Peringkat Daya Saing Singapura Paling Kompetitif, Indonesia Urutan 40
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peringkat daya saing Indonesia kembali mengalami penurunan. Data terbaru yang dirilis IMD World Competitiveness Year Book 2020, Indonesia berada di peringkat 40, anjlok delapan peringkat dibanding tahun sebelumnya di posisi 32.
Turunnya daya saing versi IMD ditengarai akibat masih lemahnya fokus sasaran pembangunan yang dikembangkan pemerintah. Untuk itu, perlu dilakukan re-focusing arah pembangunan infrastruktur yang selama ini digencarkan pemerintah.
Menurut IMD, dari hasil survei yang dirilis Selasa (16/6/2020), Indonesia memiliki beberapa tantangan di antaranya pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat pada semester I tahun ini. Faktor lainnya, ada kenaikan angka pengangguran serta bertambahnya tingkat kemiskinan akibat ekonomi yang terganggu karena imbas Covid-19.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, perlu evaluasi menyeluruh mengapa daya saing Indonesia justru melorot padahal di sisi lain pembangunan infrastruktur cukup masif. “Apakah infrastruktur belum tepat sasaran? Misalnya, untuk mendorong produktivitas sektor industri manufaktur. Jadi perlu refocusing pembangunan infrastruktur ini," katanya kepada SINDO Media di Jakarta kemarin.
Bima menambahkan, untuk mendukung peningkatan daya saing, perlu ada perbaikan kualitas infrastruktur yang peringkatnya juga menurun. (Baca: Bos Instagram Bakal Tinjau Ulang Kebijakan Lawan Rasisme)
Pada Oktober tahun lalu Forum Ekonomi Dunia (World Economy Forum/WEF) juga merilis peringkat daya saing Indonesia yang berada di urutan ke-50, turun dibanding 2018 di peringkat 45. Penurunan tersebut disebabkan salah satunya akibat masih terbatasnya kualitas inovasi di Tanah Air.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin sebelumnya mengatakan, untuk mendorong peningkatan daya saing, perlu bauran kebijakan antara fiskal dan moneter di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Daya Tarik Investasi
Dalam daftar indeks Daya Saing Global versi Institute for Management Development (IMD), Singapura berada di urutan teratas, mengalahkan negara-negara ekonomi maju lain seperti AS dan Eropa.
Menurut IMD, Singapura menjadi negara yang mendekati nilai sempurna dalam kajiannya. Negara yang menjadi salah satu tujuan investasi global itu berhasil mengalahkan negara-negara Eropa dan AS yang merupakan episentrum ekonomi global. Kekuatan utama Singapura terletak pada daya tarik investasi dan perdagangan internasional, pasar buruh, dan ketenagakerjaan.
Dalam laporan sebelumnya Singapura juga berada di posisi teratas dan selalu masuk 10 besar. Sebaliknya, AS justru terus merosot sejak Singapura naik ke posisi puncak. Tahun ini AS berada di posisi 10. Penyebab utamanya diduga kuat akibat kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump.
AS di bawah kepemimpinan Trump mengalami sejumlah konflik diplomatik dan perdagangan dengan komunitas internasional, mulai dari Iran hingga China. Direktur IMD World Competitiveness Center Arturo Bris mengatakan, ketegangan antara AS dan sejumlah pemain ekonomi telah memberikan dampak negatif terhadap AS.
“Jika saja itu terus berlanjut, daya saing AS akan memburuk di masa yang akan datang. Ekonomi terbuka lebih kompetitif,” kata Bris, dikutip Reuters. Dia menambahkan, globalisasi yang menjadi kunci pertumbuhan dalam 30 tahun sedang menghadapi ancaman. Salah satu dampaknya adalah tarif dan meningkatnya risiko perang dagang. (Baca juga: Menhub Minta Medan dan Surabaya Bikin Transportasi Terpadu)
IMD menyatakan, eskalasi berbagai konflik, krisis, dan ketegangan geopolitik dapat memengaruhi ekonomi global. Selain itu, Revolusi Industri Keempat (4.0) mengubah sistem kemasyarakatan dan ekonomi, termasuk cara bekerja, hidup, dan berinteraksi. 4IR dapat berdampak buruk terhadap negara industrialisasi.
“Tantangan besar ekonomi memerlukan solusi jangka panjang, sedangkan untuk jangka pendek dapat diantisipasi pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia,” ungkap IMD.
Indeks Daya Saing Global 2020 didasarkan pada 12 pilar, yakni institusi, infrastruktur, makroekonomi stabil, pendidikan dan kesehatan, dan pelatihan. Kemudian pasar barang, pasar buruh, pasar keuangan, kemampuan memanfaatkan teknologi, ukuran pasar, produksi barang baru melalui proses yang canggih, dan inovasi.
