Pengusaha Beberkan Rumitnya Penuhi Kebutuhan Batu Bara untuk Pembangkit Listrik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) membeberkan kompleksitas pemenuhan batu bara untuk kebutuhan listrik nasional , baik dari sisi spesifikasi batu bara hingga harga jual. Seperti diketahui, seluruh perusahaan tambang batu bara wajib mengalokasikan 25% produksinya untuk dijual ke industri dalam negeri, seperti ketenagalistrikan, semen, pupuk hingga tekstil.
"Jadi DMO (Domestic Market Obligation) ini kan ada untuk listrik dan non listrik. Untuk listrik itu 80%, untuk industri lain 20%," ujar Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia dalam Market Review IDX Channel, Kamis (6/1/2022).
Hendra mengatakan, khusus untuk industri ketenagalistrikan, pengusaha tidak bisa sembarangan memasok batu bara. Spesifikasi batubaranya harus sesuai dengan pembangkit listrik tertentu.
"Misalnya PLTU Suralaya itu kalorinya harus 4.500, kadar suhunya sekian. Jadi meskipun produsen batu bara ada nih barangnya, dia bisa jadi nggak bisa menjual ke PLN karena nggak sesuai spesifikasi itu," ujarnya.
Sementara untuk industri lain seperti semen, spesifikasinya tidak ketat sehingga apapun jenis batu baranya bisa terserap. Masalah lainnya ialah harga jual untuk kebutuhan DMO batu bara yang lebih rendah dibandingkan harga pasar.
Untuk PLN, harga batu bara dipatok USD 70 per metrik ton, dimana harga pasar dipatok USD 174 per metrik ton. Hendra menjelaskan, sebelum dipatok USD 70 per metrik ton, harga batubara untuk listrik PLN mengikuti harga pasar internasional.
"Saat itu hampir jarang terjadi gejolak. Setelah dipatok, sering terjadi permasalahan karena disparitas harga yang sangat tinggi. Disaat harga melambung, PLN mengeluh pasokan terkendala, tapi saat harga rendah pengusaha mengeluh karena mereka ingin jual ke PLN tapi slotnya tidak tersedia. Ini sangat kompleks sekali," jelasnya.
Meski begitu, masih banyak perusahaan yang berkomitmen untuk tetap mengutamakan kebutuhan listrik nasional ketimbang mengejar harga internasional. "Buktinya kan nggak semua PLTU itu langka. Artinya sebagian perusahaan tetap committ, meskipun harga internasional sedang tinggi," jelasnya.
"Jadi DMO (Domestic Market Obligation) ini kan ada untuk listrik dan non listrik. Untuk listrik itu 80%, untuk industri lain 20%," ujar Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia dalam Market Review IDX Channel, Kamis (6/1/2022).
Hendra mengatakan, khusus untuk industri ketenagalistrikan, pengusaha tidak bisa sembarangan memasok batu bara. Spesifikasi batubaranya harus sesuai dengan pembangkit listrik tertentu.
"Misalnya PLTU Suralaya itu kalorinya harus 4.500, kadar suhunya sekian. Jadi meskipun produsen batu bara ada nih barangnya, dia bisa jadi nggak bisa menjual ke PLN karena nggak sesuai spesifikasi itu," ujarnya.
Sementara untuk industri lain seperti semen, spesifikasinya tidak ketat sehingga apapun jenis batu baranya bisa terserap. Masalah lainnya ialah harga jual untuk kebutuhan DMO batu bara yang lebih rendah dibandingkan harga pasar.
Baca Juga
Untuk PLN, harga batu bara dipatok USD 70 per metrik ton, dimana harga pasar dipatok USD 174 per metrik ton. Hendra menjelaskan, sebelum dipatok USD 70 per metrik ton, harga batubara untuk listrik PLN mengikuti harga pasar internasional.
"Saat itu hampir jarang terjadi gejolak. Setelah dipatok, sering terjadi permasalahan karena disparitas harga yang sangat tinggi. Disaat harga melambung, PLN mengeluh pasokan terkendala, tapi saat harga rendah pengusaha mengeluh karena mereka ingin jual ke PLN tapi slotnya tidak tersedia. Ini sangat kompleks sekali," jelasnya.
Meski begitu, masih banyak perusahaan yang berkomitmen untuk tetap mengutamakan kebutuhan listrik nasional ketimbang mengejar harga internasional. "Buktinya kan nggak semua PLTU itu langka. Artinya sebagian perusahaan tetap committ, meskipun harga internasional sedang tinggi," jelasnya.
(akr)