Antrean Solar Bersubsidi Masih Terjadi, Ini Penyebabnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi beberapa waktu belakangan ini ramai diberitakan terjadi di berbagai daerah.
Menyikapi fenomena tersebut, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengungkapkan bahwa setidaknya ada empat hal yang menjadi penyebab antrean solar bersubsidi di berbagai daerah tersebut.
Sofyano mengatakan, faktor utamanya adalah berkurangnya kuota solar bersubsidi ungtuk tahun 2022 dibanding tahun sebelumnya. Kuota solar bersubsidi untuk tahun ini tercatat hanya sebesar 14,9 juta kiloliter (KL), turun dibandingkan kuota tahun sebelumnya yang mencapai 15,4 juta KL.
"Padahal, menurut pemerintah tahun 2022 ada peningkatan ekonomi sekitar 5%," kata Sofyano dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/4/2022).
Selanjutnya, disparitas harga antara solar bersubisidi dan solar non subsidi yang terlalu lebar. Solar bersubsidi saat ini dihargai Rp5.150 per liter, sementara harga solar industri (non subsidi) sekitar Rp13.000 per liter.
"Ini sangat bisa menjadi salah satu penyebab masalah, karena sangat mungkin solar bersubsidi lari ke pengguna yang tidak berhak. Harga solar bersubsidi terlalu murah jika dibandingkan harga jual atau harga keekonnomian solar industri," tandasnya.
Faktor lainnya, sambung Sofyano, adalah penetapan kuota penyaluran solar bersubsidi yang kini ditetapkan menjadi kuota per lembaga penyalur, bukan lagi kuota per kabupaten atau per kota. Dengan mekanisme ini, jelas dia, ketika stok solar subsidi di satu SPBU kosong akibat diserbu pembeli, maka badan usaha tidak bisa segera menambah pasokan solar ke SPBU tersebut.
Penyebab terakhir, kata Sofyano, adalah ketidakjelasan peraturan mengenai siapa yang berhak atas solar bersubsidi. Menurut dia, hal ini perlu menjadi perhatian khusus pemerintah.
"Aturan yang sekarang ini sangat abu-abu, sehingga para pengemudi kendaraan jenis dan angkutan apapun merasa berhak atas solar bersubsidi. Ini menjadi masalah di lapangan," tandasnya.
Menyikapi fenomena tersebut, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengungkapkan bahwa setidaknya ada empat hal yang menjadi penyebab antrean solar bersubsidi di berbagai daerah tersebut.
Sofyano mengatakan, faktor utamanya adalah berkurangnya kuota solar bersubsidi ungtuk tahun 2022 dibanding tahun sebelumnya. Kuota solar bersubsidi untuk tahun ini tercatat hanya sebesar 14,9 juta kiloliter (KL), turun dibandingkan kuota tahun sebelumnya yang mencapai 15,4 juta KL.
"Padahal, menurut pemerintah tahun 2022 ada peningkatan ekonomi sekitar 5%," kata Sofyano dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/4/2022).
Selanjutnya, disparitas harga antara solar bersubisidi dan solar non subsidi yang terlalu lebar. Solar bersubsidi saat ini dihargai Rp5.150 per liter, sementara harga solar industri (non subsidi) sekitar Rp13.000 per liter.
"Ini sangat bisa menjadi salah satu penyebab masalah, karena sangat mungkin solar bersubsidi lari ke pengguna yang tidak berhak. Harga solar bersubsidi terlalu murah jika dibandingkan harga jual atau harga keekonnomian solar industri," tandasnya.
Faktor lainnya, sambung Sofyano, adalah penetapan kuota penyaluran solar bersubsidi yang kini ditetapkan menjadi kuota per lembaga penyalur, bukan lagi kuota per kabupaten atau per kota. Dengan mekanisme ini, jelas dia, ketika stok solar subsidi di satu SPBU kosong akibat diserbu pembeli, maka badan usaha tidak bisa segera menambah pasokan solar ke SPBU tersebut.
Penyebab terakhir, kata Sofyano, adalah ketidakjelasan peraturan mengenai siapa yang berhak atas solar bersubsidi. Menurut dia, hal ini perlu menjadi perhatian khusus pemerintah.
"Aturan yang sekarang ini sangat abu-abu, sehingga para pengemudi kendaraan jenis dan angkutan apapun merasa berhak atas solar bersubsidi. Ini menjadi masalah di lapangan," tandasnya.
(fai)