KPPU Segera Selidiki Produsen Minyak Goreng karena Terindikasi Kartel 

Selasa, 08 Februari 2022 - 12:37 WIB
loading...
KPPU Segera Selidiki Produsen...
KPPU telah memanggil produsen minyak goreng untuk diperiksa terkait dugaan kartel. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi melihat kenaikan harga minyak goreng secara serentak sebagai sinyal kartel lantaran hal tersebut aneh dalam pasar oligopoli. Saat ada satu perusahaan menaikkan harga dalam pasar oligopoli, pelaku pasar lain harusnya dapat memanfaatkan hal itu untuk menaikkan pangsa pasar.

"Tetapi, kondisi yang ada saat ini tidak seperti itu. Ada pelaku dengan pangsa pasar yang memanfaatkannya. Semua kompak menaikkan harga, itu bisa menjadi pintu masuk untuk mendalami, apakah ini pure oligopolistik atau tidak," sebutnya.

Untuk memastikan kondisi tersebut, KPPU telah memanggil empat produsen minyak goreng kemasan premium untuk mendapatkan informasi yang komprehensif terkait industri minyak goreng saat ini. Keempat produsen yang dimaksud diperkirakan menguasai pasar minyak goreng kemasan premium nasional. KPPU menegaskan bahwa pemanggilan pemangku kepentingan saat ini adalah tahap ‎prapenyelidikan.


"Sejauh ini saya belum dapat jadwal dan nama pelaku usaha yang akan dipanggil minggu depan. Jadi, tidak tahu minggu depan random atau ada tahapan pelaku usahanya, tetapi kami awali dengan yang menguasai, dalam hal ini pasar minyak goreng kemasan premium," tuturnya.

Ukay menambahkan, KPPU juga akan memanggil pelaku usaha industri minyak goreng curah, minyak goreng kemasan sederhana, dan pemerintah dalam waktu dekat. Namun, penggalian informasi pada prapenyelidikan akan ditekankan pada pelaku usaha. Saat ini KPPU masih belum dapat menentukan entitas maupun pasal yang menjadi dugaan pelanggaran persaingan usaha.

Jika terbukti ada pelanggaran, KPPU akan terlebih dulu mengerucutkan pasar minyak goreng dan dugaan modus yang digunakan sebelum menentukan pelaku dan pasal yang dilanggar.

"Pemanggilan ini merupakan pendalaman dari sinyal perilaku kartel yang ditemukan sebelumnya. Sinyal yang dimaksud adalah penaikan harga serentak oleh lima pelaku pasar yang mendominasi pangsa minyak goreng kemasan premium," paparnya.

Mengenai kebijakan pemerintah memutuskan satu harga untuk minyak goreng di Rp14.000 per liter, menurut Ukay ada perpindahan pembeli dari pasar tradisional ke pasar modern. Hal ini karena ada disparitas harga yang cukup signifikan, contohnya di pasar tradisional harganya Rp20.000, sedangkan di pasar modern Rp14.000.

"Tentu hal ini akan menimbulkan lonjakan permintaan, tetapi masalahnya tidak diikuti oleh pasokan yang cukup sehingga di pasar modern selalu habis," lanjutnya.

Menurut pantauan PKPU di tujuh wilayah, dari awal dilaksanakannya kebijakan pemerintah tersebut selalu susah menemukan stok minyak goreng yang dijual di ritel modern. Bahkan Ukay menunjukkan di Lampung ada ritel modern yang berjejaring nasional masih mem‎asang harga di atas Rp14.000.

Sementara itu, kebijakan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan berupa domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) hingga harga eceran tertinggi minyak goreng dirasa akan memberikan efek domino yang cukup panjang.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, sejak diberlakukannya Permendag Nomor 6/2022 yang mewajibkan pengusaha memenuhi 20% kebutuhan domestik di tengah lonjakan harga CPO dunia membuat pengusaha menentukan sikap wait and see.

Sikap tersebut membuat bahan baku pabrik minyak goreng tidak tersedia karena saling menahan dan berdampak pada perusahaan yang berada di industri CPO serta mengurangi membeli CPO ke petani. Hal ini tentu berdampak langsung pada ekspor yang menyumbang pemasukan yang tidak sedikit.

