Tulah Presiden Sri Lanka: Dulu Dipuja, Kini Didemo Gara-gara KKN dan Krisis BBM

Minggu, 03 April 2022 - 09:00 WIB
loading...
Tulah Presiden Sri Lanka:...
Presiden Sri Lanka Gotabhaya Rajapaksa terancam jatuh karena krisis ekonomi. Foto/Reuters
A A A
JAKARTA - Presiden Sri Lanka Gotabhaya Rajapaksa kini tengah ketar-ketir. Bagaimana tidak, demonstrasi di depan kediamannya yang semula berjalan damai berubah menjadi huru hara.



Sebuah bus terbakar dan polisi saling terlibat lempar batu dengan demonstran. Polisi Sri Lanka kemudian memberlakukan jam malam.

"Presiden Gotabhaya Rajapaksa menyalahkan peristiwa itu pada 'elemen ekstremis'," tulis BBC, dikutip Minggu (3/4/2022).

Aksi demosntrasi dipicu oleh kelangkaan bahan bakar dan gas. Antrean panjang dilaporkan terjadi di luar stasiun bahan bakar. Warga juga harus mengantre berjam-jam saat cuaca panas untuk membeli tabung gas masak yang terkadang hasilnya sangat tragis. Lima orang lanjut usia dikabarkan meregang nyawa setelah pingsan dalam antrean selama beberapa minggu terakhir.

Tak cuma itu, Sri Lanka juga mengalami pemadam listrik yang membuat kehidupan warga menjadi sulit. Dewan listrik negara itu memberlakukan pemadaman listrik yang semakin lama. BBC menulis, pada hari Kamis lalu (31/4/2022), listrik dimatikan selama 13 jam, dengan pemadaman 16 jam diperkirakan dalam beberapa hari mendatang.

Pemadaman listrik telah mengganggu bisnis, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari jutaan warga Sri Lanka. Dibalut Kekurangan bahan makanan dan obat-obatan esensial yang menerpa seluruh negeri membuat situasi Sri Lanka sempurna untuk memunculkan huru-hara.

Lantas apa penyebab semua itu? Krisis devisa, jawabnya. Sri Lanka berada di tengah krisis devisa yang melumpuhkan perekonomiannya.

Rezim Gotabhaya Rajapaksa menuding pandemi sebagai biang kerok krisis negaranya. Gara-gara pandemi sektor pariwisata Sri Lanka--yang menjadi ujung tombak pendapatan negara kepulauan itu--membuat jumlah turis menyusut drastis. Ditambah lagi serangkaian aksi bom terhadap rumah-rumah ibadah.



Namun dalih sang rezim dibantah oleh para ahli. Mereka mengatakan bahwa krisis di Sri Lanka sudah lama terjadi, dan saat ini hanya sebagai puncaknya saja.

"Ini adalah ledakan, hasil akumulasi dari situasi telah dibangun selama beberapa dekade, dan seperti biasa tidak ada yang bertanggung jawab untuk itu. Tentu saja, pemerintah saat ini secara langsung bertanggung jawab atas salah urus krisis yang disengaja sejak mereka berkuasa pada 2019 karena ketidakmampuan, kesombongan, dan tentu saja korupsi," kata Jayadeva Uyangoda, seorang ilmuwan politik dan komentator, kepada BBC.

Suara senada dilontarkan mantan deputi gubernur bank sentral Sri Lanka, WA Wijewardena. Dia mengatakan bahwa Sri Lanka membuat kesalahan mendasar karena tidak berintegrasi dengan ekonomi global setelah berakhirnya perang saudara pada tahun 2009. Tak pelak, sumber devisa yang berasal dari ekspor tak terjaga dengan baik.

"Ekspor yang menyumbang 33% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2000 kini turun menjadi 12% dan tetap pada level itu," katanya.

Cadangan devisa yang mencapai USD7,6 miliar pada akhir tahun 2019 kini telah turun ke level USD2,3 miliar. Dari cadangan tersebut, devisa yang dapat digunakan telah turun menjadi sekitar USD300 juta.

Wijewardena merasa keadaan akan menjadi jauh lebih buruk sebelum menjadi lebih baik, karena tidak ada aliran devisa yang berkelanjutan untuk negara yang sangat bergantung pada impor itu. Alhasil, Sri Lanka tidak lagi memiliki cukup uang untuk membeli barang-barang penting, seperti bahan bakar untuk kendaraan ataupun listrik.

Yang paling tak bisa diterima rakyat Sri Lanka adalah polah rezim yang berkuasa. Ketika rakyat mengalami pemadam bergilir, para pejabat dan kroni presiden justru tak merasakan kegelapan sama sekali. Berita melaporkan bahwa presiden dan menterinya dibebaskan dari pemadaman listrik, bersama dengan pertunjukan kekayaan yang mewah oleh anggota keluarga sehingga memuncakan amarah rakyat.

Padahal Presiden Gotabhaya Rajapaksa pernah dipuja dan menjadi pilihan utama rakyat Sri Lanka pada pemilu 2019 lalu. Dia memenangi suara mayoritas sebanyak 52,25%.



Rakyat Sri Lanka sepertinya sudah berpaling. Pasalnya, peringkat korupsi dan nepotisme Gotabhaya Rajapaksa yang merajalela selama berkuasa.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1103 seconds (0.1#10.140)