DPR Usulkan Pentingnya Peta Jalan untuk Kesejahteraan Petani Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Usaha tani tembakau mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak. Di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, usaha tani tembakau menjadi primadona masyarakat. Serapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 671 HOK (Hari Kerja Orang) per musim tanam, dibandingkan dengan usaha tani padi hanya 130 HOK.
Dalam keterangan tertulisnya, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB Nur Nadhifah mengatakan, dari banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan pada usaha tembakau, tidak kurang dari 50% di antaranya adalah buruh tani perempuan.
(Baca juga:Memahami Protes Petani Tembakau)
Di sisi lain, industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian. Selain menyumbang pendapatan negara, sektor ini juga memperkuat penyerapan tenaga kerja, terutama perempuan.
Mayoritas pekerja di sektor IHT didominasi perempuan. Berdasarkan data BPS (2017), tercatat bahwa 86% dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau berasal dari kaum perempuan.
(Baca juga:Revisi PP Tembakau Harus Mempertimbangkan Kesejahteraan Petani)
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan bahwa kebanyakan pekerja di industri rokok kretek tangan adalah perempuan. Mereka menjadikan IHT sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga.
Nur Nadhifah mengatakan, pemerintah perlu membuat peta jalan kesejahteraan petani tembakau yang selama ini menjadi mata rantai penting terhadap pendapatan negara. “Kita membutuhkan kebijakan integratif, lintas kementerian yang melindungi sektor IHT karena menyerap banyak tenaga kerja, pendapatan negara dan sektor paling resilient terhadap Covid- 19,” katanya saat menjadi narasumber pada acara Istighotsah Koalisi Tembakau di Pondok Pesantren Al-Amanan Bagik Nyaka Santri, Lombok Timur, Minggu (12/9/2021).
(Baca juga:Penolakan Kenaikan Cukai Tembakau Semakin Meluas)
Menurutnya, saat ini, kondisi perekonomian masih belum stabil sehingga daya beli masyarakat akan menurun. Jika cukai dinaikkan, imbasnya bakal terjadi efisiensi pengeluaran dengan memangkas sejumlah komponen, baik dari komponen produksi maupun tenaga kerja atau PHK. “Kita akan mendorong aturan sektor IHT tidak berubah setiap tahunnya agar kesejahteraan pekerja atau petani tembakau bisa terwujud,” katanya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, alokasi Dana Bagi Hasil Cukai harus didistribusikan sebesar-besarnya untuk petani tembakau melalui program dan belanja modal sehingga petani tembakau bisa sejahtera.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), saat ini jumlah pabrikan rokok yang beroperasi di Indonesia berjumlah 700-an, mulai dari pabrik skala kecil sampai industri besar yang mempekerjakan jutaan tenaga kerja.
(Baca juga:Presdir Sampoerna Bersuara: Kondisi Industri Hasil Tembakau Masih Sangat Rentan)
Kemenperin mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang dan didominasi perempuan. Adapun komposisinya terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.
Sementara itu, pada 2018 IHT menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai sekitar Rp180 triliun dan pajaknya Rp190 triliunan. “Jadi hampir 10% APBN kita itu didanai oleh IHT,” katanya.
Dalam keterangan tertulisnya, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB Nur Nadhifah mengatakan, dari banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan pada usaha tembakau, tidak kurang dari 50% di antaranya adalah buruh tani perempuan.
(Baca juga:Memahami Protes Petani Tembakau)
Di sisi lain, industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian. Selain menyumbang pendapatan negara, sektor ini juga memperkuat penyerapan tenaga kerja, terutama perempuan.
Mayoritas pekerja di sektor IHT didominasi perempuan. Berdasarkan data BPS (2017), tercatat bahwa 86% dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau berasal dari kaum perempuan.
(Baca juga:Revisi PP Tembakau Harus Mempertimbangkan Kesejahteraan Petani)
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan bahwa kebanyakan pekerja di industri rokok kretek tangan adalah perempuan. Mereka menjadikan IHT sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga.
Nur Nadhifah mengatakan, pemerintah perlu membuat peta jalan kesejahteraan petani tembakau yang selama ini menjadi mata rantai penting terhadap pendapatan negara. “Kita membutuhkan kebijakan integratif, lintas kementerian yang melindungi sektor IHT karena menyerap banyak tenaga kerja, pendapatan negara dan sektor paling resilient terhadap Covid- 19,” katanya saat menjadi narasumber pada acara Istighotsah Koalisi Tembakau di Pondok Pesantren Al-Amanan Bagik Nyaka Santri, Lombok Timur, Minggu (12/9/2021).
(Baca juga:Penolakan Kenaikan Cukai Tembakau Semakin Meluas)
Menurutnya, saat ini, kondisi perekonomian masih belum stabil sehingga daya beli masyarakat akan menurun. Jika cukai dinaikkan, imbasnya bakal terjadi efisiensi pengeluaran dengan memangkas sejumlah komponen, baik dari komponen produksi maupun tenaga kerja atau PHK. “Kita akan mendorong aturan sektor IHT tidak berubah setiap tahunnya agar kesejahteraan pekerja atau petani tembakau bisa terwujud,” katanya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, alokasi Dana Bagi Hasil Cukai harus didistribusikan sebesar-besarnya untuk petani tembakau melalui program dan belanja modal sehingga petani tembakau bisa sejahtera.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), saat ini jumlah pabrikan rokok yang beroperasi di Indonesia berjumlah 700-an, mulai dari pabrik skala kecil sampai industri besar yang mempekerjakan jutaan tenaga kerja.
(Baca juga:Presdir Sampoerna Bersuara: Kondisi Industri Hasil Tembakau Masih Sangat Rentan)
Kemenperin mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang dan didominasi perempuan. Adapun komposisinya terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.
Sementara itu, pada 2018 IHT menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai sekitar Rp180 triliun dan pajaknya Rp190 triliunan. “Jadi hampir 10% APBN kita itu didanai oleh IHT,” katanya.
(dar)