubara Global
loading...
A
A
A
BEIJING - Sejak China melakukan boikot tidak resmi terhadap batubara Australia, pada Oktober lalu dalam eskalasi besar perang dagang kedua negara. Hal itu membuat arus batubara global telah mengalami perombakan besar.
Sementara impor batubara Australia oleh China telah secara efektif turun menjadi nol, di sisi lain impor dari negara lain telah melonjak untuk mengisi kesenjangan. Bagaimanapun, batubara membentuk hampir 60% dari konsumsi energi China, sehingga pasokan yang stabil sangat penting untuk keamanan energi negara itu.
Australia sendiri merupakan eksportir batubara metalurgi (atau kokas) terbesar di dunia, yang digunakan untuk membuat baja. Sedangkan, Indonesia adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, yang digunakan terutama di pembangkit listrik, dengan Australia mengikuti di urutan kedua.
Sementara itu China sejauh ini merupakan importir batubara terbesar di dunia diikuti oleh India dan Jepang. Dikutip dari qz.com, boikot China tersebut menjadi keuntungan bagi dua negara ini yakni India dan Indonesia.
Ketika ekspor batubara metalurgi Australia ke China anjlok, India melangkah ke depan untuk mengambil pasokan Australia. Menurut data dari perusahaan pelacakan komoditas Kpler. Pembelian tersebut telah dibuat lebih murah mengingat boikot China, menurut para analis.
India juga meningkatkan pembelian batubara termal Australia. Pada bulan April, India mencetak rekor pembelian jumlah batubara termal dari Australia, sebagian dibantu oleh harga yang lebih menarik dibandingkan dengan batubara yang sama dari Afrika Selatan, menurut perusahaan penetapan harga komoditas Argus Media.
Selain India serta Korea Selatan, lalu Taiwan juga membantu mengimbangi sebagian penurunan ekspor batubara termal Australia ke China. Australia juga mengirim lebih banyak batubara termal ke Jepang, dimana ekspor tercatat meningkat lebih dari 60% dari 4,96 Mt pada Oktober menjadi 7,98 Mt pada Januari, menurut data dari Kpler.
Peningkatan pembelian dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan terkait dengan pemulihan aktivitas industri (pdf) setelah kebijakan lockdown akibat pandemi pada paruh pertama tahun 2020.
Sementara itu, China telah beralih ke produsen utama lainnya untuk memuaskan kebutuhannya akan batubara, bahkan ketika terus menolak Australia. Di sini, para pemenangnya adalah AS, Kanada, dan Rusia yang mampu menyediakan batubara metalurgi berkualitas tinggi untuk pembuatan baja.
Namun, China harus membayar harga yang lebih tinggi untuk batubara kokas AS, di samping biaya pengiriman lebih besar tentunya mengingat jarak yang lebih jauh. Impor batubara kokas dan termal dari Rusia juga melonjak, karena Moskow tengah memperluas pangsa pasarnya di Asia.
Rusia meningkatkan produksi batubara dan menggelontorkan miliaran dolar ke dalam peningkatan rel kereta api untuk mengangkut batubara ke pelabuhan di timur jauh. Sementara itu target China menjadi negara netral karbon pada tahun 2060, berarti pada akhirnya akan dipaksa untuk memangkas konsumsi batubaranya.
Tetapi seperti yang dikatakan seorang pejabat senior di badan perencanaan negara China, saat ini "tidak punya pilihan lain" selain mengandalkan batubara sebagai sumber listrik yang dapat diandalkan. Sementara itu, larangan China terhadap batubara Australia dapat berlangsung "lebih lama" (paywall) dari yang diperkirakan sebelumnya, menurut konsultan energi Wood Mackenzie.
Sementara Goldman Sachs memperkirakan, larangan itu bahkan mungkin tetap berlaku selama beberapa tahun ke depan. Sampai sumber energi lain, termasuk energi terbarukan, terdiri dari bagian yang lebih besar dari total konsumsi energi negara itu, China akan tetap menjadi importir utama batubara - dan setiap gangguan perdagangan yang ditimbulkannya akan beriak di seluruh industri batubara global.
