Praktik Border Cross Sangat Merugikan Produk Lokal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mempertanyakan soal perlindungan UMKM lokal dari praktik cross border di e-commerce asing.
Menurutnya, jika praktik cross border tidak diregulasi dengan baik, maka justru akan merugikan banyak pihak, termasuk pelaku usaha lokal yang akan mengalami kerugian karena produknya kalah bersaing. Kebanyakan produk cross border memiliki harga yang jauh lebih murah karena tidak melewati proses perpajakan yang seharusnya.
“Hingga kini belum ada tindak lanjut merevisi Permendag No. 50 Tahun 2020 (tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik). Jadi di mana keberpihakan dalam melindungi UMKM lokal,” ujar Iksan, Jumat (8/9/2021).
Ikhsan menjelaskan, dalam perdagangan cross-border terjadi tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk. Hal ini, tentu membuat UMKM lokal kalah saing sehingga muncullah istilah e-commerce domestik dan cross-border.
Sedangkan pada e-commerce domestik tidak ada splitting. Impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga ada kontribusi ke pendapatan Indonesia.
"Jika praktik cross-border tidak diregulasi secepatnya, maka akan merugikan banyak pihak. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross-border ilegal yang harganya jauh lebih murah,” lanjutnya.
Ikhsan juga mengungkap jika produk asing bebas masuk Indonesia lantaran banyak perjanjian dagang yang membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan untuk penjual asing.
Maka regulasi impor barang yang dibutuhkan saat ini bagi Ikhsan adalah regulasi yang mengindahkan level playing field. Sehingga barang impor yang masuk melalui sektor perdagangan berbasis elektronik maupun offline punya kontribusi terhadap pendapatan negara karena harus sama-sama melalui proses perpajakan.
Menurutnya, jika praktik cross border tidak diregulasi dengan baik, maka justru akan merugikan banyak pihak, termasuk pelaku usaha lokal yang akan mengalami kerugian karena produknya kalah bersaing. Kebanyakan produk cross border memiliki harga yang jauh lebih murah karena tidak melewati proses perpajakan yang seharusnya.
“Hingga kini belum ada tindak lanjut merevisi Permendag No. 50 Tahun 2020 (tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik). Jadi di mana keberpihakan dalam melindungi UMKM lokal,” ujar Iksan, Jumat (8/9/2021).
Ikhsan menjelaskan, dalam perdagangan cross-border terjadi tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk. Hal ini, tentu membuat UMKM lokal kalah saing sehingga muncullah istilah e-commerce domestik dan cross-border.
Sedangkan pada e-commerce domestik tidak ada splitting. Impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga ada kontribusi ke pendapatan Indonesia.
"Jika praktik cross-border tidak diregulasi secepatnya, maka akan merugikan banyak pihak. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross-border ilegal yang harganya jauh lebih murah,” lanjutnya.
Ikhsan juga mengungkap jika produk asing bebas masuk Indonesia lantaran banyak perjanjian dagang yang membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan untuk penjual asing.
Maka regulasi impor barang yang dibutuhkan saat ini bagi Ikhsan adalah regulasi yang mengindahkan level playing field. Sehingga barang impor yang masuk melalui sektor perdagangan berbasis elektronik maupun offline punya kontribusi terhadap pendapatan negara karena harus sama-sama melalui proses perpajakan.
(uka)