"Saling menahan sehingga berdampak banyak perusahaan industri CPO mengurangi pembelian CPO ke petani. Kami khawatir ekspor akan mengalami penurunan dan cenderung sudah dibaca oleh market bahwa harga akan tinggi," kata Tauhid.

Tentu kondisi tersebut akan berimplikasi pada pungutan ekspor CPO yang mencapai Rp70 triliun. Tauhid menyebutkan hal tersebut kemungkinan besar akan berdampak terhadap keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Jadi, memang kebijakan yang dilakukan pemerintah, terutama permendag ini dampaknya akan luar biasa ke petani, industri pabrik minyak goreng, dan konsumen," bebernya.

Tauhid melanjutkan, di dalam peraturan tersebut yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana bisa mengefektifkannya, mengingat banyak perusahaan sawit, sekitar 2.000 hingga 8.000, untuk industri CPO. Apakah hal tersebut dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak menekan satu pihak dalam rencana sharing the pain atau berbagi beban tersebut.

"Apakah petani yang harus menanggung, terutama perusahaan sawit atau juga industri CPO dan juga perusahaan refinery ekspornya atau juga pabrik minyak goreng, misalnya masing-masing dikurangi keuntungannya secara rata dan adil. Bisa juga sharing the pain yang ternyata akhirnya dibebankan ke tandan buah segar (TBS) baik untuk petani atau perusahaan sawit," ungkapnya.

Tauhid menunjukkan, selama sharing the pain masih belum ketemu banyak kemungkinan bahan TBS belum diolah secara optimal pada situasi harga bergejolak seperti sekarang. Melihat problematika tersebut, ini harus dicarikan solusinya.

"Yang masih menjadi masalah lain adalah sharing the pain ini mampu dilakukan oleh pelaku industri minyak goreng yang disinyalir oligopoli atau ada monopoli," tambahnya.

Titik kritis dari masalah ini bersumber dari hal tersebut sehingga dapat menentukan posisi petani dalam menjaga harga TBS tetap stabil. "Saya kira titik kritisnya di situ, termasuk bagaimana menentukan petani punya bargaining position yang membuat TBS akhirnya rendah. Padahal, aturan dari Kementerian Pertanian itu harga TBS itu runutannya mengikuti harga CPO," ujar Tauhid.

Terkait harga minyak goreng di Malaysia yang relatif lebih murah, Rp8.500 per liter, Tauhid menjelaskan, adanya skema subsidi yang telah lama dilakukan di sana. Di Indonesia subsidi minyak goreng baru bisa dilakukan mulai saat ini dengan program satu harga Rp14.000 per liter. Selama ini belum ada regulasi yang jelas mengatur soal subsidi minyak goreng. Di UU Cipta Kerja, khususnya dalam aturan perkebunan, barulah diatur dana pungutan ekspor sawit kelolaan BPDPKS boleh digunakan untuk subsidi kebutuhan pangan seperti minyak goreng.

"Malaysia sebetulnya sudah menetapkan subsidi ini jauh lebih dulu. Kita kan selama ini mau meniru, tetapi regulasinya yang tidak ada. Baru sekarang regulasinya memungkinkan. Sekarang di UU Cipta Kerja baru dana perkebunan dimungkinkan dana sawit digunakan untuk subsidi pangan,"‎ ungkap Tauhid.

Di Malaysia, minyak goreng yang mendapatkan subsidi hanya untuk minyak jenis kemasan sederhana 1 liter. Dana yang digunakan untuk subsidi pun mirip dengan pungutan ekspor seperti kita saat ini. Tauhid pun menyampaikan, penyelesaian dalam menyikapi persoalan kenaikan harga minyak goreng saat ini tergantung kebijakan lain di luar peraturan menteri.

"Artinya seluruh kebijakan bukan hanya soal demand, melainkan apa yang dilakukan dari sisi kebijakan di Indonesia. Itu sangat sensitif dan berpengaruh ke harga internasional. Selain itu, perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dan CPO untuk menjamin harga dan pasokan," desaknya.aprilia s andyna
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1467 seconds (0.1#10.140)