Atasi Kisruh Pangan Jangan Seperti Pemadam Kebakaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gejolak harga pangan belakangan datang silih berganti. Belum kelar kisruh kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng , kini giliran harga kedelai melambung tinggi. Nahasnya, pemerintah kerap kali kewalahan menanganinya. Ujungnya, masyarakat pun menjadi korban.
Melihat seringnya terjadi kasus fluktuasi harga pangan, sudah semestinya pemerintah mencari solusi jangka panjang agar konsumen dan pelaku usaha di level bawah tidak terus dirugikan dan dibuat kerepotan. Apalagi, gejolak pangan saat ini terjadi jelang memasuki bulan Ramadhan .
Sebagai langkah awal, solusi mengatasi masalah pangan bisa dimulai dengan penataan data neraca komoditas pangan seakurat mungkin. Data dimaksud antara lain memuat pemetaan produksi, kebutuhan, dan distribusi untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Sebelumnya, solusi pemerintah mengatasi gejolak pangan tidak bisa berjalan maksimal. Untuk mengatasi masalah minyak goreng misalnya. Kebijakan penetapan satu harga untuk minyak goreng, domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), hingga pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana, dan premium tidak ada yang manjur.
Saat ini harga minyak goreng yang ditetapkan pemerintah dibagi dalam beberapa kategori. Yakni minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Namun, pada kenyataanya, masih banyak pedagang yang menjual di atas harga yang ditetapkan. Bahkan, di sejumlah titik, stok minyak goreng justru hilang di pasaran,
Begitupun harga kedelai melambung tinggi hingga Rp11.000 per kilogram (Kg). Padahal, kedelai merupakan bahan utama untuk tahu dan tempe yang menjadi makanan sebagian besar masyarakat Indonesia. Fluktuasi harga ini bukan hanya terjadi pada dua bahan pokok itu saja. Kenaikan harga dan kelangkaan seperti silih berganti. Ada kalanya beras, gula, bawang, dan cabai juga meroket dan terkendali.
Pentingnya data negara terkait komoditas pangan di antaranya disampaikan Wasekjen Perhimpunan Pertanian Indonesia (Perhepi) Lely Pelitasari Soebekty dan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Nunung Nuryartono. Lely Pelitasari misalnya menandaskan, pemerintah sebenarnya bisa memprediksi kenaikan kebutuhan pangan di Indonesia, hingga kemudia menyetok pangan lebih banyak sehingga konsumen mendapatkan harga yang wajar.
“Kenapa (suplai dan permintaan) tidak terjaga? Bisa jadi (karena) pemerintah tidak punya neraca komoditas yang akurat. Kemudian, bicara data produksi, kebutuhan, dan gap diantara itu yang harus dijaga. Makanya, cadangan menjadi seksi. Artinya, sudah tanggal dan bulan itu (permintaan naik) pasti (pangan) kurang ya akhirnya (bisa) diantisipasi,” ujar dia.
Dia menegaskan bahwa pemerintah memiliki banyak langkah antisipasi agar kenaikan harga tidak berulang terjadi. Sayangnya sejauh ini pemerintah sering hanya menjadi “pemadam kebakaran” ketika harga meroket dan bahan kebutuhan pokok langkah. “Giliran harga naik, pilihan gampang impor. Harga turun, biasanya nyuruh Bulog beli abis itu disimpan. Itu untuk komoditas yang bisa disimpan,” ucapnya.
Menurut dia, pengelolaan pangan ini memerlukan integrasi dari hulu hingga hilir. Pemerintah harus menjaga dan mengawasi sisi produsen hingga selanjutnya, seperti distribusi dan pasar. Kehadiran Badan Pangan Nasional (Bapanas) seharusnya menjadi jawaban untuk menyelesaikan seluruh persoalan. Namun, kerja dan praktek di lapangan masih memerlukan pembuktian.
Masalahnya, lanjut dia, Bapanas harus bekerja sama dan koordinasi dengan sejumlah kementerian, seperti pertanian dan perdagangan. Lely menyebut Bapanas akan menjadi regulator sekaligus operator karena membawahi Bulog dan badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang pangan.
