Simpanan di Bank Tinggi, Potensial Buat Pasar Obligasi Nasional

Jum'at, 12 November 2021 - 14:09 WIB
loading...
Simpanan di Bank Tinggi,...
Pasar obligasi dalam negeri masih atraktif hingga akhir tahun ini. Pemicunya dari sisi demand yang akan didorong oleh pertumbuhan dana pihak ketiga atau DPK perbankan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Langkah tapering off oleh Federal Reserve atau The Fed direspon optimistis oleh pelaku pasar di Indonesia. Pasar obligasi dalam negeri masih atraktif hingga akhir tahun ini. Pemicunya dari sisi demand yang akan didorong oleh pertumbuhan dana pihak ketiga atau DPK perbankan .



Ini menunjukkan tren excess liquidity yang masih terjadi. Jadi walaupun kredit perbankan sudah mengalami pertumbuhan, namun pertumbuhan simpanan dana masyarakat atau DPK lebih tinggi.

“Di pasar obligasi nasional, investor domestik memegang kendali. Saat investor asing belum kembali masuk ke pasar, tapi pasar obligasi kita menunjukkan penguatan (rally) dan yield SBN kita masih tetap kuat di angka 6,0. Data Bahana TCW, untuk kepemilikan obligasi pemerintah, investor asing hanya menguasai 20,91 persen sementara investor domestik sebesar 79,09 persen,” ujar Kepala Ekonom Bahana TCW, Budi Hikmat di Jakarta, Jumat (12/11/2021).

Karena itu Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) mengajak para pelaku pasar untuk mengalihkan perhatiannya dari isu tapering off. Setelah sebelumnya sentimen pasar selalu fokus terhadap isu tapering.

Sesuai ekspektasi, respon positif pasar terhadap kebijakan The Fed, menjadikan kebijakan tersebut tantrum-less taper.

"Sudah saatnya kita mengalihkan perhatian pada arah baru paska pandemi dan kebijakan The Fed tersebut. Kami masih optimistis, hingga akhir tahun kondisi perekonomian dan pasar obligasi akan tetap positif. Terkait opportunity lebih ada di domestik, karena Pemerintah telah menghentikan penerbitan SBN," ujarnya.

Sementara Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Dimas Ardhinugraha menambahkan fokus pasar di November pada Fed tapering. Semua mengantisipasi peningkatan inflasi, sehingga pasar finansial mulai menyesuaikan ekspektasi peningkatan frekuensi kenaikan Fed Rate di 2022.

"Namun sejauh ini The Fed memandang kenaikan inflasi bersifat sementara dan belum melihat potensi kenaikan suku bunga secara agresif," ujar Dimas menambahkan.

Berbeda dari Amerika Serikat (AS), tekanan inflasi di Asia saat ini relatif lebih terjaga. Karena dipengaruhi oleh pembatasan aktivitas ekonomi, intervensi pemerintah atas harga energi, dan juga pangan yang berkontribusi besar dalam keranjang inflasi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2001 seconds (0.1#10.140)