Inflasi Mei Rendah 0,07%, Ekonom: Daya Beli Kurang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai inflasi yang rendah di bulan Mei 2020 disebabkan indikator sisi permintaan mengalami penurunan tajam.
Adapun inflasi bulan Mei menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 0,07%. Hal ini bukan disebabkan harga pokok stabil, tapi karena pembeli berkurang.
"Buktinya Komponen volatile food atau barang yang bergejolak misalnya deflasi -0,05% padahal ada momentum ramadan dan lebaran," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Selasa (2/6/2020). (Baca : Idul Fitri Tak Biasa, Inflasi Mei 2020 Hanya 0,07% )
Dia melanjutkan, anomali yang tercipta karena adanya pandemi dan pelarangan mudik. Inflasi yang rendah terjadi pada komponen pakaian jadi dan alas kaki, yang mana tidak wajar apabila momen lebaran harga pakaian jadi hanya naik 0,09%.
"Faktor utama rendahnya permintaan bisa ditelusuri dari prilaku simpanan masyarakat. Kelas atas cenderung menyimpan uangnya di bank," katanya.
Bhima mengungkapkan, angka simpanan (tabungan) di atas Rp5 miliar per April 2020 yang tumbuh 5% secara year to date menunjukkan pertanda adanya prilaku menabung untuk mempersiapkan skenario ekonomi yang melambat.
Sementara kelas menengah ke bawah dengan simpanan Rp100 juta ke bawah mengalami penurunan sebesar 2% di periode yang sama. Kelas menengah bawah menarik simpanan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penurunan daya beli secara signifikan.
"Dari sisi pasokan para petani dan pedagang mengeluh untuk menjual bahan makanan di saat PSBB. Daripada tidak bisa masuk ke Jakarta dan disuruh memutar balik akhirnya banyak yang urun menjual barangnya. Terjadi overproduksi sehingga pangan deflasi. Tutupnya beberapa restoran, hotel dan supermarket juga mempengaruhi permintaan pangan," pungkasnya.
Adapun inflasi bulan Mei menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 0,07%. Hal ini bukan disebabkan harga pokok stabil, tapi karena pembeli berkurang.
"Buktinya Komponen volatile food atau barang yang bergejolak misalnya deflasi -0,05% padahal ada momentum ramadan dan lebaran," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Selasa (2/6/2020). (Baca : Idul Fitri Tak Biasa, Inflasi Mei 2020 Hanya 0,07% )
Dia melanjutkan, anomali yang tercipta karena adanya pandemi dan pelarangan mudik. Inflasi yang rendah terjadi pada komponen pakaian jadi dan alas kaki, yang mana tidak wajar apabila momen lebaran harga pakaian jadi hanya naik 0,09%.
"Faktor utama rendahnya permintaan bisa ditelusuri dari prilaku simpanan masyarakat. Kelas atas cenderung menyimpan uangnya di bank," katanya.
Bhima mengungkapkan, angka simpanan (tabungan) di atas Rp5 miliar per April 2020 yang tumbuh 5% secara year to date menunjukkan pertanda adanya prilaku menabung untuk mempersiapkan skenario ekonomi yang melambat.
Sementara kelas menengah ke bawah dengan simpanan Rp100 juta ke bawah mengalami penurunan sebesar 2% di periode yang sama. Kelas menengah bawah menarik simpanan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penurunan daya beli secara signifikan.
"Dari sisi pasokan para petani dan pedagang mengeluh untuk menjual bahan makanan di saat PSBB. Daripada tidak bisa masuk ke Jakarta dan disuruh memutar balik akhirnya banyak yang urun menjual barangnya. Terjadi overproduksi sehingga pangan deflasi. Tutupnya beberapa restoran, hotel dan supermarket juga mempengaruhi permintaan pangan," pungkasnya.
(ind)