Xi Jinping Bikin Geger: Stop Bangun PLTU di Luar Negeri, Berdampak ke RI?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan mengejutkan datang dari Presiden China XI Jinping . Ketika berpidato di Majelis Umum PBB, Xi "mendeklarasikan" bahwa negaranya akan berhenti membangun pembangkit listrik energi batu bara atau PLTU di luar negeri.
"China akan meningkatkan dukungan untuk negara-negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi hijau dan rendah karbon, dan tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri," kata Xi dalam rekaman video pada KTT tahunan PBB, dikutip dari BBC, Rabu (22/9/2021).
Keputusan China itu dinilai sebagai sebuah langkah yang sangat penting dalam mengatasi emisi global. Selama ini Negeri Panda itu telah mendanai proyek-proyek pembangkit listrik batu bara di negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan Vietnam. Pembangunan itu masuk dalam proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI).
BRI sendiri merupakan bagian dari program One Belt One Road (OBOR) yang digagas Xi Jinping pada 2013. Tujuannya mengembalikan kejayaan jalur sutra baru yang dulu menjadi rute perdagangan China dengan dunia.
Untuk menggarap proyek ambisius itu China pernah sesumbar akan menyiapkan dana sebesar USD100 miliar hingga USD150 miliar per tahun.
Selama ini program BRI memperlihatkan bahwa China banyak mendanai proyek-proyek infrastruktur, mulai dari kereta api, jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik tenaga batu bara di sejumlah negara. Khusus pembangkit listrik batu bara kebanyakan ada di negara berkembang. Selama hampir satu dekade, pembangkit listrik tenaga batu bara telah menjadi fitur utama investasi asing China di dalam proyek BRI.
Bisa jadi langkah penghentian ini tak lepas dari kejelian Xi Jinping untuk membaca masa depan pembangkit listrik batu bara, dan juga kencangannya tekanan dunia. Seperti dikutip dari Reuters, Center for Research on Energy and Clean Air (CREA)--sebuah organisasi penelitian independen yang berfokus mengungkap tren, penyebab, dan dampak kesehatan, serta solusi untuk polusi udara--dua bulan lalu mengungkap soal proyek pembangkit listrik batu bara yang didanai investor China.
Dalam laporannya CREA menyebut bahwa sejak 2017 proyek pembangkit listrik batu bara yang dibatalkan investor China relatif tinggi. Total proyek yang dibatalkan 4,5 kali lebih banyak dari proyek yang masuk fase konstruksi.
Pembatalan proyek diakibatkan oleh turunnya daya saing batu bara dibandingkan dengan energi terbarukan (EBT) yang semakin terjangkau. CREA berpandangan bahwa gelombang pembatalan proyek pembangunan PLTU menyiratkan suramnya masa depan bagi industri tersebut.
Sejatinya, langkah China mengubah haluannya dari pembangkit listrik batu bara sudah terlihat sejak beberapa waktu lalu. Xi pernah mengeluarkan pernyataan terkait konsumsi batu bara dan pembangkit listrik berpolusi.
April lalu Presiden Xi Jinping mengatakan akan mulai mengurangi konsumsi batu bara pada 2026, dan sepenuhnya berhenti pada 2050. Pernyataan itu langsung ditindaklanjuti oleh Industrial and Commercial Bank of Cina (ICBC), salah satu bank terbesar di China yang selama ini menjadi penyokong utama investasi energi batu bara.
Berbicara pada Pertemuan Musim Semi Forum Keuangan Internasional di Beijing pada 29 Mei, Kepala Ekonom ICBC Zhou Yueqiu mengatakan banknya akan membuat peta jalan dan garis waktu untuk penarikan bertahap pembiayaan batu bara.
Pernyataan Xi Jinping tentu saja menimbulkan reaksi "menggembirakan" sejumlah pihak. Salah satunya Alok Sharma, Ketua Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP26 yang akan diadakan di Skotlandia bulan depan.
"Saya menyambut baik komitmen Presiden Xi untuk berhenti membangun proyek batu bara baru di luar negeri (yang menjadi) topik utama diskusi saya selama kunjungan ke China," kata Alok Sharma lewat akun Twitter-nya.
Keputusan Xi Jinping juga akan mengubah peta investasi global terkait pengurangan emisi karbon. Janji China itu dapat mengurangi investasi sebesar USD50 miliar untuk memangkas emisi karbon di masa depan.
Tak pelak, janji Xi Jinping itu akan berdampak pada harga batu bara secara jangka panjang. Shirley Zhang, analis utama Wood Mackenzie, mengatakan keputusan China itu dapat memengaruhi permintaan dan pasokan di seaborne market dan menekan harga jangka panjang.
Bahkan dampaknya terhadap Indonesia bisa lebih spesifik lagi. Menurut Zhang, proyek yang tidak berkomitmen secara finansial dan sangat bergantung pada investasi asing akan terdampak secara khusus.