Di sisi lain, Bapanas harus mengintegrasikan dan harmonisasi kebijakan operasional dan teknis yang selama ini menjadi kewenangan beberapa kementerian. Dalam pandangannya, walaupun terlihat powerfull secara kewenangan, namun payung hukum Bapanas ini adalah peraturan presiden (perpres) dan di sisi lain sisi lainn akan berhadapan dengan organ-organ di kementerian yang kemungkinan kewenangannya dimandatkan melalui peraturan pemerintah (PP). Secara konstitusi, PP lebih tinggi dari perpres. Tantangan lain adalah ego sektoral antar kementerian dan lembaga.
“Bagaimana kementerian-kementerian teknis ini melakukan penyesuaian-penyesuaian atas perpres ini. Contoh, dalam perpres ini kewenangan penerapan impor di badan pangan nasional. Sekarang pertanyaannya, apakah di kementerian perdagangan, peraturan terkait ini sudah disesuaikan? Apakah fungsinya sudah diubah menyesuaikan perpres ini? Bisa jadi belum karena yang jadi dasar direktur (urusan) impor di sana PP,” pungkasnya.
Nunung Nuryartono menjelaskan, kenaikan pada saat hari-hari besar yang sudah dilewati, seperti Natal dan tahun baru, masih wajar. Namun, kenaikan dan kelangkaan yang masih terus terjadi sampai saat ini yang menjadi pertanyaan publik. Menurut dia, dari sisi permintaan, sebenarnya tidak ada lonjakan yang cukup drastik. Karena itu pemerintah harus melihat dan mengawasi lagi penerapan DMO dan DPO, serta distribusi dari produsen hingga konsumen.
“Harusnya dalam konsep tata kelola yang baik ketika diterapkan DMO, (lalu) siapa yang mengawasi? Temuan di Sumut, saya melihatnya sebagai sesuatu yang mencengangkan. Persoalan seperti itu semestinya tidak terjadi. Kalau kita mengurai satu per satu, bisa kok pemerintah menggunakan instrument-instrumennya untuk mengendalikan harga mintak goreng,” tegasnya.
Di sisi lain, Nunung mengungkapkan memang terjadi kenaikan indeks harga pangan, seperti sereal, gula, dan lainnya, di pasar global. Tren itu sudah terjadi sejak tahun 2001. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB itu mengatakan persoalan pangan ini tidak bisa secara sederhana. Dia menjelaskan fluktuasi harga pangan ini salah satu yang relatif tinggi dalam mendorong inflasi.
Pemenuhan pangan juga terkait dengan kesehatan dan gizi masyarakat. Dia menuturkan mayoritas pengeluaran masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan itu untuk pangan. Pemerintah harus bekerja keras lagi dalam memastikan stok dan menstabilkan harga pangan. Saat ini ada harapan baru dengan dilantik Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo.
“Saya kira ini menjadi momentum dan tugas berat kepala Badan Pangan Nasional yang harus bisa memastikan dan melihat lagi bagaimana persoalan pangan dalam konteks tidak berfluktuasinya harga. (Bapanas) harus bisa mengendalikan tanpa mengurangi kesejahteraan produsen dalam hal ini petani. Petani enggak sejahtera, kan kasihan,” paparnya.
Sementara itu,Kemarin Presiden Joko Widodo resmi melantik Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas). Badan initelah dibentuk sejak akhir Juli 2021 lalu. Sebagai pejabat baru, Arief pun mengungkapkan tantangan besar Bapanas dalam mendorong kemajuan industri pangan dalam negeri, termasuk gejolak pangan.
Untuk mengatasi beragam tantangan tersebut, ke depan Bapanas harus bersinergi atau berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) hingga stakeholder di sektor pangan. Pasalnya, kata Arief, tantangan pangan nasional saat ini tidak memungkinkan diselesaikan secara mandiri oleh Bapanas.
"Tujuan mulia ini tidak akan berhasil apabila hanya dikerjakan oleh Badan Pangan Nasional saja, sehingga hari ini mari kita bersatu untuk kemajuan masyarakat Indonesia," ujarnya usai pelantikan.
