Realisasi Kendaraan Ramah Lingkungan bak Misteri Ayam dan Telur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Misi Indonesia untuk mengurangi emisi karbon di masa mendatang tampaknya memiliki permasalahan yang cukup kompleks.
Anggota Dewan Energi Nasional dan Mantan Ketua DPR Komisi VII, Satya Widya Yudha, mengatakan, untuk mewujudkan kendaraan yang ramah lingkungan di Indonesia bagaikan memecahkan misteri ayam dan telur.
Menurutnya di satu sisi produsen mobil menuntut adanya infrastruktur penunjang kendaraan yang ramah lingkungan, seperti misalnya stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) untuk yang berbahan bakar gas dan charging station untuk kendaraan listrik.
"(Produsen) mobil bilang SPBG-nya belum dibangun, bagaimana orang mau membeli mobil kalau infrastruktur SPBG-nya belum jalan," ujarnya pada Seminar Gaikindo, dikutip Kamis, (18/11/2021).
Di sisi lain, pihak yang berkepentingan membangun SPBG berpandangan sebaliknya, untuk apa membangun SPBG atau charger station kalau market atau pengguna kendaraan tersebut juga tidak ada.
"Pada saat saya menjadi pemimpin Komisi VII, waktu itu saya meminta kepada Menteri ESDM untuk membuat roadmap perpindahan BBM ke BBG, tapi tidak jalan," sambung Satya.
Satya menambahkan pada tahun 2050 itu sudah memasuki tahap net zero emision. Namun di Indonesia diperkirakan baru akan terjadi pada tahun 2060.
"Perlu di ngat, Indonesia belum mencapai net pick emission. Kita disuruh net zero, emisi puncaknya saja belum. Tapi negara-negara Eropa sebagai negara industri dan negara emitor terbesar, tahun 70-an sudah pick emission," kata Satya.
Saat itu negara-negara Eropa sudah bisa mengalkulasikan emisi puncaknya. Sementara Indonesia belum dan saat ini masih bertumbuh.
"Kita kalau ngomong mobil listrik ya kita jadiin. Tidak bisa ini hanya sekedar wacana saja, terus nanti larinya BBM lagi," pungkasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional dan Mantan Ketua DPR Komisi VII, Satya Widya Yudha, mengatakan, untuk mewujudkan kendaraan yang ramah lingkungan di Indonesia bagaikan memecahkan misteri ayam dan telur.
Menurutnya di satu sisi produsen mobil menuntut adanya infrastruktur penunjang kendaraan yang ramah lingkungan, seperti misalnya stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) untuk yang berbahan bakar gas dan charging station untuk kendaraan listrik.
"(Produsen) mobil bilang SPBG-nya belum dibangun, bagaimana orang mau membeli mobil kalau infrastruktur SPBG-nya belum jalan," ujarnya pada Seminar Gaikindo, dikutip Kamis, (18/11/2021).
Di sisi lain, pihak yang berkepentingan membangun SPBG berpandangan sebaliknya, untuk apa membangun SPBG atau charger station kalau market atau pengguna kendaraan tersebut juga tidak ada.
"Pada saat saya menjadi pemimpin Komisi VII, waktu itu saya meminta kepada Menteri ESDM untuk membuat roadmap perpindahan BBM ke BBG, tapi tidak jalan," sambung Satya.
Satya menambahkan pada tahun 2050 itu sudah memasuki tahap net zero emision. Namun di Indonesia diperkirakan baru akan terjadi pada tahun 2060.
"Perlu di ngat, Indonesia belum mencapai net pick emission. Kita disuruh net zero, emisi puncaknya saja belum. Tapi negara-negara Eropa sebagai negara industri dan negara emitor terbesar, tahun 70-an sudah pick emission," kata Satya.
Saat itu negara-negara Eropa sudah bisa mengalkulasikan emisi puncaknya. Sementara Indonesia belum dan saat ini masih bertumbuh.
"Kita kalau ngomong mobil listrik ya kita jadiin. Tidak bisa ini hanya sekedar wacana saja, terus nanti larinya BBM lagi," pungkasnya.
(uka)