Krakatau Steel Terlilit Utang Rp31 Triliun, Erick Thohir Sentil Proyek Blast Furnace
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proyek peleburan tanur tinggi atau blast furnace milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, (KRAS) kembali disorot, usai Menteri BUMN Erick Thohir membeberkan adanya indikasi korupsi di internal manajemen perusahaan yang lama. Dugaan itu didasarkan pada utang KRAS yang tercatat hingga USD2,2 miliar atau setara Rp31 triliun.
Utang tersebut merupakan utang masa lalu Krakatau Steel, namun proyek blast furnace yang memiliki nilai investasi sebesar USD850 juta itu digadang-gadang ikut berkontribusi terhadap utang emiten pelat merah itu.
Proyek blast furnace sejak sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
"Krakatau Steel punya utang 2 miliar dolar, salah satunya investasi 850 juta kepada proyek blast furnace yang hari ini mangkrak. Ini hal yang nggak bagus," ujar Erick, Selasa (28/9/2021).
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun. Angka ini mengalami pembengkakan Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN berulang-ulang.
Adapun beberapa poin yang diingatkan adalah adanya keterlambatan penyelesaian project blast furnace yang sudah mencapai 72 bulan. Namun usulan ini seperti diabaikan.
Pemegang saham menilai akan sangat sayang jika tidak dilanjutkan sebab, emiten sudah membeli bahan baku yang banyak untuk operasi proyek ini.
Kemudian, Dewan Komisaris Krakatau Steel juga menyampaikan jika Harga Pokok Produksi (HPP) slab yang dihasilkan project blast furnace lebih mahal 82 juta dolar AS bila dibandingkan harga pasar. Jika dilanjutkan untuk diproduksi, 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel sekitar Rp1,3 triliun per tahun.
Dewan Komisaris juga menyampaikan, usulan jika proyek ini merupakan proyek yang dipaksakan beroperasinya hanya untuk dua bulan kemudian akan dimatikan dengan berbagai macam alasan. Dewan Komisaris juga sudah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun audit teknologi untuk mengetahui kehandalannya, keamanannya dan efisien project tersebut.
Di sisi lain, Dewan Komisaris juga mempertanyakan tidak adanya kepastian siapa yang akan bertanggung jawab terhadap proyek ini. Baik itu tanggung jawab secara teknis, maupun kerugian keuangan, yang sayangnya pernyataan tanggung jawab hanya dibuat oleh level manager dari kontraktor.
Utang tersebut merupakan utang masa lalu Krakatau Steel, namun proyek blast furnace yang memiliki nilai investasi sebesar USD850 juta itu digadang-gadang ikut berkontribusi terhadap utang emiten pelat merah itu.
Proyek blast furnace sejak sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
"Krakatau Steel punya utang 2 miliar dolar, salah satunya investasi 850 juta kepada proyek blast furnace yang hari ini mangkrak. Ini hal yang nggak bagus," ujar Erick, Selasa (28/9/2021).
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun. Angka ini mengalami pembengkakan Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN berulang-ulang.
Adapun beberapa poin yang diingatkan adalah adanya keterlambatan penyelesaian project blast furnace yang sudah mencapai 72 bulan. Namun usulan ini seperti diabaikan.
Pemegang saham menilai akan sangat sayang jika tidak dilanjutkan sebab, emiten sudah membeli bahan baku yang banyak untuk operasi proyek ini.
Kemudian, Dewan Komisaris Krakatau Steel juga menyampaikan jika Harga Pokok Produksi (HPP) slab yang dihasilkan project blast furnace lebih mahal 82 juta dolar AS bila dibandingkan harga pasar. Jika dilanjutkan untuk diproduksi, 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel sekitar Rp1,3 triliun per tahun.
Dewan Komisaris juga menyampaikan, usulan jika proyek ini merupakan proyek yang dipaksakan beroperasinya hanya untuk dua bulan kemudian akan dimatikan dengan berbagai macam alasan. Dewan Komisaris juga sudah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun audit teknologi untuk mengetahui kehandalannya, keamanannya dan efisien project tersebut.
Di sisi lain, Dewan Komisaris juga mempertanyakan tidak adanya kepastian siapa yang akan bertanggung jawab terhadap proyek ini. Baik itu tanggung jawab secara teknis, maupun kerugian keuangan, yang sayangnya pernyataan tanggung jawab hanya dibuat oleh level manager dari kontraktor.
(akr)