Arief menyatakan Bapanas akan bekerja sama dengan sejumlah kementerian/lembaga, di antaranya Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, termasuk kelompok asosiasi, petani, peternak, hingga nelayan. "Kita berkolaborasi dengan seluruh stakeholder pangan yang ada. Juga kita akan melibatkan beberapa pihak seperti kementerian terkait, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perekonomian, seluruh stakeholder pangan lainnya, termasuk asosiasi, peternak, nelayan, petani, kemudian kita sinergi kan secara bersama sama," urainya.
Sebagai informasi, Bapanas merupakan lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga baru ini bertugas menyusun kebijakan pangan dan dilaksanakan oleh BUMN Pangan, termasuk ID Food atau Holding BUMN Pangan, serta Perum Bulog. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021, terdapat sembilan jenis pangan yang dikelola oleh BPN, yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Sementara itu, pengamat pertanian dari Asosiasi Politik Indonesia (AEPI) Khudori berharap kehadiran BPN bisa membuat kebijakan pangan bisa lebih terkoordinasi dengan baik. Melalui pemberian kuasa dan kewenangan kepada BPN seperti diatur dalam Perpres No 66 Tahun 2021 dia berharap penyelesaian masalah pangan bisa lebih sederhana. ‘’ Masalah yang sebelumnya diurus sekian banyak kementrian ini di orkestrasi di satu lembaga, seharusnya akan lebih bagus,"jelas Khudori.
Meski semua sudah diatur sesuai dengan lembaga terkait, tetapi bukan menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan pangan yang rumit. Karena, persoalan pangan merupakan masalah multi dimensi dan multi sektoral. "Saat ini, bagaimana badan pangan merumuskan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Karena semua keputusan kembali kepada program di daerahnya,"ucapnya.
Tercatat, ada tiga kementrian yang mendelegasikan kewenangan kepada Bapanas. Pertama, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perdagangan mendelegasikan kewenangan kepada Badan Pangan Nasional mengenai perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga, distribusi pangan, perumusan kebijakan, penetapan kebutuhan ekspor, dan impor pangan.
Kedua, pemerintah di bidang pertanian mendelegasikan kewenangan kepada Bapanas dalam perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh BUMN di bidang pangan. Ketiga, pemerintah di bidang badan usaha milik negara menguasakan kepada BPN untuk memutuskan penugasan perusahaan umum Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional.
Upaya Stabilkan Harga
Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus melakukan upaya untuk mengisi kekosongan minyak goreng di berbagai daerah di Indonesia. Selain sidak ke pasar dan mengeluarkan stok di gudang-gudang distributor, Kemendag bekerja sama denganTNI Angkatan Udara (TNI AU) untuk memperkuat stok minyak goreng ke sejumlah wilayah di Indonesia Timur.Pada tahap awal, TNI AU akan mengirimkan 52.800 liter minyak goreng ke sejumlah wilayah di Papua seperti Sorong,Merauke dan Jayapura.
Dijelaskan Lutfi, Kemendag meminta sejumlah produsen minyak goreng membantu menyediakan stok minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Menurut dia, Para produsen menyatakan sanggup menyediakan minyak goreng kemasan sederhana dan premium dari Surabaya dan Jakarta. ‘’Komitmen TNI AU membantu masyarakat dengan mengirimkan minyak goreng ke agen dan distributor di wilayah Indonesia Timur. Saya minta begitu minyak goreng sudah sampai, agen dan disrributor bisa cepat memasok ke pasar tradisional sehingga masyarakat langsung mendapatkan minyak gorengsesuai harga yang ditetapkan pemerintah,”ujar Mendag Lutfi dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Di sektor hilir, Kementrian Pertanian (Kementan) terus mengupayakan untuk menstabikan harga kedelai dengan meningkatkan produksi kedelai lokal pada 2022 mencapai 1 juta ton. Target ini tentunya cukup tinggi jika dibandingkan dengan produksi 2021 yang hanya mencapai 200 ribu ton. Peningkatan ini diupayakan untuk memenuhi kebutuhan produksi tahu dan tempe yang kini bergantung pada kedelai impor.
