Revisi PP Tembakau Harus Mempertimbangkan Kesejahteraan Petani

Jum'at, 10 September 2021 - 18:38 WIB
loading...
Revisi PP Tembakau Harus...
Revisi PP Nomor 109/2012 soal tembakau harus mempertimbangkan kesejahteraan petani. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Polemik rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan saat ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satunya adalah langkah Kementerian Kesehatan yang menempuh mekanisme revisi menggunakan izin prakarsa langsung kepada Presiden Joko Widodo melalui Sekretariat Kabinet karena rencana perubahan PP 109/2012 tidak tercantum dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2021 karena didorong sejumlah LSM asing.

Keppres 4/2021 adalah daftar peraturan pemerintah yang masuk prioritas pembahasan tahun ini. Daftar tersebut sejenis dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ditetapkan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait pembentukan atau revisi sebuah undang undang.



Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) mengatakan sejauh ini tidak ada urgensi revisi PP 109/2012. Kebijakan ini masih relevan digunakan dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.

"Pembahasan peraturan yang menggunakan Izin Prakarsa sebaiknya hanya terkait hal-hal yang sifatnya sangat mendesak seperti berbagai kebijakan penanganan krisis akibat pandemi Covid-19,"kata Hikmahanto dalam diskusi MNC TriJaya FM seperti dikutip melalui keterangannya, Jumat (10/9/2021).

Terlebih dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021, revisi PP 109 Tahun 2021 tidak memenuhi sejumlah hal seperti pembulatan suara antar K/L dan aspek harmonisasi.

Saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja. Dalam kasus rencana revisi PP 109/2012, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, hingga penerimaan negara.

Hikmahanto menegaskan isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan.

PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan namun merupakan titik temu berbagai kepentingan. Maka itu K/L terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif. Selain itu, naskah akademis sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan.

Polemik berkepanjangan revisi PP 109/2012 yang menguras energi pemerintah semestinya tidak perlu terjadi saat Indonesia sedang berjibaku menghadapi pandemi.

"Kementerian Kesehatan harus kita dukung untuk fokus menyelesaikan pandemi dan memperkuat berbagai kebijakannya. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas revisi PP 109/2012 ini," tegas Hikmahanto.

IHT Indonesia melibatkan lebih dari 6 juta pekerja dan mata rantainya hulu ke hilir, setiap negara yang berdaulat pasti memiliki pertimbangan terkait kebijakan yang diterapkannya dan tidak semata-mata mengikuti tekanan dari luar. Revisi PP 109/2012 akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga menyampaikan perspektif kebijakan publik yang baik, penyusunan atau revisi sebuah peraturan pemerintah perlu disusun secara kolaboratif dan partisipatif dari masyarakat. Ia menilai proses revisi PP 109/2012 tidak memenuhi aspek tersebut, lantaran dilakukan dengan sangat tertutup tanpa adanya keterlibatan publik, maupun pihak-pihak terkait seperti petani, buruh rokok.

"Apa urgensinya melakukan revisi PP 109/2012? Saya juga tidak setuju revisi ini, secara asas penyusunan regulasi ini melanggar aspek transparansi, karena prosesnya sangat tertutup dan tidak melibatkan banyak stakeholders yang terdampak langsung terhadap revisi ini," kata dia.



Tanpa adanya konsultasi dan partisipasi publik dan regulasi yang diciptakan dinilai Trubus juga tak akan efektif, karena akan memicu penolakan dari publik saat implementasinya. Pemerintah disebut Trubus juga perlu menghentikan pola menerbitkan regulasi dengan cara testing the water, menerbitkan regulasi serampangan dan kemudian membatalkannya saat diprotes publik.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1889 seconds (0.1#10.140)