Masih Adakah Bias Gender dalam Kredit Perbankan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kaum perempuan ternyata masih belum sepenuhnya merasakan nikmat berusaha. Ini karena kaum perempuan kerap kali mengalami kesulitan ketika hendak mengajukan kredit ke perbankan yang akan digunakan sebagai modal usaha.
Dari kajian IFC (International Finance Corporation), menunjukkan 80% dari usaha mikro, kecil, dan menengah ( UMKM ) yang dimiliki perempuan, memiliki kebutuhan kredit dan tidak terlayani atau kurang terlayani dengan baik. Hal ini menyebabkan ketimpangan pendanaan yang berjumlah hingga miliaran dolar.
Salah satu pelaku usaha perempuan adalah Nur Saswati. Nur merupakan Pelaku UMKM Keripik Singkong. Dia salah satu puan yang merasakan getir ketika berhadapan dengan pihak perbankan. Nur dianggap sebelah mata ketika hendak mengajukan kredit untuk usaha kripik singkongnya. Persoalannya karena Nur seorang perempuan.
"Karena saya perempuan, pihak bank meminta saya untuk izin kepada suami dalam bentuk tanda tangan. Kita tidak bisa langsung meminta pinjaman," kata Nur yang sudah memulai usaha keripik singkongnya sejak 2014 dalam acara webinar Literasi Digital Kominfo dengan tema "Bias Gender Dalam Kredit Perbankan".
Meski begitu, pada akhirnya Nur mendapatkan pinjaman dari bank untuk usaha keripik singkongnya. Namun dia berharap, ke depan perbankan atau layanan pinjaman lainnya dapat memberikan kemudahan bagi UMKM perempuan. Karena kenyataannya kaum perempuan mampu membantu perekonomian keluarga dan menambah lapangan pekerjaan.
Sesuai data PBB dan WHO, dibandingkan laki-laki, perempuan hidup lebih lama dan mendapatkan pendidikan lebih banyak. Dengan kata lain, kaum perempuan merupakan calon yang menarik untuk layanan keuangan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nur Komaria mengatakan, sampai saat ini UMKM selalu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Terutama dalam penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Bisanya, kata Nur, pelaku UMKM perempuan memilih bidang usaha fesyen, makanan, dan kosmetik. Karena memilih sektor tersebut, perempuan dipandang kurang mampu atau harus didampingi oleh pihak lain ketika hendak mengajukan kredit di perbankan.
Padahal dengan kesetaraan gender, baik perempuan atau pun laki-laki, akan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap ekonomi Indonesia. Hal nyata yang terlihat dari kemajuan UMKM adalah, lapangan pekerjaan.
Ia berharap, ke depan pihak-pihak terkait dapat memberikan literasi keuangan dan literasi digital kepada pelaku UMKM perempuan. Selain itu, pemerintah harus menyediakan data tunggal mengenai UMKM di Tanah Air. Tidak adanya data tunggal menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan gender dalam UMKM.
"Kesetaraan gender bisa memberikan peluang peningkatan produk domestik bruto (PDB) cukup besar bagi Indonesia, yakni sekitar Rp135 miliar," tegasnya.
Sementara itu, Dosen FEB Universitas Kristen Satya Wacana, Linda Ariany Mahastanti mengatakan, ada dua perspektif dalam permasalahan gender pelaku UMKM yaitu dari sisi pelaku UMKM perempuan dan pihak perbankan.
Kata Linda, perempuan memiliki karakteristik unik. Rata-rata alasan perempuan melakukan usaha ialah untuk membantu pendapatan keluarga. Lalu, perempuan dianggap memiliki pendidikan yang rendah.
"Akhirnya perempuan akan menggunakan modal sendiri, dari suami, atau keluarga untuk menjalankan usahanya. Karena kalau melakukan mengajukan kredit ke perbankan itu rumit," kata Linda.
Di sisi lain, bank juga tidak bisa disalahkan karena seolah mempersulit UMKM perempuan ketika hendak mengajukan kredit. Sebab, perbankan menggunakan prinsip kehati-hatian. "Bank itu cukup ketat, harus tahu calon peminjamnya itu seperti apa, dan itu wajar," pungkas Linda.
