Sosok Sinivasan, Bos Texmaco yang Tersangkut BLBI

Selasa, 07 Desember 2021 - 17:49 WIB
loading...
Sosok Sinivasan, Bos...
Marimutu Sinivasan. Foto/BennySButarbutar/Antara
A A A
JAKARTA - Marimutu Sinivasan memang ditakdirkan menjadi seorang pengusaha . Dia merasa tak cocok menjadi seorang pekerja. Pria keturunan Tamil India yang lahir di Medan, Sumatera Utara, 84 tahun lalu ini memilih hengkang dari pekerjaan di sebuah perusahaan perkebunan.

"Saya merasa tak cocok jadi pegawai," katanya kepada id.scribd.com, dikutip Selasa (7/12/2021).

Ketika usianya menginjak 21 tahun, Marimutu memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis. Bisnis yang digelutinya adalah tekstil, jenis bisnis yang bisa dibilang akrab dengan orang-orang India. Pada tahun 1960, Marimutu memutuskan hijrah ke Jakarta. Dua tahun berselang, dia mendirikan sebuah pabrik polekat (bahan sarung).

Sejak saat itu, Marimutu terus mengembangkan usahanya dengan membangun sejumlah pabrik di berbagai daerah. Tahun 1961, Marimutu membangun sebuah pabrik pemintalan tradisional, bernama Firma Djaya Perkasa, di Pekalongan, Jawa Tengah. Inilah pabrik yang menjadi cikal bakal berdirinya Texmaco Grup, karena pada tahun 1970 nama pabrik itu diubah menjadi Texmaco Jaya. Nama Texmaco sendiri merupakan kependekan dari Textile Manufacturing Company.



Pada akhir dekade 70-an, keadaan eksternal maupun internal sangat mendukung pengembangan bisnis Texmaco Grup. Lonjakan ekonomi akibat bonanza minyak memungkinkan ekonomi Indonesia terus tumbuh dan berkembang sangat pesat. Tak pelak, pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat Indonesia yang meningkat berdampak pada positif terhadap bisnis tekstil.

Tak hanya bermain di tekstil, Texmaco Grup juga menggarap industri otomotif. Lewat salah satu pabriknya di Serang, Texmaco membesut sebuah kendaraan truk yang diberi nama, Perkasa. Waktu itu TNI merupakan salah satu pembelinya.

Untuk terus mengembangkan usahanya, Marimutu Sinivasan tentu saja membutuhkan tambahan modal yang besar juga. Untuk mencari modal, Marimutu meminjam kepada sejumlah bank. Dari sinilah pangkal mula dirinya masuk dalam pusaran kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Utang Texmaco awalnya sekitar Rp7 triliun, berupa pinjaman dolar dengan kurs waktu itu Rp2.400. Ketika terjadi krisis ekonomi, tahun 1998-1999, nilai rupiah ambruk sehingga membuat utang Texmaco membengkak menjadi Rp16,5 triliun.

Texmaco kemudian masuk dalam asuhan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, sebuah badan yang dibentuk pemerintah pada 1998 untuk menyelesaikan aset-aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. BPPN kini beralih nama menjadi PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).

Belakangan, total hak tagih di perusahaan-perusahaan milik Texmaco mencapai sekitar Rp29,04 triliun, termasuk juga kredit macet di BNI sebesar Rp15,37 triliun. Sejak zaman BPPN hingga PPA, persoalan aset Texmaco tak kunjung beres. PPA kemudian melimpahkan aset Texmaco ke Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. Saat ini, pengelolaan aset Texmaco kembali beralih Satgas BLBI.

Masuk dalam kasus BLBI tak membuat Marimutu Sinivasan pasrah atas aset-asetnya. Terungkap, lebih dari 20 tahun, Marimutu terus mengupayakan pengembalian aset-asetnya. Caranya, meminta audiensi dengan Menteri Keuangan, yang hingga saat ini tak pernah ditanggapi.

Di era kejayaannya, Marimutu Sinivasan merupakan seorang "pekerja keras" yang tak boleh kekurangan waktu tidur. Minimal, dia harus tidur 6 jam dan terkadang bisa delapan jam. Meski demikian, Marimutu selalu memanfaatkan waktu untuk terus bekerja.

"Kuncinya adalah memanfaatkan jam kerja sebaik mungkin," katanya.



Sebagai pengusaha yang kerap masuk pusaran publik, Marimutu banyak mendapat berbagai julukan yang negatif. Namun, dirinya tak memedulikan itu semua. Kwik Kian Gie, saat menjabat Menko Ekuin, pernah menudingnya dengan kata pengusaha hitam. Marimutu menanggapinya dingin. Menurutnya, kata pengusaha hitam itu lebih bekonotasi rasial.

“Apa karena kulit saya ini hitam, maka dibilang pengusaha hitam? Mereka kerap menyebut saya pengusaha keturunan India. Padahal, saya sudah generasi ketiga di Indonesia dan sungguh-sungguh merasa sebagai orang Indonesia," katanya, dikutip dari Infonusantara.blogspot.com.

Tahun 2006, Marimutu Sinivasan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Marimutu diduga melakukan kasus penipuan yang bermula dari kredit yang dia ajukan sebagai direktur utama PT Multi Karsa Utama ke PT Bank Duta senilai Rp50 miliar. Selama dua tahun buron, pada 2008 dia menyerahkan diri.

Kini Marimutu tengah berhadapan dengan Satgas BLBI. Dirinya dianggap masih memiliki utang sebesar Rp8,09 triliun. Kita tunggu saja, bagaimana akhirnya.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1493 seconds (0.1#10.140)