Jika PKPU Selesai, Bos Garuda Indonesia Optimistis Tahun Depan Bisa Recovery
loading...
A
A
A
JAKARTA - Manajemen Garuda Indonesia , optimistis pemulihan (recovery) keuangan dan operasional perusahaan bisa terjadi pada 2022 mendatang. Sikap optimisme itu sejalan dengan upaya emiten mengkonsolidasikan diri pada tahun depan.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mencatat, proses konsolidasi keuangan dan operasional perusahaan akan dilakukan usai emiten dengan kode saham GIAA itu menyelesaikan sejumlah kewajibannya terhadap kreditur. Salah satunya, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat.
Tercatat, sejak 9 Desember 2021 lalu, Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan PKPU sementara yang diajukan PT Mitra Buana Koorporindo. Dengan begitu, Garuda tengah menjalani proses hukum tersebut.
"Tahun 2022 akan jadi tahun dimana kita mengkonsolidasikan diri. Kita harap PKPU selesai, sehingga tahun 2022 recovery dari Garuda Indonesia segera bisa dimulai," ujar Irfan saat public expose Garuda Indonesia, Senin (20/12/2021).
Proses strukturisasi utang terhadap kreditur dalam negeri melalui skema PKPU akan berlanjut pada Selasa esok hari. Dimana, Pengadilan Niaga akan menjadwalkan dengar pendapat antara manajemen dengan kreditur.
Manajemen Garuda, lanjut Irfan, akan memaksimalkan kinerja bisnis mereka di 2022 mendatang. Dia mengaku optimistis bahwa bisnis penerbangan akan semakin membaik di tahun depan.
"Saya belum bisa sampaikan proyeksinya, masih finalisasi. Terlepas dari proyeksi atau kinerja yang diharapkan tahun depan, kita semua harus realistis bahwa Indonesia masih menghadapi situasi pandemi Covid-19," ungkap dia.
Dia mengaku, mobilitas penumpang pesawat tengah mengalami kenaikan. Hal itu akan berimbas pada kinerja Garuda. "Kita akan sesuaikan dengan demand yang ada, dengan mengoperasikan pesawat di rute-rute yang profitable, dan secara perlahan membuka rute lain atau meningkatkan frekuensi," tutur Irfan.
Secara agregat, utang Garuda Indonesia mencapai USD9,8 miliar atau setara Rp139 triliun. Adapun rinciannya, utang kepada lessor atau perusahaan penyewa pesawat sebesar USD6.351 juta atau setara Rp90,2 triliun.
Kemudian, komposisi utang terbesar kedua adalah bank yakni USD967 juta atau setara Rp13,8 triliun. Adapun persentasenya mencapai 10 persen dari total utang. Lalu, OWK, Sukuk, KIK EBA sebesar USD 630 juta atau setara Rp9 triliun. Diikuti, utang vendor BUMN sebesar USD 595 juta atau setara Rp8,4 triliun, dengan persentase 6 persen dari total utang.
Kemudian, utang vendor swasta dengan nilai USD 317 juta atau Rp4,5 triliun. Adapun persentasenya mencapai 3 persen dari komponen utang perusahaan. Selanjutnya, liabilitas lainnya senilai USD751 juta atau Rp10,7 triliun, dengan persentase 8 persen dari total utang.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mencatat, proses konsolidasi keuangan dan operasional perusahaan akan dilakukan usai emiten dengan kode saham GIAA itu menyelesaikan sejumlah kewajibannya terhadap kreditur. Salah satunya, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat.
Tercatat, sejak 9 Desember 2021 lalu, Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan PKPU sementara yang diajukan PT Mitra Buana Koorporindo. Dengan begitu, Garuda tengah menjalani proses hukum tersebut.
"Tahun 2022 akan jadi tahun dimana kita mengkonsolidasikan diri. Kita harap PKPU selesai, sehingga tahun 2022 recovery dari Garuda Indonesia segera bisa dimulai," ujar Irfan saat public expose Garuda Indonesia, Senin (20/12/2021).
Proses strukturisasi utang terhadap kreditur dalam negeri melalui skema PKPU akan berlanjut pada Selasa esok hari. Dimana, Pengadilan Niaga akan menjadwalkan dengar pendapat antara manajemen dengan kreditur.
Manajemen Garuda, lanjut Irfan, akan memaksimalkan kinerja bisnis mereka di 2022 mendatang. Dia mengaku optimistis bahwa bisnis penerbangan akan semakin membaik di tahun depan.
"Saya belum bisa sampaikan proyeksinya, masih finalisasi. Terlepas dari proyeksi atau kinerja yang diharapkan tahun depan, kita semua harus realistis bahwa Indonesia masih menghadapi situasi pandemi Covid-19," ungkap dia.
Dia mengaku, mobilitas penumpang pesawat tengah mengalami kenaikan. Hal itu akan berimbas pada kinerja Garuda. "Kita akan sesuaikan dengan demand yang ada, dengan mengoperasikan pesawat di rute-rute yang profitable, dan secara perlahan membuka rute lain atau meningkatkan frekuensi," tutur Irfan.
Secara agregat, utang Garuda Indonesia mencapai USD9,8 miliar atau setara Rp139 triliun. Adapun rinciannya, utang kepada lessor atau perusahaan penyewa pesawat sebesar USD6.351 juta atau setara Rp90,2 triliun.
Kemudian, komposisi utang terbesar kedua adalah bank yakni USD967 juta atau setara Rp13,8 triliun. Adapun persentasenya mencapai 10 persen dari total utang. Lalu, OWK, Sukuk, KIK EBA sebesar USD 630 juta atau setara Rp9 triliun. Diikuti, utang vendor BUMN sebesar USD 595 juta atau setara Rp8,4 triliun, dengan persentase 6 persen dari total utang.
Kemudian, utang vendor swasta dengan nilai USD 317 juta atau Rp4,5 triliun. Adapun persentasenya mencapai 3 persen dari komponen utang perusahaan. Selanjutnya, liabilitas lainnya senilai USD751 juta atau Rp10,7 triliun, dengan persentase 8 persen dari total utang.
(nng)