Ekspor Terhambat, Pengusaha Minyak Sawit Tolak Aturan DMO 30%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) menolak kebijakan baru pemerintah yang menaikkan Domestic Market Obligation (DMO) untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menjadi 30% dari sebelumnya hanya 20%.
"Tidak perlu DMO 30%, cukup 20% dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," ujar Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3/2022).
Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet. "Apabila ekspor terhalang, maka perkebunan sawit akan rugi karena 64% market kita ada di pasar luar negeri,” ungkapnya.
“Jadi, jangan sampai terjadi ketidakseimbangan di pasar global juga yang menyebabkan harga supply dan demand itu sedikit berkurang, apalagi akhir-akhir ini kita mengalami kesulitan juga dalam mengekspor maka harga melonjak tinggi," imbuhnya.
Terkait gonjang-ganjing minyak goreng, Sahat menyebut sejak ada persoalan minyak goreng di dalam negeri, para eksportir sudah memberikan kontribusi nyata dalam membantu masyarakat.
Sebagai contoh, pada akhir Februari lalu, Indonesia timur mengalami kekurangan minyak goreng. Ada lima atau enam perusahaan eksportir menyewa pesawat hercules untuk membawa minyak goreng ke Indonesia bagian Timur.
"Kurang apa coba pengorbanannya? Demikianlah concern mereka terhadap kelangkaan minyak goreng ini," tuturnya. "Kalau saya di pemerintah, saya akan langsung kasih mereka (eksportir) piagam penghargaan," sahut Sahat.
"Tidak perlu DMO 30%, cukup 20% dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," ujar Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3/2022).
Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet. "Apabila ekspor terhalang, maka perkebunan sawit akan rugi karena 64% market kita ada di pasar luar negeri,” ungkapnya.
“Jadi, jangan sampai terjadi ketidakseimbangan di pasar global juga yang menyebabkan harga supply dan demand itu sedikit berkurang, apalagi akhir-akhir ini kita mengalami kesulitan juga dalam mengekspor maka harga melonjak tinggi," imbuhnya.
Terkait gonjang-ganjing minyak goreng, Sahat menyebut sejak ada persoalan minyak goreng di dalam negeri, para eksportir sudah memberikan kontribusi nyata dalam membantu masyarakat.
Sebagai contoh, pada akhir Februari lalu, Indonesia timur mengalami kekurangan minyak goreng. Ada lima atau enam perusahaan eksportir menyewa pesawat hercules untuk membawa minyak goreng ke Indonesia bagian Timur.
"Kurang apa coba pengorbanannya? Demikianlah concern mereka terhadap kelangkaan minyak goreng ini," tuturnya. "Kalau saya di pemerintah, saya akan langsung kasih mereka (eksportir) piagam penghargaan," sahut Sahat.
(ind)