Bikin Pertemuan Rahasia, China Dag Dig Dug dengan Sektor Propertinya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bak pandemi. Kesulitan likuiditas di sejumlah perusahaan properti di China mulai menular.
Belum usai kasus Evergrande yang tercekik utang sebesar USD300 miliar (Rp4.260 triliun/kurs Rp14.200) dan kesulitan mencicilnya. Muncul kasus serupa yang dialami oleh Kaisa Group, raksasa properti China yang berbasis di Shenzen.
Perkara Kaisa Group mengemuka setelah otoritas Bursa Hong Kong menghentikan perdagangan sahamnya, Jumat kemarin (5/11/2021). Gara-garanya, perusahaan itu melewatkan kewajiban pembayaran atas wealth management product-nya sebesar USD46,7 juta dolar.
Tak cuma Evergrande dan Kaisa Group yang dibelit masalah keuangan. Mengutip CNBC News, sejumlah perusahaan properti di China juga dikabarkan terbelit utang yang besar.
Beberapa di antaranya adalah Fantasia dan Sinic. Fantasia diberitakan tidak membayar kembali jumlah pokok obligasi senilai USD206 juta yang jatuh tempo pada Senin 4 Oktober 2021.
Menurut ekonom Nomura, raksasa perbankan Jepang, total utang gabungan industri properti China diperkirakan lebih dari USD5 triliun atau hampir sebesar ekonomi Jepang. Kondisi itulah yang kemudian membuat pemerintahan Xi Jinping menjadi dag dig dug.
Seperti di lansir Reuters, Selasa (9/11/2021), dewan para pembisik tertinggi di pemerintah (lembaga think tank) mengadakan pertemuan dengan sejumlah gergasi China, baik dari sektor properti maupun perbankan, Senin kemarin (8/11/2021).
Seorang sumber yang tak bersedia menyebutkan identitas lantaran isunya sangat sentif, kepada Reuters mengatakan bahwa pertemuan itu digelar karena meningkatnya kekhawatiran atas krisis likuiditas di sektor properti China.
Perusahaan yang hadir dalam pertemuan adalah China Vanke, Kaisa Group, Ping An Bank, China Citic Bank, China Construction Bank, CR Trust, Southern Asset Management, dan Excellence Group. Semuanya merupakan deretan perusahaan terkemuka di bidangnya.
Pertemuan itu sepertinya menangkap kekhawatiran para investor terhadap kesusahan likuiditas yang menyebar di sektor properti China, menyusul serangkaian default utang luar negeri, penurunan peringkat kredit, dan aksi jual di beberapa saham serta obligasi pengembang dalam beberapa pekan terakhir.
Masalah China Evergrande Group, yang berada di pusat krisis utang, telah mengguncang pasar global karena bergulat dengan kewajiban lebih dari USD300 miliar. Jika perkara Evergrande tidak dikelola, maka dapat menimbulkan risiko sistemik bagi sistem keuangan China.
Saat pertemuan, Kaisa Group mendesak perusahaan-perusahaan negara membantu korporasi swasta untuk meningkatkan likuiditas. Caranya melalui akuisisi proyek dan pembelian strategis.
Menanggapi permintaan itu, para pembisik kemudian membuat sebuah proposal kebijakan. Namun hanya sebatas proposal, karena mereka bukanlah lembaga pembuat kebijakan.
Sementara China Vanke, salah satu dari tiga pengembang teratas China, mengatakan meski keuangannya dalam kondisi bugar, mereka tetap menyerukan kebijakan yang stabil dalam upaya untuk menghindari risiko sistemik dan krisis likuiditas.
Reuters melaporkan, semua peserta pertemuan memilih bungkam ketika dikonfirmasi. Begitu pula dengan The State Council Information Office (Kantor Informasi Dewan Negara) yang tidak menanggapi permintaan komentar.
Belum usai kasus Evergrande yang tercekik utang sebesar USD300 miliar (Rp4.260 triliun/kurs Rp14.200) dan kesulitan mencicilnya. Muncul kasus serupa yang dialami oleh Kaisa Group, raksasa properti China yang berbasis di Shenzen.
Perkara Kaisa Group mengemuka setelah otoritas Bursa Hong Kong menghentikan perdagangan sahamnya, Jumat kemarin (5/11/2021). Gara-garanya, perusahaan itu melewatkan kewajiban pembayaran atas wealth management product-nya sebesar USD46,7 juta dolar.
Tak cuma Evergrande dan Kaisa Group yang dibelit masalah keuangan. Mengutip CNBC News, sejumlah perusahaan properti di China juga dikabarkan terbelit utang yang besar.
Beberapa di antaranya adalah Fantasia dan Sinic. Fantasia diberitakan tidak membayar kembali jumlah pokok obligasi senilai USD206 juta yang jatuh tempo pada Senin 4 Oktober 2021.
Menurut ekonom Nomura, raksasa perbankan Jepang, total utang gabungan industri properti China diperkirakan lebih dari USD5 triliun atau hampir sebesar ekonomi Jepang. Kondisi itulah yang kemudian membuat pemerintahan Xi Jinping menjadi dag dig dug.
Seperti di lansir Reuters, Selasa (9/11/2021), dewan para pembisik tertinggi di pemerintah (lembaga think tank) mengadakan pertemuan dengan sejumlah gergasi China, baik dari sektor properti maupun perbankan, Senin kemarin (8/11/2021).
Seorang sumber yang tak bersedia menyebutkan identitas lantaran isunya sangat sentif, kepada Reuters mengatakan bahwa pertemuan itu digelar karena meningkatnya kekhawatiran atas krisis likuiditas di sektor properti China.
Perusahaan yang hadir dalam pertemuan adalah China Vanke, Kaisa Group, Ping An Bank, China Citic Bank, China Construction Bank, CR Trust, Southern Asset Management, dan Excellence Group. Semuanya merupakan deretan perusahaan terkemuka di bidangnya.
Pertemuan itu sepertinya menangkap kekhawatiran para investor terhadap kesusahan likuiditas yang menyebar di sektor properti China, menyusul serangkaian default utang luar negeri, penurunan peringkat kredit, dan aksi jual di beberapa saham serta obligasi pengembang dalam beberapa pekan terakhir.
Masalah China Evergrande Group, yang berada di pusat krisis utang, telah mengguncang pasar global karena bergulat dengan kewajiban lebih dari USD300 miliar. Jika perkara Evergrande tidak dikelola, maka dapat menimbulkan risiko sistemik bagi sistem keuangan China.
Saat pertemuan, Kaisa Group mendesak perusahaan-perusahaan negara membantu korporasi swasta untuk meningkatkan likuiditas. Caranya melalui akuisisi proyek dan pembelian strategis.
Menanggapi permintaan itu, para pembisik kemudian membuat sebuah proposal kebijakan. Namun hanya sebatas proposal, karena mereka bukanlah lembaga pembuat kebijakan.
Sementara China Vanke, salah satu dari tiga pengembang teratas China, mengatakan meski keuangannya dalam kondisi bugar, mereka tetap menyerukan kebijakan yang stabil dalam upaya untuk menghindari risiko sistemik dan krisis likuiditas.
Reuters melaporkan, semua peserta pertemuan memilih bungkam ketika dikonfirmasi. Begitu pula dengan The State Council Information Office (Kantor Informasi Dewan Negara) yang tidak menanggapi permintaan komentar.
(uka)