Milenial Semakin Berat Miliki Rumah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Impian para generasi muda untuk memiliki hunian idaman semakin terkendala mahalnya harga hunian rumah tapak maupun apartemen . Terlebih, hunian yang layak khususnya di tengah kota. Tak hanya di Jakarta, juga di kota besar lainnya seperti Surabaya, Malang, Yogyakarta hingga Bandung.
Pandemi Covid-19 sempat membuat industri properti terperosok cukup dalam. Bahkan, para pengembang memberikan diskon besar-besaran. Pemerintah pun memberikan dukungan dengan memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah tapak dan rumah susun dengan harga maksimal Rp5 miliar.
Namun, mimpi kalangan muda untuk memiliki hunian seolah masih jauh panggang dari api. Pengetatan kredit membuat mereka masih menemukan beragam tantangan yang menghadang. Alhasil, hanya kalangan menengah atas dan para investor yang berkantong tebal yang memanfaatkan kondisi tersebut.
Hal ini bisa terlihat dari data Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) dimana rumah dengan segmen harga Rp2 miliar sangat laris pada April hingga Mei 2021 lalu. Ada peningkatan penjuakan sebesar 15% di segmen yang tentunya tak terjangkau oleh kalangan muda itu. Saat ini, pengembang sedang berusaha menghabiskan stok rumah baru yang ada.
''Rumah stok saat ini masih memiliki harga jual yang sama seperti pada kuartal pertama tahun ini," kata Ketua Umum DPP REI Totok Lusida di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, apabila ada kenaikan harga, Toto menilai hal tersebut bisa dimungkinkan dari penggunaan bahan bangunan tertentu seperti besi, dan baja ringan yang harganya sudah naik.
"Saat ini harga material naik, berarti tren harga hunian naik. Tetapi ini hanya untuk beli rumah baru yang belum dibangun," tuturnya.
Meski begitu, sejatinya masih ada hunian yang ditawarkan dengan harga lebih miring di sejumlah daerah. Totok mengatakan, jika mencarinya di ibu kota Jakarta memang sudah tidak ada lagi rumah tapak baru dengan harga dibawah Rp 500 juta. Kalaupun ada, kondisinya sudah tidak bagus seperti sudah rusak dan tidak memadai.
Baca juga: Harga Rumah Mewah Ini Anjlok dari Rp558 Miliar Jadi Rp66 Miliar, Kok Bisa?
"Biasanya masuk gang sempit. Bangunannya, umumnya sudah rusak dan tidak layak lagi, makanya harga yang ditawarkan cenderung murah," ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Totok hunian terjangkau banyak tersebar di daerah-daerah pinggiran Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan Bogor. Meski berada agak jauh dari kota, perumahan ini sebenarnya layak menjadi pilihan, terlebih lagi ada pembangunan infrastruktur dan integrasi transportasi yang berlangsung masif seperti saat ini.
Sedangkan kota-kota besar di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, dan Kalimantan masih menawarkan hunian murah di puat kota, meskipun lokasinya tidak banyak karena harga lahan yang terjangkau.
"Tahun ini, siklus properti bakal tetap stabil seiring dengan perbaikan ekonomi pasca pandemi. Sehingga permintaan terhadap hunian ramah dikantong tetap ada, bahkan terus meningkat,''sebutnya.
Selain itu, generasi milenial yang sebagain besar adalah pekerja tentunya memerlukan hunian yang terletak di wilayah terkoneksi langsung dengan layanan transportasi umum untuk memudahkan mobilitas sehari-hari dari dan ketempat kerja mereka. Dia menerangkan, sebanyak 80% dari generasi milenial ini adalah pekerja menengah ke bawah yang mengandalkan angkutan umum untuk beraktivitas.
"Tentunya, preferensi tempat tinggal mereka yang dekat dengan akses angkutan umum seperti kereta commuter line dan sekarang ada juga moda raya terpadu (MRT) serta lintas rel terpadu (LRT). Seperti di kawasan Bekasi, Depok, Bogor, dan beberapa daerah penyangga kota lainnya," tuturnya.
Lebih lanjut, Totok menerangkan properti yang lokasinya dekat dengan akses keluar masuk tol juga ikut dicari oleh generasi milenial. Namun, kebanyakan dari mereka tentunya adalah kelas menengah keatas yang memiliki kendaraan roda empat dan jumlahnya tidak begitu besar. Selain itu, generasi milenial punya kecenderungan memilih properti yang ukurannya tidak terlalu besar.