Menurut IMD, daya saing merupakan hal penting yang dapat meningkatkan standar kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. “Daya saing dapat dicapai oleh semua negara,” ungkap lembaga tersebut. “Ketika daya saing meningkatkan produktivitas, kita bisa melihat dengan jelas ini bukan tentang kompetisi, juga bukan tentang menang atau kalah. Peningkatan mutu pendidikan di negara A tidak akan merendahkan pendidikan di negara B.” (Baca juga: Pilih Prabowo atau Habib Rizieq, Begini Jawaban Ahmad Dhani)
Di samping itu, daya saing tidak akan menutup kerja sama global. Sebaliknya, keterbukaan merupakan hal yang penting dalam meningkatkan daya saing. Eropa dan Amerika Utara memiliki tujuh perwakilan dalam jajaran 10 besar. Sisanya diwakili Asia seperti Singapura, Hong Kong, dan UEA.
Selain IMD, institusi lain yang sering mengeluarkan peringkat daya saing dunia ialah Forum Ekonomi Dunia (WEF). Namun, sejauh ini WEF belum merilis laporan terbaru. Tahun lalu WEF menyatakan daya saing di Subsahara Afrika masih rendah akibat kebijakan yang kurang proaktif dan adanya krisis kepemimpinan.
Menurut WEF, Indonesia dan Vietnam menjadi wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi terbesar di Asia pada 2018. Indonesia dinilai mengalami peningkatan di 10 dari 12 sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Meski nilai inovasinya tak berkembang, Indonesia menjadi inovator teratas di Asia.
Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan peringkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jika dibandingkan lima tahun lalu, prestasi Indonesia cukup baik. Faktor pemicu utamanya ialah pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di peringkat delapan di indeks ukuran pasar domestik. “Namun, Indonesia masih perlu memperbesar efisiensi pasar buruh,” ungkap WEF. (Lihat videonya: Seorang Pemotor di Solo Tewas Terjerat Beang Layangan di Leher)
“Di sektor tersebut, Indonesia berada di posisi ke-96. Indonesia tergusur oleh terlalu besarnya dana pengeluaran, terbatasnya fleksibilitas penentuan upah, dan terbatasnya buruh perempuan,” tambah lembaga nirlaba asal Swiss itu.
Menurut WEF, korupsi, tidak efisiennya birokrasi pemerintah, terbatasnya akses keuangan, infrastruktur yang tidak memadai, dan kebijakan yang tidak stabil akan menjadi aspek terbesar yang memengaruhi daya saing suatu negara. Survei tahun lalu melibatkan 14.375 eksekutif bisnis, 94 di antaranya berasal dari Indonesia. (Muh Shamil/Hafid Fuad/Oktiani Endarwati)
Lihat Juga: Waketum Kadin Andi Yuslim: Kerja Sama Pengusaha-Pemerintah Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8%
Turunnya daya saing versi IMD ditengarai akibat masih lemahnya fokus sasaran pembangunan yang dikembangkan pemerintah. Untuk itu, perlu dilakukan re-focusing arah pembangunan infrastruktur yang selama ini digencarkan pemerintah.
Menurut IMD, dari hasil survei yang dirilis Selasa (16/6/2020), Indonesia memiliki beberapa tantangan di antaranya pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat pada semester I tahun ini. Faktor lainnya, ada kenaikan angka pengangguran serta bertambahnya tingkat kemiskinan akibat ekonomi yang terganggu karena imbas Covid-19.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, perlu evaluasi menyeluruh mengapa daya saing Indonesia justru melorot padahal di sisi lain pembangunan infrastruktur cukup masif. “Apakah infrastruktur belum tepat sasaran? Misalnya, untuk mendorong produktivitas sektor industri manufaktur. Jadi perlu refocusing pembangunan infrastruktur ini," katanya kepada SINDO Media di Jakarta kemarin.
Bima menambahkan, untuk mendukung peningkatan daya saing, perlu ada perbaikan kualitas infrastruktur yang peringkatnya juga menurun. (Baca: Bos Instagram Bakal Tinjau Ulang Kebijakan Lawan Rasisme)
Pada Oktober tahun lalu Forum Ekonomi Dunia (World Economy Forum/WEF) juga merilis peringkat daya saing Indonesia yang berada di urutan ke-50, turun dibanding 2018 di peringkat 45. Penurunan tersebut disebabkan salah satunya akibat masih terbatasnya kualitas inovasi di Tanah Air.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin sebelumnya mengatakan, untuk mendorong peningkatan daya saing, perlu bauran kebijakan antara fiskal dan moneter di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Daya Tarik Investasi
Dalam daftar indeks Daya Saing Global versi Institute for Management Development (IMD), Singapura berada di urutan teratas, mengalahkan negara-negara ekonomi maju lain seperti AS dan Eropa.
Menurut IMD, Singapura menjadi negara yang mendekati nilai sempurna dalam kajiannya. Negara yang menjadi salah satu tujuan investasi global itu berhasil mengalahkan negara-negara Eropa dan AS yang merupakan episentrum ekonomi global. Kekuatan utama Singapura terletak pada daya tarik investasi dan perdagangan internasional, pasar buruh, dan ketenagakerjaan.