Dari kajian IFC (International Finance Corporation), menunjukkan 80% dari usaha mikro, kecil, dan menengah ( UMKM ) yang dimiliki perempuan, memiliki kebutuhan kredit dan tidak terlayani atau kurang terlayani dengan baik. Hal ini menyebabkan ketimpangan pendanaan yang berjumlah hingga miliaran dolar.
Salah satu pelaku usaha perempuan adalah Nur Saswati. Nur merupakan Pelaku UMKM Keripik Singkong. Dia salah satu puan yang merasakan getir ketika berhadapan dengan pihak perbankan. Nur dianggap sebelah mata ketika hendak mengajukan kredit untuk usaha kripik singkongnya. Persoalannya karena Nur seorang perempuan.
"Karena saya perempuan, pihak bank meminta saya untuk izin kepada suami dalam bentuk tanda tangan. Kita tidak bisa langsung meminta pinjaman," kata Nur yang sudah memulai usaha keripik singkongnya sejak 2014 dalam acara webinar Literasi Digital Kominfo dengan tema "Bias Gender Dalam Kredit Perbankan".
Meski begitu, pada akhirnya Nur mendapatkan pinjaman dari bank untuk usaha keripik singkongnya. Namun dia berharap, ke depan perbankan atau layanan pinjaman lainnya dapat memberikan kemudahan bagi UMKM perempuan. Karena kenyataannya kaum perempuan mampu membantu perekonomian keluarga dan menambah lapangan pekerjaan.
Sesuai data PBB dan WHO, dibandingkan laki-laki, perempuan hidup lebih lama dan mendapatkan pendidikan lebih banyak. Dengan kata lain, kaum perempuan merupakan calon yang menarik untuk layanan keuangan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nur Komaria mengatakan, sampai saat ini UMKM selalu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Terutama dalam penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Bisanya, kata Nur, pelaku UMKM perempuan memilih bidang usaha fesyen, makanan, dan kosmetik. Karena memilih sektor tersebut, perempuan dipandang kurang mampu atau harus didampingi oleh pihak lain ketika hendak mengajukan kredit di perbankan.
Padahal dengan kesetaraan gender, baik perempuan atau pun laki-laki, akan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap ekonomi Indonesia. Hal nyata yang terlihat dari kemajuan UMKM adalah, lapangan pekerjaan.
Ia berharap, ke depan pihak-pihak terkait dapat memberikan literasi keuangan dan literasi digital kepada pelaku UMKM perempuan. Selain itu, pemerintah harus menyediakan data tunggal mengenai UMKM di Tanah Air. Tidak adanya data tunggal menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan gender dalam UMKM.
"Kesetaraan gender bisa memberikan peluang peningkatan produk domestik bruto (PDB) cukup besar bagi Indonesia, yakni sekitar Rp135 miliar," tegasnya.
Sementara itu, Dosen FEB Universitas Kristen Satya Wacana, Linda Ariany Mahastanti mengatakan, ada dua perspektif dalam permasalahan gender pelaku UMKM yaitu dari sisi pelaku UMKM perempuan dan pihak perbankan.
Kata Linda, perempuan memiliki karakteristik unik. Rata-rata alasan perempuan melakukan usaha ialah untuk membantu pendapatan keluarga. Lalu, perempuan dianggap memiliki pendidikan yang rendah.
"Akhirnya perempuan akan menggunakan modal sendiri, dari suami, atau keluarga untuk menjalankan usahanya. Karena kalau melakukan mengajukan kredit ke perbankan itu rumit," kata Linda.
Di sisi lain, bank juga tidak bisa disalahkan karena seolah mempersulit UMKM perempuan ketika hendak mengajukan kredit. Sebab, perbankan menggunakan prinsip kehati-hatian. "Bank itu cukup ketat, harus tahu calon peminjamnya itu seperti apa, dan itu wajar," pungkas Linda.
(akr)