NFT: Transformasi Pelindungan Hak Cipta dalam Bentuk Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena "Ghozali Everyday" yang sukses menjual koleksi swafoto dalam bentuk Non-Fungible Token (NFT) pada platform OpenSea membuat semakin banyak orang tertarik untuk mempelajari aset digital ini. Keberhasilan "Ghozali Everyday" mampu menunjukkan sisi kreatifitas dari perkembangan NFT sebagai aset digital yang mewakili objek dunia nyata, seperti lukisan, seni, musik, item dalam gim hingga video pendek.
Namun bagaimana sebenarnya hukum hak cipta melihat teknologi baru ini? Secara garis besar, NFT merupakan aset kriptografik pada blockchain dengan kode identifikasi unik dan metadata yang membedakan satu sama lain.
Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, NFT merupakan teknologi yang berpotensi dapat menjadi salah satu solusi
pembajakan karya di dunia digital. Setali tiga uang, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Razilu mengatakan bahwa banyak objek hak cipta yang termasuk dalam NFT.
"Sebagaimana kita ketahui objek dari aset digital tersebut sebagian besar adalah karya yang dilindungi sebagai hak cipta. NFT sudah dienkripsi di blockchain dan tidak bisa diduplikat, sehingga aset digital NFT sangat terjamin keasliannya," jelas Razilu saat membuka Webinar IPTalks: POP HC pada Senin, (21/3/2022).
Lebih lanjut, Razilu mengatakan bahwa NFT juga dapat dikoleksi dan tidak bisa digandakan sehingga menjadikannya sebagai karya cipta yang langka. Namun, teknologi ini masih harus dikembangkan agar tidak digunakan justru untuk merugikan banyak orang.
Sementara itu, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung Agung Harsoyo menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik dari NFT, yaitu identifikasi yang unik; tidak dapat dipertukarkan secara langsung dengan token lain; setiap token memiliki pemilik dan informasinya mudah diverifikasi; dan setiap orang yang menciptakan NFT dapat
menentukan kelangkaannya.
"Karena karakteristik inilah yang membuat NFT menjadi teknologi yang enabler untuk melindungi hak cipta," ujar Agung.
Di sisi lain, Ketua Umum IKANO Universitas Padjajaran Ranti Fauza menegaskan masih terdapat beberapa aspek krusial pada NFT yang belum ditemukan regulasinya secara komprehensif dan berpotensi menimbulkan problematika hukum.
"Masih ada kendala terkait transparansi mengingat NFT dapat dijalankan secara anonim dalam sistem blockchain. Sementara hak cipta menganut prinsip deklaratif di mana pengumuman ciptaan dan penciptanya menjadi dasar dari timbulnya pelindungan hak cipta itu sendiri," kata Ranti.
"Sistem blockchain memungkinkan orang atau pihak tertentu untuk mengklaim suatu karya cipta dan kemudian melakukan konversi atas karya cipta tersebut melalui proses tokenisasi, meskipun jika karya tersebut bukan karyanya sendiri. Jadi ada kemungkinan karya yang dikonversi ke NFT bukan milik pencipta asli," lanjutnya.
Kepala Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Tasya Safiranita Ramli menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dari NFT di ruang digital.
"Konten NFT tidak boleh melanggar pelindungan data pribadi dan kekayaan intelektual, penyelenggara sistem elektronik wajib patuh terhadap undang-undang, dan ada konsekuensi terhadap pelanggaran kewajiban seperti pemutusan akses terhadap pengguna platform," pungkas Tasya.
Selain itu, Tasya juga menjelaskan mengenai lisensi dalam NFT bahwa pembelian NFT bukan berarti termasuk hak untuk menampilkannya atau hak untuk menggunakan dengan tujuan komersial.
"Penggunaan smart contract dapat berfungsi untuk pembayaran royalti dan memperjelas hak yang dipertahankan atau diberikan atas suatu objek NFT," jelasnya.
Smart contract merupakan kontrak digital di mana terdapat pengaturan perjanjian antara pengguna yang dituangkan dalam bentuk kode. (SYL/KAD/CM)
Namun bagaimana sebenarnya hukum hak cipta melihat teknologi baru ini? Secara garis besar, NFT merupakan aset kriptografik pada blockchain dengan kode identifikasi unik dan metadata yang membedakan satu sama lain.
Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, NFT merupakan teknologi yang berpotensi dapat menjadi salah satu solusi
pembajakan karya di dunia digital. Setali tiga uang, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Razilu mengatakan bahwa banyak objek hak cipta yang termasuk dalam NFT.
"Sebagaimana kita ketahui objek dari aset digital tersebut sebagian besar adalah karya yang dilindungi sebagai hak cipta. NFT sudah dienkripsi di blockchain dan tidak bisa diduplikat, sehingga aset digital NFT sangat terjamin keasliannya," jelas Razilu saat membuka Webinar IPTalks: POP HC pada Senin, (21/3/2022).
Lebih lanjut, Razilu mengatakan bahwa NFT juga dapat dikoleksi dan tidak bisa digandakan sehingga menjadikannya sebagai karya cipta yang langka. Namun, teknologi ini masih harus dikembangkan agar tidak digunakan justru untuk merugikan banyak orang.
Sementara itu, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung Agung Harsoyo menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik dari NFT, yaitu identifikasi yang unik; tidak dapat dipertukarkan secara langsung dengan token lain; setiap token memiliki pemilik dan informasinya mudah diverifikasi; dan setiap orang yang menciptakan NFT dapat
menentukan kelangkaannya.
"Karena karakteristik inilah yang membuat NFT menjadi teknologi yang enabler untuk melindungi hak cipta," ujar Agung.
Di sisi lain, Ketua Umum IKANO Universitas Padjajaran Ranti Fauza menegaskan masih terdapat beberapa aspek krusial pada NFT yang belum ditemukan regulasinya secara komprehensif dan berpotensi menimbulkan problematika hukum.
"Masih ada kendala terkait transparansi mengingat NFT dapat dijalankan secara anonim dalam sistem blockchain. Sementara hak cipta menganut prinsip deklaratif di mana pengumuman ciptaan dan penciptanya menjadi dasar dari timbulnya pelindungan hak cipta itu sendiri," kata Ranti.
"Sistem blockchain memungkinkan orang atau pihak tertentu untuk mengklaim suatu karya cipta dan kemudian melakukan konversi atas karya cipta tersebut melalui proses tokenisasi, meskipun jika karya tersebut bukan karyanya sendiri. Jadi ada kemungkinan karya yang dikonversi ke NFT bukan milik pencipta asli," lanjutnya.
Kepala Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Tasya Safiranita Ramli menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dari NFT di ruang digital.
"Konten NFT tidak boleh melanggar pelindungan data pribadi dan kekayaan intelektual, penyelenggara sistem elektronik wajib patuh terhadap undang-undang, dan ada konsekuensi terhadap pelanggaran kewajiban seperti pemutusan akses terhadap pengguna platform," pungkas Tasya.
Selain itu, Tasya juga menjelaskan mengenai lisensi dalam NFT bahwa pembelian NFT bukan berarti termasuk hak untuk menampilkannya atau hak untuk menggunakan dengan tujuan komersial.
"Penggunaan smart contract dapat berfungsi untuk pembayaran royalti dan memperjelas hak yang dipertahankan atau diberikan atas suatu objek NFT," jelasnya.
Smart contract merupakan kontrak digital di mana terdapat pengaturan perjanjian antara pengguna yang dituangkan dalam bentuk kode. (SYL/KAD/CM)
(srf)