Melihat seringnya terjadi kasus fluktuasi harga pangan, sudah semestinya pemerintah mencari solusi jangka panjang agar konsumen dan pelaku usaha di level bawah tidak terus dirugikan dan dibuat kerepotan. Apalagi, gejolak pangan saat ini terjadi jelang memasuki bulan Ramadhan .
Sebagai langkah awal, solusi mengatasi masalah pangan bisa dimulai dengan penataan data neraca komoditas pangan seakurat mungkin. Data dimaksud antara lain memuat pemetaan produksi, kebutuhan, dan distribusi untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Sebelumnya, solusi pemerintah mengatasi gejolak pangan tidak bisa berjalan maksimal. Untuk mengatasi masalah minyak goreng misalnya. Kebijakan penetapan satu harga untuk minyak goreng, domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), hingga pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana, dan premium tidak ada yang manjur.
Saat ini harga minyak goreng yang ditetapkan pemerintah dibagi dalam beberapa kategori. Yakni minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Namun, pada kenyataanya, masih banyak pedagang yang menjual di atas harga yang ditetapkan. Bahkan, di sejumlah titik, stok minyak goreng justru hilang di pasaran,
Begitupun harga kedelai melambung tinggi hingga Rp11.000 per kilogram (Kg). Padahal, kedelai merupakan bahan utama untuk tahu dan tempe yang menjadi makanan sebagian besar masyarakat Indonesia. Fluktuasi harga ini bukan hanya terjadi pada dua bahan pokok itu saja. Kenaikan harga dan kelangkaan seperti silih berganti. Ada kalanya beras, gula, bawang, dan cabai juga meroket dan terkendali.
Pentingnya data negara terkait komoditas pangan di antaranya disampaikan Wasekjen Perhimpunan Pertanian Indonesia (Perhepi) Lely Pelitasari Soebekty dan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Nunung Nuryartono. Lely Pelitasari misalnya menandaskan, pemerintah sebenarnya bisa memprediksi kenaikan kebutuhan pangan di Indonesia, hingga kemudia menyetok pangan lebih banyak sehingga konsumen mendapatkan harga yang wajar.
“Kenapa (suplai dan permintaan) tidak terjaga? Bisa jadi (karena) pemerintah tidak punya neraca komoditas yang akurat. Kemudian, bicara data produksi, kebutuhan, dan gap diantara itu yang harus dijaga. Makanya, cadangan menjadi seksi. Artinya, sudah tanggal dan bulan itu (permintaan naik) pasti (pangan) kurang ya akhirnya (bisa) diantisipasi,” ujar dia.
Dia menegaskan bahwa pemerintah memiliki banyak langkah antisipasi agar kenaikan harga tidak berulang terjadi. Sayangnya sejauh ini pemerintah sering hanya menjadi “pemadam kebakaran” ketika harga meroket dan bahan kebutuhan pokok langkah. “Giliran harga naik, pilihan gampang impor. Harga turun, biasanya nyuruh Bulog beli abis itu disimpan. Itu untuk komoditas yang bisa disimpan,” ucapnya.
Menurut dia, pengelolaan pangan ini memerlukan integrasi dari hulu hingga hilir. Pemerintah harus menjaga dan mengawasi sisi produsen hingga selanjutnya, seperti distribusi dan pasar. Kehadiran Badan Pangan Nasional (Bapanas) seharusnya menjadi jawaban untuk menyelesaikan seluruh persoalan. Namun, kerja dan praktek di lapangan masih memerlukan pembuktian.
Masalahnya, lanjut dia, Bapanas harus bekerja sama dan koordinasi dengan sejumlah kementerian, seperti pertanian dan perdagangan. Lely menyebut Bapanas akan menjadi regulator sekaligus operator karena membawahi Bulog dan badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang pangan.
