Manfaat Investasi Sirkular Ekonomi Bisa Capai Rp144 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengelolaan sampah plastik melalui sirkular ekonomi meberikan manfaat ekonomi yang besar. Berdasarkan laporan National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, investasi sirkular ekonomi memberikan nilai manfaat mencapai USD10 miliar atau sekitar Rp144 triliun per tahun hingga 20 tahun ke depan.
"Sampah plastik masih menjadi permasalahan lingkungan yang dihadapi negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati saat diskusi virtual bertajuk Ekonomi Sirkular: Solusi Limbah Plastik Indonesia dan Mitigasi Perubahan Iklim, di Jakarta, baru-baru ini.
Rosa memberikan contoh sampah sedotan plastik per tahun menghasilkan 93 juta sampah. Menurut dia, sampah sedotan plastik tersebut jika disusun bisa mencakup jarak dari Jakarta sampai Meksiko.
"Persoalan sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka seharusnya jadi keprihatinan semua kalangan mengingat dampaknya yang sangat besar pada perubahan iklim di level global," kata dia.
Meski pemerintah telah berupaya keras untuk menekan pencemaran sampah plastik di lingkungan bebas, kata dia, masyarakat ikut berpartisipaso aktif dengan mengadopsi pola pikir baru terkait pengelolaan sampah plastik.
"Kesadaran individu yang paling utama. Orang perlu melihat sampah sebagai tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab pemerintah semata," kata dia,
Dia mengatakan perubahan pola pikir dan perilaku dalam pengurangan sampah plastik bisa dimulai dari hal-hal kecil, semisal memilah sampah plastik rumah tangga, sedapat mungkin menggunakan kemasan air minum yang awet dan mengurangi pemakaian kantong kresek sekali pakai.
Pada kesempatan yang sama, Ahli Teknologi Produk Plastik dari Universitas Indonesia (UI) Mochamad Chalid menyatakan, terlepas dari banyak stigma yang dilekatkan orang, plastik pada dasarnya produk yang relatif lebih ramah lingkungan ketimbang kemasan lainnya seperti misalnya bahan berbasis kertas.
"Analisis Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan plastik lebih ramah lingkungan karena energi yang diperkukan untuk pembuatannya relatif jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim," katanya.
"Sampah plastik masih menjadi permasalahan lingkungan yang dihadapi negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati saat diskusi virtual bertajuk Ekonomi Sirkular: Solusi Limbah Plastik Indonesia dan Mitigasi Perubahan Iklim, di Jakarta, baru-baru ini.
Rosa memberikan contoh sampah sedotan plastik per tahun menghasilkan 93 juta sampah. Menurut dia, sampah sedotan plastik tersebut jika disusun bisa mencakup jarak dari Jakarta sampai Meksiko.
"Persoalan sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka seharusnya jadi keprihatinan semua kalangan mengingat dampaknya yang sangat besar pada perubahan iklim di level global," kata dia.
Meski pemerintah telah berupaya keras untuk menekan pencemaran sampah plastik di lingkungan bebas, kata dia, masyarakat ikut berpartisipaso aktif dengan mengadopsi pola pikir baru terkait pengelolaan sampah plastik.
"Kesadaran individu yang paling utama. Orang perlu melihat sampah sebagai tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab pemerintah semata," kata dia,
Dia mengatakan perubahan pola pikir dan perilaku dalam pengurangan sampah plastik bisa dimulai dari hal-hal kecil, semisal memilah sampah plastik rumah tangga, sedapat mungkin menggunakan kemasan air minum yang awet dan mengurangi pemakaian kantong kresek sekali pakai.
Pada kesempatan yang sama, Ahli Teknologi Produk Plastik dari Universitas Indonesia (UI) Mochamad Chalid menyatakan, terlepas dari banyak stigma yang dilekatkan orang, plastik pada dasarnya produk yang relatif lebih ramah lingkungan ketimbang kemasan lainnya seperti misalnya bahan berbasis kertas.
"Analisis Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan plastik lebih ramah lingkungan karena energi yang diperkukan untuk pembuatannya relatif jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim," katanya.