Cukai Dikerek Tahun Depan, Rokok Ilegal Bisa Tambah Subur

Rabu, 01 Desember 2021 - 23:14 WIB
loading...
A A A
Ancaman meningkatnya peredaran rokok ilegal bukanlah isapan jempol semata. Sebab, selain tarif CHT yang mempengaruhi produksi IHT, konsumen juga akan memiliki beban tambahan dari keputusan pemerintah tersebut.

Seperti yang diketahui tidak hanya tarif cukai saja yang akan dinaikkan, tapi komponen pajak pertambahan nilai (PPN) yang menjadi kewajiban konsumen juga akan dikerek naik. Melansir data Kementerian Keuangan, PPN produk IHT untuk tahun depan akan dinaikkan menjadi sebesar 11-12 persen.

Kalkulasi saat ini sedang digodok Kementerian Keuangan sebelum diresmikan melalui keputusan sidang kabinet untuk menentukan tarif fiskal resmi terhadap produk IHT seperti cukai dan PPN. Dalam survei rokok ilegal yang dilansir oleh Indodata pada Agustus lalu dengan 2.500 koresponden dari segala segmen umur dari seluruh daerah tersebut menyatakan 28,12 persen perokok di Indonesia pernah atau sedang mengonsumsi rokok ilegal.

Artinya, sekitar 127,53 miliar batang yang beredar di masyarakat merupakan produk ilegal yang tidak membayar cukai ke pemerintah dan tidak mendapat jaminan keamanan dalam pembuatannya. Berdasarkan jumlah konsumsi rokok ilegal per hari dari total konsumsi rokok, maka presentase yang dihasilkan menjadi 26,30 persen atau sebanyak 29.284 batang.

Dari angka tersebut setidaknya negara mengalami kebocoran pundi-pundi sebanyak Rp53,18 triliun. Adapun yang menjadi penyebab utama masyarakat beralih ke produk ilegal adalah persoalan harga. Kenaikan PPN diprediksi akan meningkatkan risiko beralihnya masyarakat dari produk legal ke produk ilegal.

Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo mengakui kalaupun tarif harus naik, Kementerian Perindustrian akan memberikan masukan agar tarifnya tidak naik terlalu tinggi.

"Kami kurang sepakat jika cukai dinaikkan terlalu tinggi. Harus hati-hati tentang kenaikan tarif CHT ini, karena Indonesia masih membutuhkan industri IHT. Kalau industri ini mampu bertahan, bukan tidak mungkin industri ini akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara," katanya.

Data Kementerian Perindustrian menyatakan, sepanjang tahun 2020 lalu setidaknya 4.500 tenaga kerja di sektor IHT yang di-PHK. Edy mengatakan data tersebut bisa saja lebih besar karena banyak pabrik dengan pertimbangannya masing-masing yang kurang disiplin dalam pelaporannya. Keluhan petani pun, ujar Edy, sering datang karena penyerapan bahan baku tembakau yang kian menurun.

"Pertimbangan yang harus dipikirkan dalam kebijakan CHT memang banyak dan tidak mudah karena bersentuhan dengan banyak orang dan multisektor," kata Edy.

Direktur Eksekutif Institute for Development ofEconomics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad turut mengatakan kenaikan eksesif tarif CHT di saat seperti ini kurang tepat. Sebab, meskipun penularan Covid-19 bisa terkendali, masa pemulihan akibat dampak masif yang ditimbulkan selama dua tahun terakhir membutuhkan periode multiyears.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1458 seconds (0.1#10.140)