"Asumsi kami atas 29 GW proyek batu bara generik di Indonesia setelah 2025 dapat berisiko karena janji China itu, sehingga memaksa lebih banyak pasokan batu bara Indonesia ke pasar ekspor," kata Zhang dikutip dari Woodmac.com.
Janji Xi Jinping jelas menjadi sentimen buruk atas harga batu bara dunia. Pasalnya, di dalam negeri sendiri China juga mengurangi rencana pembangunan pembangkit listrik batu baranya.
Menurut analisis Greenpeace, pada paruh pertama tahun ini pemerintah provinsi China hanya menyetujui pembangunan 24 proyek pembangkit listrik berbasis batu bara baru. PLTU batubara yang disetujui sebesar 5,2GW atau turun sebesar 79% dari kapasitas batu bara yang disetujui pada periode yang sama tahun lalu.
Li Danqing, pemimpin proyek Greenpeace Asia Timur yang berbasis di Beijing, mengatakan para pembuat keputusan China menerima "sinyal yang beragam tentang batu bara". Sejak Presiden Xi Jinping mengumumkan target iklim 2030 yang baru pada bulan April, pemerintah daerah telah memperlambat persetujuan untuk pembangkit listrik baru.
Jika harga batu bara anjlok jelas akan berdampak pada sektor batu bara Indonesia. Batu bara bersama sawit masih menjadi andalan Indonesia untuk mendulang devisa. Apalagi saat ini harga batu bara tengah membara. Agustus kemarin harga batu bara acuan menembus USD130,99 per ton, rekor tertinggi sepanjang satu dekade.
Data BPS menunjukkan di sepanjang semester I tahun ini nilai ekspor nonmigas Indonesia mencapai USD97,06 miliar. Dari angka itu, ekspor batu bara menyumbang sekitar 13,08% atau senilai USD12,70 miliar, tumbuh 35,7% secara tahunan.
China sendiri merupakan salah satu negara pengimpor batu bara terbesar dari Indonesia. Tahun lalu ekspor batu bara ke China mencapai 62 juta ton, tahun 2019 sebanyak 65,67 juta ton, dan 48,14 juta ton di tahun 2018.
Untuk tahun ini Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) memperkirakan ekspor batu bara ke China mencapai 200 juta ton senilai Rp20,6 triliun. Angka itu digadang-gadang usai APBI meneken perjanjian dengan CCTDA (China Coal Transportation and Distribution).
Kini,setelah Xi Jinping mengucap janji, publik dunia fokus pada beberapa pertanyaan? Kapan ini akan berlaku? Apakah akan mencakup pembangkit listrik baru yang disetujui tetapi belum dibangun? Ya kita tunggu lagi kabar mengejutkan dari Xi Jinping.
"China akan meningkatkan dukungan untuk negara-negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi hijau dan rendah karbon, dan tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri," kata Xi dalam rekaman video pada KTT tahunan PBB, dikutip dari BBC, Rabu (22/9/2021).
Keputusan China itu dinilai sebagai sebuah langkah yang sangat penting dalam mengatasi emisi global. Selama ini Negeri Panda itu telah mendanai proyek-proyek pembangkit listrik batu bara di negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan Vietnam. Pembangunan itu masuk dalam proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI).
BRI sendiri merupakan bagian dari program One Belt One Road (OBOR) yang digagas Xi Jinping pada 2013. Tujuannya mengembalikan kejayaan jalur sutra baru yang dulu menjadi rute perdagangan China dengan dunia.
Untuk menggarap proyek ambisius itu China pernah sesumbar akan menyiapkan dana sebesar USD100 miliar hingga USD150 miliar per tahun.
Selama ini program BRI memperlihatkan bahwa China banyak mendanai proyek-proyek infrastruktur, mulai dari kereta api, jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik tenaga batu bara di sejumlah negara. Khusus pembangkit listrik batu bara kebanyakan ada di negara berkembang. Selama hampir satu dekade, pembangkit listrik tenaga batu bara telah menjadi fitur utama investasi asing China di dalam proyek BRI.
Bisa jadi langkah penghentian ini tak lepas dari kejelian Xi Jinping untuk membaca masa depan pembangkit listrik batu bara, dan juga kencangannya tekanan dunia. Seperti dikutip dari Reuters, Center for Research on Energy and Clean Air (CREA)--sebuah organisasi penelitian independen yang berfokus mengungkap tren, penyebab, dan dampak kesehatan, serta solusi untuk polusi udara--dua bulan lalu mengungkap soal proyek pembangkit listrik batu bara yang didanai investor China.
Dalam laporannya CREA menyebut bahwa sejak 2017 proyek pembangkit listrik batu bara yang dibatalkan investor China relatif tinggi. Total proyek yang dibatalkan 4,5 kali lebih banyak dari proyek yang masuk fase konstruksi.
Pembatalan proyek diakibatkan oleh turunnya daya saing batu bara dibandingkan dengan energi terbarukan (EBT) yang semakin terjangkau. CREA berpandangan bahwa gelombang pembatalan proyek pembangunan PLTU menyiratkan suramnya masa depan bagi industri tersebut.