Dalam laporan sebelumnya Singapura juga berada di posisi teratas dan selalu masuk 10 besar. Sebaliknya, AS justru terus merosot sejak Singapura naik ke posisi puncak. Tahun ini AS berada di posisi 10. Penyebab utamanya diduga kuat akibat kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump.
AS di bawah kepemimpinan Trump mengalami sejumlah konflik diplomatik dan perdagangan dengan komunitas internasional, mulai dari Iran hingga China. Direktur IMD World Competitiveness Center Arturo Bris mengatakan, ketegangan antara AS dan sejumlah pemain ekonomi telah memberikan dampak negatif terhadap AS.
“Jika saja itu terus berlanjut, daya saing AS akan memburuk di masa yang akan datang. Ekonomi terbuka lebih kompetitif,” kata Bris, dikutip Reuters. Dia menambahkan, globalisasi yang menjadi kunci pertumbuhan dalam 30 tahun sedang menghadapi ancaman. Salah satu dampaknya adalah tarif dan meningkatnya risiko perang dagang. (Baca juga: Menhub Minta Medan dan Surabaya Bikin Transportasi Terpadu)
IMD menyatakan, eskalasi berbagai konflik, krisis, dan ketegangan geopolitik dapat memengaruhi ekonomi global. Selain itu, Revolusi Industri Keempat (4.0) mengubah sistem kemasyarakatan dan ekonomi, termasuk cara bekerja, hidup, dan berinteraksi. 4IR dapat berdampak buruk terhadap negara industrialisasi.
“Tantangan besar ekonomi memerlukan solusi jangka panjang, sedangkan untuk jangka pendek dapat diantisipasi pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia,” ungkap IMD.
Indeks Daya Saing Global 2020 didasarkan pada 12 pilar, yakni institusi, infrastruktur, makroekonomi stabil, pendidikan dan kesehatan, dan pelatihan. Kemudian pasar barang, pasar buruh, pasar keuangan, kemampuan memanfaatkan teknologi, ukuran pasar, produksi barang baru melalui proses yang canggih, dan inovasi.
Menurut IMD, daya saing merupakan hal penting yang dapat meningkatkan standar kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. “Daya saing dapat dicapai oleh semua negara,” ungkap lembaga tersebut. “Ketika daya saing meningkatkan produktivitas, kita bisa melihat dengan jelas ini bukan tentang kompetisi, juga bukan tentang menang atau kalah. Peningkatan mutu pendidikan di negara A tidak akan merendahkan pendidikan di negara B.” (Baca juga: Pilih Prabowo atau Habib Rizieq, Begini Jawaban Ahmad Dhani)
Di samping itu, daya saing tidak akan menutup kerja sama global. Sebaliknya, keterbukaan merupakan hal yang penting dalam meningkatkan daya saing. Eropa dan Amerika Utara memiliki tujuh perwakilan dalam jajaran 10 besar. Sisanya diwakili Asia seperti Singapura, Hong Kong, dan UEA.
Selain IMD, institusi lain yang sering mengeluarkan peringkat daya saing dunia ialah Forum Ekonomi Dunia (WEF). Namun, sejauh ini WEF belum merilis laporan terbaru. Tahun lalu WEF menyatakan daya saing di Subsahara Afrika masih rendah akibat kebijakan yang kurang proaktif dan adanya krisis kepemimpinan.
Menurut WEF, Indonesia dan Vietnam menjadi wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi terbesar di Asia pada 2018. Indonesia dinilai mengalami peningkatan di 10 dari 12 sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Meski nilai inovasinya tak berkembang, Indonesia menjadi inovator teratas di Asia.
Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan peringkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jika dibandingkan lima tahun lalu, prestasi Indonesia cukup baik. Faktor pemicu utamanya ialah pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di peringkat delapan di indeks ukuran pasar domestik. “Namun, Indonesia masih perlu memperbesar efisiensi pasar buruh,” ungkap WEF. (Lihat videonya: Seorang Pemotor di Solo Tewas Terjerat Beang Layangan di Leher)
“Di sektor tersebut, Indonesia berada di posisi ke-96. Indonesia tergusur oleh terlalu besarnya dana pengeluaran, terbatasnya fleksibilitas penentuan upah, dan terbatasnya buruh perempuan,” tambah lembaga nirlaba asal Swiss itu.
Menurut WEF, korupsi, tidak efisiennya birokrasi pemerintah, terbatasnya akses keuangan, infrastruktur yang tidak memadai, dan kebijakan yang tidak stabil akan menjadi aspek terbesar yang memengaruhi daya saing suatu negara. Survei tahun lalu melibatkan 14.375 eksekutif bisnis, 94 di antaranya berasal dari Indonesia. (Muh Shamil/Hafid Fuad/Oktiani Endarwati)
Lihat Juga: Waketum Kadin Andi Yuslim: Kerja Sama Pengusaha-Pemerintah Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8%
(ysw)