Di sisi lain, Bapanas harus mengintegrasikan dan harmonisasi kebijakan operasional dan teknis yang selama ini menjadi kewenangan beberapa kementerian. Dalam pandangannya, walaupun terlihat powerfull secara kewenangan, namun payung hukum Bapanas ini adalah peraturan presiden (perpres) dan di sisi lain sisi lainn akan berhadapan dengan organ-organ di kementerian yang kemungkinan kewenangannya dimandatkan melalui peraturan pemerintah (PP). Secara konstitusi, PP lebih tinggi dari perpres. Tantangan lain adalah ego sektoral antar kementerian dan lembaga.
“Bagaimana kementerian-kementerian teknis ini melakukan penyesuaian-penyesuaian atas perpres ini. Contoh, dalam perpres ini kewenangan penerapan impor di badan pangan nasional. Sekarang pertanyaannya, apakah di kementerian perdagangan, peraturan terkait ini sudah disesuaikan? Apakah fungsinya sudah diubah menyesuaikan perpres ini? Bisa jadi belum karena yang jadi dasar direktur (urusan) impor di sana PP,” pungkasnya.
Nunung Nuryartono menjelaskan, kenaikan pada saat hari-hari besar yang sudah dilewati, seperti Natal dan tahun baru, masih wajar. Namun, kenaikan dan kelangkaan yang masih terus terjadi sampai saat ini yang menjadi pertanyaan publik. Menurut dia, dari sisi permintaan, sebenarnya tidak ada lonjakan yang cukup drastik. Karena itu pemerintah harus melihat dan mengawasi lagi penerapan DMO dan DPO, serta distribusi dari produsen hingga konsumen.
“Harusnya dalam konsep tata kelola yang baik ketika diterapkan DMO, (lalu) siapa yang mengawasi? Temuan di Sumut, saya melihatnya sebagai sesuatu yang mencengangkan. Persoalan seperti itu semestinya tidak terjadi. Kalau kita mengurai satu per satu, bisa kok pemerintah menggunakan instrument-instrumennya untuk mengendalikan harga mintak goreng,” tegasnya.
Di sisi lain, Nunung mengungkapkan memang terjadi kenaikan indeks harga pangan, seperti sereal, gula, dan lainnya, di pasar global. Tren itu sudah terjadi sejak tahun 2001. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB itu mengatakan persoalan pangan ini tidak bisa secara sederhana. Dia menjelaskan fluktuasi harga pangan ini salah satu yang relatif tinggi dalam mendorong inflasi.
Pemenuhan pangan juga terkait dengan kesehatan dan gizi masyarakat. Dia menuturkan mayoritas pengeluaran masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan itu untuk pangan. Pemerintah harus bekerja keras lagi dalam memastikan stok dan menstabilkan harga pangan. Saat ini ada harapan baru dengan dilantik Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo.
“Saya kira ini menjadi momentum dan tugas berat kepala Badan Pangan Nasional yang harus bisa memastikan dan melihat lagi bagaimana persoalan pangan dalam konteks tidak berfluktuasinya harga. (Bapanas) harus bisa mengendalikan tanpa mengurangi kesejahteraan produsen dalam hal ini petani. Petani enggak sejahtera, kan kasihan,” paparnya.
Sementara itu,Kemarin Presiden Joko Widodo resmi melantik Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas). Badan initelah dibentuk sejak akhir Juli 2021 lalu. Sebagai pejabat baru, Arief pun mengungkapkan tantangan besar Bapanas dalam mendorong kemajuan industri pangan dalam negeri, termasuk gejolak pangan.
Untuk mengatasi beragam tantangan tersebut, ke depan Bapanas harus bersinergi atau berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) hingga stakeholder di sektor pangan. Pasalnya, kata Arief, tantangan pangan nasional saat ini tidak memungkinkan diselesaikan secara mandiri oleh Bapanas.
"Tujuan mulia ini tidak akan berhasil apabila hanya dikerjakan oleh Badan Pangan Nasional saja, sehingga hari ini mari kita bersatu untuk kemajuan masyarakat Indonesia," ujarnya usai pelantikan.