Sejatinya, langkah China mengubah haluannya dari pembangkit listrik batu bara sudah terlihat sejak beberapa waktu lalu. Xi pernah mengeluarkan pernyataan terkait konsumsi batu bara dan pembangkit listrik berpolusi.
April lalu Presiden Xi Jinping mengatakan akan mulai mengurangi konsumsi batu bara pada 2026, dan sepenuhnya berhenti pada 2050. Pernyataan itu langsung ditindaklanjuti oleh Industrial and Commercial Bank of Cina (ICBC), salah satu bank terbesar di China yang selama ini menjadi penyokong utama investasi energi batu bara.
Berbicara pada Pertemuan Musim Semi Forum Keuangan Internasional di Beijing pada 29 Mei, Kepala Ekonom ICBC Zhou Yueqiu mengatakan banknya akan membuat peta jalan dan garis waktu untuk penarikan bertahap pembiayaan batu bara.
Pernyataan Xi Jinping tentu saja menimbulkan reaksi "menggembirakan" sejumlah pihak. Salah satunya Alok Sharma, Ketua Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP26 yang akan diadakan di Skotlandia bulan depan.
"Saya menyambut baik komitmen Presiden Xi untuk berhenti membangun proyek batu bara baru di luar negeri (yang menjadi) topik utama diskusi saya selama kunjungan ke China," kata Alok Sharma lewat akun Twitter-nya.
Keputusan Xi Jinping juga akan mengubah peta investasi global terkait pengurangan emisi karbon. Janji China itu dapat mengurangi investasi sebesar USD50 miliar untuk memangkas emisi karbon di masa depan.
Tak pelak, janji Xi Jinping itu akan berdampak pada harga batu bara secara jangka panjang. Shirley Zhang, analis utama Wood Mackenzie, mengatakan keputusan China itu dapat memengaruhi permintaan dan pasokan di seaborne market dan menekan harga jangka panjang.
Bahkan dampaknya terhadap Indonesia bisa lebih spesifik lagi. Menurut Zhang, proyek yang tidak berkomitmen secara finansial dan sangat bergantung pada investasi asing akan terdampak secara khusus.
"Asumsi kami atas 29 GW proyek batu bara generik di Indonesia setelah 2025 dapat berisiko karena janji China itu, sehingga memaksa lebih banyak pasokan batu bara Indonesia ke pasar ekspor," kata Zhang dikutip dari Woodmac.com.
Janji Xi Jinping jelas menjadi sentimen buruk atas harga batu bara dunia. Pasalnya, di dalam negeri sendiri China juga mengurangi rencana pembangunan pembangkit listrik batu baranya.
Menurut analisis Greenpeace, pada paruh pertama tahun ini pemerintah provinsi China hanya menyetujui pembangunan 24 proyek pembangkit listrik berbasis batu bara baru. PLTU batubara yang disetujui sebesar 5,2GW atau turun sebesar 79% dari kapasitas batu bara yang disetujui pada periode yang sama tahun lalu.
Li Danqing, pemimpin proyek Greenpeace Asia Timur yang berbasis di Beijing, mengatakan para pembuat keputusan China menerima "sinyal yang beragam tentang batu bara". Sejak Presiden Xi Jinping mengumumkan target iklim 2030 yang baru pada bulan April, pemerintah daerah telah memperlambat persetujuan untuk pembangkit listrik baru.
Jika harga batu bara anjlok jelas akan berdampak pada sektor batu bara Indonesia. Batu bara bersama sawit masih menjadi andalan Indonesia untuk mendulang devisa. Apalagi saat ini harga batu bara tengah membara. Agustus kemarin harga batu bara acuan menembus USD130,99 per ton, rekor tertinggi sepanjang satu dekade.
Data BPS menunjukkan di sepanjang semester I tahun ini nilai ekspor nonmigas Indonesia mencapai USD97,06 miliar. Dari angka itu, ekspor batu bara menyumbang sekitar 13,08% atau senilai USD12,70 miliar, tumbuh 35,7% secara tahunan.
China sendiri merupakan salah satu negara pengimpor batu bara terbesar dari Indonesia. Tahun lalu ekspor batu bara ke China mencapai 62 juta ton, tahun 2019 sebanyak 65,67 juta ton, dan 48,14 juta ton di tahun 2018.
Untuk tahun ini Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) memperkirakan ekspor batu bara ke China mencapai 200 juta ton senilai Rp20,6 triliun. Angka itu digadang-gadang usai APBI meneken perjanjian dengan CCTDA (China Coal Transportation and Distribution).
Kini,setelah Xi Jinping mengucap janji, publik dunia fokus pada beberapa pertanyaan? Kapan ini akan berlaku? Apakah akan mencakup pembangkit listrik baru yang disetujui tetapi belum dibangun? Ya kita tunggu lagi kabar mengejutkan dari Xi Jinping.
(uka)