Sementara impor batubara Australia oleh China telah secara efektif turun menjadi nol, di sisi lain impor dari negara lain telah melonjak untuk mengisi kesenjangan. Bagaimanapun, batubara membentuk hampir 60% dari konsumsi energi China, sehingga pasokan yang stabil sangat penting untuk keamanan energi negara itu.
Australia sendiri merupakan eksportir batubara metalurgi (atau kokas) terbesar di dunia, yang digunakan untuk membuat baja. Sedangkan, Indonesia adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, yang digunakan terutama di pembangkit listrik, dengan Australia mengikuti di urutan kedua.
Sementara itu China sejauh ini merupakan importir batubara terbesar di dunia diikuti oleh India dan Jepang. Dikutip dari qz.com, boikot China tersebut menjadi keuntungan bagi dua negara ini yakni India dan Indonesia.
Ketika ekspor batubara metalurgi Australia ke China anjlok, India melangkah ke depan untuk mengambil pasokan Australia. Menurut data dari perusahaan pelacakan komoditas Kpler. Pembelian tersebut telah dibuat lebih murah mengingat boikot China, menurut para analis.
India juga meningkatkan pembelian batubara termal Australia. Pada bulan April, India mencetak rekor pembelian jumlah batubara termal dari Australia, sebagian dibantu oleh harga yang lebih menarik dibandingkan dengan batubara yang sama dari Afrika Selatan, menurut perusahaan penetapan harga komoditas Argus Media.
Selain India serta Korea Selatan, lalu Taiwan juga membantu mengimbangi sebagian penurunan ekspor batubara termal Australia ke China. Australia juga mengirim lebih banyak batubara termal ke Jepang, dimana ekspor tercatat meningkat lebih dari 60% dari 4,96 Mt pada Oktober menjadi 7,98 Mt pada Januari, menurut data dari Kpler.
Peningkatan pembelian dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan terkait dengan pemulihan aktivitas industri (pdf) setelah kebijakan lockdown akibat pandemi pada paruh pertama tahun 2020.
Sementara itu, China telah beralih ke produsen utama lainnya untuk memuaskan kebutuhannya akan batubara, bahkan ketika terus menolak Australia. Di sini, para pemenangnya adalah AS, Kanada, dan Rusia yang mampu menyediakan batubara metalurgi berkualitas tinggi untuk pembuatan baja.
Namun, China harus membayar harga yang lebih tinggi untuk batubara kokas AS, di samping biaya pengiriman lebih besar tentunya mengingat jarak yang lebih jauh. Impor batubara kokas dan termal dari Rusia juga melonjak, karena Moskow tengah memperluas pangsa pasarnya di Asia.
Rusia meningkatkan produksi batubara dan menggelontorkan miliaran dolar ke dalam peningkatan rel kereta api untuk mengangkut batubara ke pelabuhan di timur jauh. Sementara itu target China menjadi negara netral karbon pada tahun 2060, berarti pada akhirnya akan dipaksa untuk memangkas konsumsi batubaranya.
Tetapi seperti yang dikatakan seorang pejabat senior di badan perencanaan negara China, saat ini "tidak punya pilihan lain" selain mengandalkan batubara sebagai sumber listrik yang dapat diandalkan. Sementara itu, larangan China terhadap batubara Australia dapat berlangsung "lebih lama" (paywall) dari yang diperkirakan sebelumnya, menurut konsultan energi Wood Mackenzie.
Sementara Goldman Sachs memperkirakan, larangan itu bahkan mungkin tetap berlaku selama beberapa tahun ke depan. Sampai sumber energi lain, termasuk energi terbarukan, terdiri dari bagian yang lebih besar dari total konsumsi energi negara itu, China akan tetap menjadi importir utama batubara - dan setiap gangguan perdagangan yang ditimbulkannya akan beriak di seluruh industri batubara global.
(akr)