Arief menyatakan Bapanas akan bekerja sama dengan sejumlah kementerian/lembaga, di antaranya Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, termasuk kelompok asosiasi, petani, peternak, hingga nelayan. "Kita berkolaborasi dengan seluruh stakeholder pangan yang ada. Juga kita akan melibatkan beberapa pihak seperti kementerian terkait, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perekonomian, seluruh stakeholder pangan lainnya, termasuk asosiasi, peternak, nelayan, petani, kemudian kita sinergi kan secara bersama sama," urainya.
Sebagai informasi, Bapanas merupakan lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga baru ini bertugas menyusun kebijakan pangan dan dilaksanakan oleh BUMN Pangan, termasuk ID Food atau Holding BUMN Pangan, serta Perum Bulog. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021, terdapat sembilan jenis pangan yang dikelola oleh BPN, yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Sementara itu, pengamat pertanian dari Asosiasi Politik Indonesia (AEPI) Khudori berharap kehadiran BPN bisa membuat kebijakan pangan bisa lebih terkoordinasi dengan baik. Melalui pemberian kuasa dan kewenangan kepada BPN seperti diatur dalam Perpres No 66 Tahun 2021 dia berharap penyelesaian masalah pangan bisa lebih sederhana. ‘’ Masalah yang sebelumnya diurus sekian banyak kementrian ini di orkestrasi di satu lembaga, seharusnya akan lebih bagus,"jelas Khudori.
Meski semua sudah diatur sesuai dengan lembaga terkait, tetapi bukan menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan pangan yang rumit. Karena, persoalan pangan merupakan masalah multi dimensi dan multi sektoral. "Saat ini, bagaimana badan pangan merumuskan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Karena semua keputusan kembali kepada program di daerahnya,"ucapnya.
Tercatat, ada tiga kementrian yang mendelegasikan kewenangan kepada Bapanas. Pertama, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perdagangan mendelegasikan kewenangan kepada Badan Pangan Nasional mengenai perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga, distribusi pangan, perumusan kebijakan, penetapan kebutuhan ekspor, dan impor pangan.
Kedua, pemerintah di bidang pertanian mendelegasikan kewenangan kepada Bapanas dalam perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh BUMN di bidang pangan. Ketiga, pemerintah di bidang badan usaha milik negara menguasakan kepada BPN untuk memutuskan penugasan perusahaan umum Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional.
Upaya Stabilkan Harga
Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus melakukan upaya untuk mengisi kekosongan minyak goreng di berbagai daerah di Indonesia. Selain sidak ke pasar dan mengeluarkan stok di gudang-gudang distributor, Kemendag bekerja sama denganTNI Angkatan Udara (TNI AU) untuk memperkuat stok minyak goreng ke sejumlah wilayah di Indonesia Timur.Pada tahap awal, TNI AU akan mengirimkan 52.800 liter minyak goreng ke sejumlah wilayah di Papua seperti Sorong,Merauke dan Jayapura.
Dijelaskan Lutfi, Kemendag meminta sejumlah produsen minyak goreng membantu menyediakan stok minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Menurut dia, Para produsen menyatakan sanggup menyediakan minyak goreng kemasan sederhana dan premium dari Surabaya dan Jakarta. ‘’Komitmen TNI AU membantu masyarakat dengan mengirimkan minyak goreng ke agen dan distributor di wilayah Indonesia Timur. Saya minta begitu minyak goreng sudah sampai, agen dan disrributor bisa cepat memasok ke pasar tradisional sehingga masyarakat langsung mendapatkan minyak gorengsesuai harga yang ditetapkan pemerintah,”ujar Mendag Lutfi dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Di sektor hilir, Kementrian Pertanian (Kementan) terus mengupayakan untuk menstabikan harga kedelai dengan meningkatkan produksi kedelai lokal pada 2022 mencapai 1 juta ton. Target ini tentunya cukup tinggi jika dibandingkan dengan produksi 2021 yang hanya mencapai 200 ribu ton. Peningkatan ini diupayakan untuk memenuhi kebutuhan produksi tahu dan tempe yang kini bergantung pada kedelai impor.
(ynt)