"Mereka senang ruang yang luas sebenarnya, bukan tanah yang luas. Jadi lebih ke micro housing yang simpel," tambahnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, tantangan yang dihadapi generasi muda adalah persoalan gaji dan harga rumah semakin tidak terkejar. Kenaikan harga properti misalnya di Jabodetabek bisa 10-15% setiap tahunnya, sementara kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) hanya pada kisaran 8%. Karena semakin tidak terkejar akhirnya banyak generasi muda yang memutuskan untuk menyewa rumah dibanding membeli.
Meskipun masih ada hunian yang terjangkau, tetapi berada jauh dengan perkantoran. Ini membuat generasi muda harus menimbang antara cicilan kredit rumah dengan biaya transportasi. Adapun persoalan lain, yakni l suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang tinggi terlebih saat ditetapkan dengan skema floating atau bunga mengambang.
''Solusinya adalah generasi muda perlu melakukan investasi sedini mungkin di produk yang memiliki imbal hasil minimal 15-20% per tahun,''tegasnya.
Karenanya, para generasi muda disarankan untuk berinvestasi di indtrumen yang memiliki imbal hasil tinggi, sehingga memiliki dana yang bisa membuat kalangan muda lebih leluasa untuk memilih kawasan hunian yang diinginkan.
''Generasi muda perlu jeli membaca produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan. Pendapatan sampingan itu bisa disisihkan untuk down payment rumah,'' paparnya.
Saat ini, generasi milenial dengan usia di bawah 34 tahun merupakan populasi yang paling besar. Mencapai hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Namun, yang menjadi persoalan, pertumbuhan pendapatan dari kelompok ini tidak terlalu tinggi. Sedangkan harga properti terus naik setiap tahun.
Adapun kenaikan pendapatan di kelompok ini, hanya meningkat 3%- 5 % untuk posisi tertentu dan tidak terjadi setiap tahun. "Jadi pendapatan itu stagnan, harga rumah makin naik, semakin nggak kebeli. Jadi ini problem yang mendasar, sehingga generasi milenial itu generasi yang akan lebih sulit memiliki rumah," katanya.
Sementara Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan terus melaksanakan Program Sejuta Rumah (PSR) demi mendukung ketersediaan rumah bagi masyarakat. Meskipun masih dilanda pandemi, pembangunan tetap berjalan. Berdasarkan data hingga 30 September 2021, capaian program ini tercatat telah menembus angka 763.127 unit rumah di seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah itu menambah capaian pembangunan rumah dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2015, pembangunan rumah yang mencapai 699.700 unit. Jumlah itu perlahan naik. Pada 2016, rumah yang dibangun sebanyak 805.169 unit dan 2017 sekitar 904.758 unit. Tiga tahun berikutnya secara berurutan mencapai 1.132.621 unit (2018), 1.257.852 unit (2019), dan 965.217 unit (2020).
Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan pemerintah terus berupaya menggandeng berbagai pihak khususnya para pemangku kepentingan bidang perumahan untuk meningkatkan pembangunan rumah bagi masyarakat. Apalagi di masa pandemi ini masyarakat sangat membutuhkan hunian yang layak huni dan sehat sehingga mereka bisa terhindar dari paparan virus Covid-19.
PSR merupakan sebuah gerakan bersama melibatkan para pemangku kepentingan bidang perumahan, antara lain kemeterian/lembaga terkait, pemerintah daerah, pengembang, perbankan, dan masyarakat. Sinergi itu ditujukan demi membangun rumah yang layak huni sebanyak-banyaknya bagi masyarakat dengan target minimal satu juta unit rumah per tahun.
''Pemerintah tentunya tidak bisa membangun sendiri rumah untuk seluruh masyarakat Indonesia. Apalagi jumlah anggaran APBN tentunya tidak mencukupi jika harus memenuhi seluruh kebutuhan papan sehingga kami tetap membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar Program Sejuta Rumah ini tetap terlaksana di lapangan,'' ujar Khalawi.
Jika dirinci lagi pencapaian 763.127 unit rumah yang dibangun hingga 30 September 2021, sebanyak 571.028 unit rumah ditujukan untuk Masyarakat Berpenghasian Rendah (MBR) dan 192.099 unit rumah non MBR. Untuk capaian rumah MBR terdiri dari hasil pembangunan rumah yang dilaksanakan Kementerian PUPR sebanyak 200.784 unit. Sementara, kementerian lain sebanyak tujuh unit, pemerintah daerah 31.305 unit, pengembang perumahan 331.257 unit.
