Kenaikan Harga BBM Non Subsidi Jadi Peluang Menjaga Ketahanan Energi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) menyatakan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi di tengah tingginya harga minyak mentah bisa menjadi salah satu kesempatan bagi pemerintah dalam menjaga ketahanan energi .
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum SPPSI, Muhammad Anis. Menurut Anis, penyesuaian harga dinilai mampu mengatasi kerugian dari perusahaan pelat merah penyalur bahan bakar minyak yakni PT Pertamina (Persero).
"Kita ketahui harga Pertamax saat ini masih Rp.9000, sedangkan harga pasar sudah di atas Rp.10.000," kata Anis dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu dirinya juga meminta pemerintah harus segera membayar piutang PT Pertamina (Persero) yang telah mencapai Rp 100 triliun agar BUMN itu bisa tetap menjalankan penugasan di tengah tingginya harga minyak mentah dunia. Harga minyak yang terus naik di atas USD100 per barel telah menggerus arus kas (cashflow) Pertamina.
Jika piutangnya tidak segera dibayar, Pertamina dalam beberapa bulan ke depan dikhawatirkan tak mampu lagi menjalankan penugasan-penugasan pemerintah, seperti program BBM satu harga, program pengadaan dan pendistribusian BBM bersubsidi, serta program pengadaan dan pendistribusian elpiji bersubsidi. Bahkan, pasokan BBM di dalam negeri bisa terganggu.
"Penyesuaian harga BBM dan pembayaran subsidi Pemerintah ke Pertamina ini akan memastikan seluruh penugasan pemerintah dan kegiatan operasional dari hulu ke hilir berjalan dengan baik," ujar Anis.
"Didukung oleh seluruh pekerja untuk bekerja lebih giat menjalankan tugas menjaga ketahanan energi di Indonesia," sambungnya.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyataka,n memahami jika harga BBM Non Subsidi disesuaikan mengikuti harga pasar global. Sebab, harga minyak dunia saat ini sudah melonjak tinggi.
Apalagi, lanjut Sugeng, sebenarnya volume konsumsi produk tersebut pun sangat kecil. Volume konsumsi terbesar justru BBM yang disubsidi negara yaitu Pertalite dan Biosolar, yang mencapai 83%.
"BBM non subsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, memang sangat kecil konsumsinya. Hanya 17 persen. Dan BBM non subsidi tersebut, diperuntukkan bagi kalangan mampu dan sektor industri,” kata Sugeng beberapa waktu lalu.
Ia pun meminta agar masyarakat tak perlu resah. Selain volumenya sangat kecil, BBM non subsidi ini pun sebagian besar dikonsumsi segmen masyarakat tertentu, dan tidak digunakan oleh transportasi umum maupun usaha kecil.
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum SPPSI, Muhammad Anis. Menurut Anis, penyesuaian harga dinilai mampu mengatasi kerugian dari perusahaan pelat merah penyalur bahan bakar minyak yakni PT Pertamina (Persero).
"Kita ketahui harga Pertamax saat ini masih Rp.9000, sedangkan harga pasar sudah di atas Rp.10.000," kata Anis dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu dirinya juga meminta pemerintah harus segera membayar piutang PT Pertamina (Persero) yang telah mencapai Rp 100 triliun agar BUMN itu bisa tetap menjalankan penugasan di tengah tingginya harga minyak mentah dunia. Harga minyak yang terus naik di atas USD100 per barel telah menggerus arus kas (cashflow) Pertamina.
Jika piutangnya tidak segera dibayar, Pertamina dalam beberapa bulan ke depan dikhawatirkan tak mampu lagi menjalankan penugasan-penugasan pemerintah, seperti program BBM satu harga, program pengadaan dan pendistribusian BBM bersubsidi, serta program pengadaan dan pendistribusian elpiji bersubsidi. Bahkan, pasokan BBM di dalam negeri bisa terganggu.
"Penyesuaian harga BBM dan pembayaran subsidi Pemerintah ke Pertamina ini akan memastikan seluruh penugasan pemerintah dan kegiatan operasional dari hulu ke hilir berjalan dengan baik," ujar Anis.
"Didukung oleh seluruh pekerja untuk bekerja lebih giat menjalankan tugas menjaga ketahanan energi di Indonesia," sambungnya.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyataka,n memahami jika harga BBM Non Subsidi disesuaikan mengikuti harga pasar global. Sebab, harga minyak dunia saat ini sudah melonjak tinggi.
Apalagi, lanjut Sugeng, sebenarnya volume konsumsi produk tersebut pun sangat kecil. Volume konsumsi terbesar justru BBM yang disubsidi negara yaitu Pertalite dan Biosolar, yang mencapai 83%.
"BBM non subsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, memang sangat kecil konsumsinya. Hanya 17 persen. Dan BBM non subsidi tersebut, diperuntukkan bagi kalangan mampu dan sektor industri,” kata Sugeng beberapa waktu lalu.
Ia pun meminta agar masyarakat tak perlu resah. Selain volumenya sangat kecil, BBM non subsidi ini pun sebagian besar dikonsumsi segmen masyarakat tertentu, dan tidak digunakan oleh transportasi umum maupun usaha kecil.
(akr)