Tugas Berat Sosok Cantik di OJK: Jauhkan Masyarakat dari Rentenir Online
loading...
A
A
A
JAKARTA - Friderica Widyasari Dewi ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen periode 2022-2027. Kontan saja, sosok cantik kelahiran 1975 ini menjadi sorotan publik.
Di luar kecantikannya yang sudah tak terbantahkan, menyembul pertanyaan: mampukah Kiki (panggilan akrab Friderica) menjalakan tugasnya. Bagaimana pun tugasnya di OJK bukanlah pekerjaan ringan.
Kiki memang klotokan dengan dunia pasar modal. Satu dekade lebih waktunya dibureskan di Bursa Efek Indonesia. Mulai dari posisi kepala divisi komunikasi perusahaan BEI di tahun 2006 hingga duduk di jajaran dewan direksi sebaga direktur pengembangan BEI pada 2009.
Salah satu tugas berat Kiki adalah meningkatkan angka literasi keuangan. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan sebesar 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%.
Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan hasil survei OJK pada 2016. Saat itu, indeks literasi keuangan baru mencapai 29,7% dan indeks inklusi keuangan 67,8%.
Jika melihat data-data itu tergambar bahwa indeks literasi keuangan sulit mendekati angka inklusi keuangan, gapnya mencapai 50%. Nah tahun 2024 OJk menargetkan angka indeks inklusi keuangan sebesar 90%.
Untuk mengejar target itu, OJK tentu akan mendorong industri jasa keuangan agar semakin mudah "dicicipi" masyarakat. Perkaranya, ketika masyarakat mulai mudah bersentuhan dengan produk-produk keuangan, tapi di sisi lain masyarakat masih belum melek soal itu, bisa berabe.
Ujung-ujungnya, akan muncul kasus-kasus investasi bodong ataupun terjerat rentenir online alias pinjaman online ilegal, seperti yang marak terjadi saat ini. Apalagi, kemajuan teknologi semakin memudahkan masyarakat mengakses produk-produk keuangan, terutama yang dari fintech.
Kiki sendiri menyadari tantangan itu. Dalam paparannya saat uji kepatutan dan kelayakan di Komisi XI dia akan fokus untuk meningkatkan literasi keuangan di Tanah Air. Tak tanggung-tanggung, ia pun menargetkan secara nasional literasi keuangan dalam negeri bisa naik 3% hingga 4% setiap tahunnya menjadi 62% sampai 70%.
"Kemudian inklusi keuangan 3% bisa naik per tahun, sehingga 2024 bisa tercapai sesuai yang ditetapkan oleh Presiden. Kemudian di tahun 2027 bisa lebih dari 90%," ujarnya di ruang rapat komisi XI, Rabu (6/4/2022).
Target yang tak terlalu ambisius tampaknya. Jika kembali melihat Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2016 dan 2019 terungkap peningkatan literasi keuangan hanya sebesar 8,33%. Artinya rata-rata pertumbuhan literasi keuangan di angka 2,77%.
Yah kita tunggu saja, apakah dia mampu mewujudkan targetnya itu sehingga masyarakat mulai "ngeh" dengan pinjaman-pinjaman onlie bodong.
Lihat Juga: Mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Kunjungi MNC Sekuritas untuk Belajar Pasar Modal
Di luar kecantikannya yang sudah tak terbantahkan, menyembul pertanyaan: mampukah Kiki (panggilan akrab Friderica) menjalakan tugasnya. Bagaimana pun tugasnya di OJK bukanlah pekerjaan ringan.
Kiki memang klotokan dengan dunia pasar modal. Satu dekade lebih waktunya dibureskan di Bursa Efek Indonesia. Mulai dari posisi kepala divisi komunikasi perusahaan BEI di tahun 2006 hingga duduk di jajaran dewan direksi sebaga direktur pengembangan BEI pada 2009.
Salah satu tugas berat Kiki adalah meningkatkan angka literasi keuangan. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan sebesar 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%.
Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan hasil survei OJK pada 2016. Saat itu, indeks literasi keuangan baru mencapai 29,7% dan indeks inklusi keuangan 67,8%.
Jika melihat data-data itu tergambar bahwa indeks literasi keuangan sulit mendekati angka inklusi keuangan, gapnya mencapai 50%. Nah tahun 2024 OJk menargetkan angka indeks inklusi keuangan sebesar 90%.
Untuk mengejar target itu, OJK tentu akan mendorong industri jasa keuangan agar semakin mudah "dicicipi" masyarakat. Perkaranya, ketika masyarakat mulai mudah bersentuhan dengan produk-produk keuangan, tapi di sisi lain masyarakat masih belum melek soal itu, bisa berabe.
Ujung-ujungnya, akan muncul kasus-kasus investasi bodong ataupun terjerat rentenir online alias pinjaman online ilegal, seperti yang marak terjadi saat ini. Apalagi, kemajuan teknologi semakin memudahkan masyarakat mengakses produk-produk keuangan, terutama yang dari fintech.
Kiki sendiri menyadari tantangan itu. Dalam paparannya saat uji kepatutan dan kelayakan di Komisi XI dia akan fokus untuk meningkatkan literasi keuangan di Tanah Air. Tak tanggung-tanggung, ia pun menargetkan secara nasional literasi keuangan dalam negeri bisa naik 3% hingga 4% setiap tahunnya menjadi 62% sampai 70%.
"Kemudian inklusi keuangan 3% bisa naik per tahun, sehingga 2024 bisa tercapai sesuai yang ditetapkan oleh Presiden. Kemudian di tahun 2027 bisa lebih dari 90%," ujarnya di ruang rapat komisi XI, Rabu (6/4/2022).
Target yang tak terlalu ambisius tampaknya. Jika kembali melihat Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2016 dan 2019 terungkap peningkatan literasi keuangan hanya sebesar 8,33%. Artinya rata-rata pertumbuhan literasi keuangan di angka 2,77%.
Yah kita tunggu saja, apakah dia mampu mewujudkan targetnya itu sehingga masyarakat mulai "ngeh" dengan pinjaman-pinjaman onlie bodong.
Lihat Juga: Mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Kunjungi MNC Sekuritas untuk Belajar Pasar Modal
(uka)