Menanti Jurus Tepat Kendalikan Minyak Goreng
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jurus apa yang paling tepat untuk mengendalikan harga minyak goreng ? Pertanyaannya ini relevan disampaikan karena berbagai langkah yang telah dikeluarkan pemerintah belum mampu mengatasi kelangkaan dan mengendalikan salah satu bahan pokok tersebut yang telah terjadi selama dua bulan ini.
Sejauh ini pemerintah telah mengambil beberapa langkah dan berganti-ganti kebijakan. Langkah pertama menetapkan satu harga Rp14.000 per liter. Resep ini ternyata tak manjur meredam karena di pasaran, terutama tradisional, harganya masih berkisar Rp18.000-20.000 per liter.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Lagi-lagi resep ini tidak mujarab.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan menyebut langkah pemerintah ibarat mengobati penyakit, tapi salah obat. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengaku terus memonitor harga dan ketersediaan pasokan minyak goreng di lapangan. Untuk itu, YLKI mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan yang tak mujarab itu.
Salah satu faktor pemicu kelangkaan hingga harga minyak goreng tidak bisa dikendalikan, berdasar informasi dari beberapa asosiasi terkait rantai minyak goreng, harga yang ditetapkan terlalu rendah.
”Saya sudah sampaikan kepada Dirjen Perdagangan Dalam Negeri bahwa sebaiknya pemerintah menetapkan harga yang wajar. Jadi, profitnya berapa dari biaya pokok. Kalau ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan lebih tinggi diberikan sanksi,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Senin (7/2).
Persoalan lain yang turut memicu kenaikan dan kelangkaan minyak goreng yakni tarik-menarik alokasi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk energi dan pangan.
“Ini pemerintah di satu sisi fokus CPO untuk B-20 (biodesel 20%) dan seterusnya sehingga para produsen (CPO) lebih banyak mengalokasikan untuk keperluan B-20. Akhirnya kebutuhan untuk minyak goreng berkurang atau berebutan. Ini harus dilihat porsinya. Kalau menurut saya, fokus dulu ke pangan karena menyangkut kebutuhan perut,” desaknya.
Sejauh ini pemerintah telah mengambil beberapa langkah dan berganti-ganti kebijakan. Langkah pertama menetapkan satu harga Rp14.000 per liter. Resep ini ternyata tak manjur meredam karena di pasaran, terutama tradisional, harganya masih berkisar Rp18.000-20.000 per liter.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Lagi-lagi resep ini tidak mujarab.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan menyebut langkah pemerintah ibarat mengobati penyakit, tapi salah obat. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengaku terus memonitor harga dan ketersediaan pasokan minyak goreng di lapangan. Untuk itu, YLKI mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan yang tak mujarab itu.
Salah satu faktor pemicu kelangkaan hingga harga minyak goreng tidak bisa dikendalikan, berdasar informasi dari beberapa asosiasi terkait rantai minyak goreng, harga yang ditetapkan terlalu rendah.
”Saya sudah sampaikan kepada Dirjen Perdagangan Dalam Negeri bahwa sebaiknya pemerintah menetapkan harga yang wajar. Jadi, profitnya berapa dari biaya pokok. Kalau ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan lebih tinggi diberikan sanksi,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Senin (7/2).
Persoalan lain yang turut memicu kenaikan dan kelangkaan minyak goreng yakni tarik-menarik alokasi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk energi dan pangan.
“Ini pemerintah di satu sisi fokus CPO untuk B-20 (biodesel 20%) dan seterusnya sehingga para produsen (CPO) lebih banyak mengalokasikan untuk keperluan B-20. Akhirnya kebutuhan untuk minyak goreng berkurang atau berebutan. Ini harus dilihat porsinya. Kalau menurut saya, fokus dulu ke pangan karena menyangkut kebutuhan perut,” desaknya.