Kementerian PUPR, lanjut dia, paham adanya bonus demografi pada tahun 2030 ini, sehingga kebijakan dan program akan terus didorong untuk dapat menjangkau usia muda produktif agar memiliki rumah, Salah satunya melalui program perumahan milenial melalui Kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)m dengan membangun rusunami dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) untuk perkotaan.
Pandemi Covid-19 sempat membuat industri properti terperosok cukup dalam. Bahkan, para pengembang memberikan diskon besar-besaran. Pemerintah pun memberikan dukungan dengan memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah tapak dan rumah susun dengan harga maksimal Rp5 miliar.
Namun, mimpi kalangan muda untuk memiliki hunian seolah masih jauh panggang dari api. Pengetatan kredit membuat mereka masih menemukan beragam tantangan yang menghadang. Alhasil, hanya kalangan menengah atas dan para investor yang berkantong tebal yang memanfaatkan kondisi tersebut.
Hal ini bisa terlihat dari data Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) dimana rumah dengan segmen harga Rp2 miliar sangat laris pada April hingga Mei 2021 lalu. Ada peningkatan penjuakan sebesar 15% di segmen yang tentunya tak terjangkau oleh kalangan muda itu. Saat ini, pengembang sedang berusaha menghabiskan stok rumah baru yang ada.
''Rumah stok saat ini masih memiliki harga jual yang sama seperti pada kuartal pertama tahun ini," kata Ketua Umum DPP REI Totok Lusida di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, apabila ada kenaikan harga, Toto menilai hal tersebut bisa dimungkinkan dari penggunaan bahan bangunan tertentu seperti besi, dan baja ringan yang harganya sudah naik.
"Saat ini harga material naik, berarti tren harga hunian naik. Tetapi ini hanya untuk beli rumah baru yang belum dibangun," tuturnya.
Meski begitu, sejatinya masih ada hunian yang ditawarkan dengan harga lebih miring di sejumlah daerah. Totok mengatakan, jika mencarinya di ibu kota Jakarta memang sudah tidak ada lagi rumah tapak baru dengan harga dibawah Rp 500 juta. Kalaupun ada, kondisinya sudah tidak bagus seperti sudah rusak dan tidak memadai.
Baca juga: Harga Rumah Mewah Ini Anjlok dari Rp558 Miliar Jadi Rp66 Miliar, Kok Bisa?
"Biasanya masuk gang sempit. Bangunannya, umumnya sudah rusak dan tidak layak lagi, makanya harga yang ditawarkan cenderung murah," ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Totok hunian terjangkau banyak tersebar di daerah-daerah pinggiran Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan Bogor. Meski berada agak jauh dari kota, perumahan ini sebenarnya layak menjadi pilihan, terlebih lagi ada pembangunan infrastruktur dan integrasi transportasi yang berlangsung masif seperti saat ini.
Sedangkan kota-kota besar di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, dan Kalimantan masih menawarkan hunian murah di puat kota, meskipun lokasinya tidak banyak karena harga lahan yang terjangkau.
"Tahun ini, siklus properti bakal tetap stabil seiring dengan perbaikan ekonomi pasca pandemi. Sehingga permintaan terhadap hunian ramah dikantong tetap ada, bahkan terus meningkat,''sebutnya.
Selain itu, generasi milenial yang sebagain besar adalah pekerja tentunya memerlukan hunian yang terletak di wilayah terkoneksi langsung dengan layanan transportasi umum untuk memudahkan mobilitas sehari-hari dari dan ketempat kerja mereka. Dia menerangkan, sebanyak 80% dari generasi milenial ini adalah pekerja menengah ke bawah yang mengandalkan angkutan umum untuk beraktivitas.
"Tentunya, preferensi tempat tinggal mereka yang dekat dengan akses angkutan umum seperti kereta commuter line dan sekarang ada juga moda raya terpadu (MRT) serta lintas rel terpadu (LRT). Seperti di kawasan Bekasi, Depok, Bogor, dan beberapa daerah penyangga kota lainnya," tuturnya.
Lebih lanjut, Totok menerangkan properti yang lokasinya dekat dengan akses keluar masuk tol juga ikut dicari oleh generasi milenial. Namun, kebanyakan dari mereka tentunya adalah kelas menengah keatas yang memiliki kendaraan roda empat dan jumlahnya tidak begitu besar. Selain itu, generasi milenial punya kecenderungan memilih properti yang ukurannya tidak terlalu besar.
"Mereka senang ruang yang luas sebenarnya, bukan tanah yang luas. Jadi lebih ke micro housing yang simpel," tambahnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, tantangan yang dihadapi generasi muda adalah persoalan gaji dan harga rumah semakin tidak terkejar. Kenaikan harga properti misalnya di Jabodetabek bisa 10-15% setiap tahunnya, sementara kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) hanya pada kisaran 8%. Karena semakin tidak terkejar akhirnya banyak generasi muda yang memutuskan untuk menyewa rumah dibanding membeli.
Meskipun masih ada hunian yang terjangkau, tetapi berada jauh dengan perkantoran. Ini membuat generasi muda harus menimbang antara cicilan kredit rumah dengan biaya transportasi. Adapun persoalan lain, yakni l suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang tinggi terlebih saat ditetapkan dengan skema floating atau bunga mengambang.
''Solusinya adalah generasi muda perlu melakukan investasi sedini mungkin di produk yang memiliki imbal hasil minimal 15-20% per tahun,''tegasnya.
Karenanya, para generasi muda disarankan untuk berinvestasi di indtrumen yang memiliki imbal hasil tinggi, sehingga memiliki dana yang bisa membuat kalangan muda lebih leluasa untuk memilih kawasan hunian yang diinginkan.
''Generasi muda perlu jeli membaca produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan. Pendapatan sampingan itu bisa disisihkan untuk down payment rumah,'' paparnya.
Saat ini, generasi milenial dengan usia di bawah 34 tahun merupakan populasi yang paling besar. Mencapai hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Namun, yang menjadi persoalan, pertumbuhan pendapatan dari kelompok ini tidak terlalu tinggi. Sedangkan harga properti terus naik setiap tahun.
Adapun kenaikan pendapatan di kelompok ini, hanya meningkat 3%- 5 % untuk posisi tertentu dan tidak terjadi setiap tahun. "Jadi pendapatan itu stagnan, harga rumah makin naik, semakin nggak kebeli. Jadi ini problem yang mendasar, sehingga generasi milenial itu generasi yang akan lebih sulit memiliki rumah," katanya.
Sementara Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan terus melaksanakan Program Sejuta Rumah (PSR) demi mendukung ketersediaan rumah bagi masyarakat. Meskipun masih dilanda pandemi, pembangunan tetap berjalan. Berdasarkan data hingga 30 September 2021, capaian program ini tercatat telah menembus angka 763.127 unit rumah di seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah itu menambah capaian pembangunan rumah dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2015, pembangunan rumah yang mencapai 699.700 unit. Jumlah itu perlahan naik. Pada 2016, rumah yang dibangun sebanyak 805.169 unit dan 2017 sekitar 904.758 unit. Tiga tahun berikutnya secara berurutan mencapai 1.132.621 unit (2018), 1.257.852 unit (2019), dan 965.217 unit (2020).
Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan pemerintah terus berupaya menggandeng berbagai pihak khususnya para pemangku kepentingan bidang perumahan untuk meningkatkan pembangunan rumah bagi masyarakat. Apalagi di masa pandemi ini masyarakat sangat membutuhkan hunian yang layak huni dan sehat sehingga mereka bisa terhindar dari paparan virus Covid-19.
PSR merupakan sebuah gerakan bersama melibatkan para pemangku kepentingan bidang perumahan, antara lain kemeterian/lembaga terkait, pemerintah daerah, pengembang, perbankan, dan masyarakat. Sinergi itu ditujukan demi membangun rumah yang layak huni sebanyak-banyaknya bagi masyarakat dengan target minimal satu juta unit rumah per tahun.
''Pemerintah tentunya tidak bisa membangun sendiri rumah untuk seluruh masyarakat Indonesia. Apalagi jumlah anggaran APBN tentunya tidak mencukupi jika harus memenuhi seluruh kebutuhan papan sehingga kami tetap membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar Program Sejuta Rumah ini tetap terlaksana di lapangan,'' ujar Khalawi.
Jika dirinci lagi pencapaian 763.127 unit rumah yang dibangun hingga 30 September 2021, sebanyak 571.028 unit rumah ditujukan untuk Masyarakat Berpenghasian Rendah (MBR) dan 192.099 unit rumah non MBR. Untuk capaian rumah MBR terdiri dari hasil pembangunan rumah yang dilaksanakan Kementerian PUPR sebanyak 200.784 unit. Sementara, kementerian lain sebanyak tujuh unit, pemerintah daerah 31.305 unit, pengembang perumahan 331.257 unit.
Kementerian PUPR, lanjut dia, paham adanya bonus demografi pada tahun 2030 ini, sehingga kebijakan dan program akan terus didorong untuk dapat menjangkau usia muda produktif agar memiliki rumah, Salah satunya melalui program perumahan milenial melalui Kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)m dengan membangun rusunami dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) untuk perkotaan.
(ynt)