Jaga Stabilitas Ekonomi, Penambahan Subsidi BBM Dinilai Tepat

Rabu, 25 Mei 2022 - 14:48 WIB
loading...
Jaga Stabilitas Ekonomi, Penambahan Subsidi BBM Dinilai Tepat
Kebijakan pemerintah menambah subsidi dalam APBN tahun ini dinilai tepat untuk menjaga stabilisasi ekonomi. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) untuk menjaga agar harga bahan bakar minyak (BBM ) subsidi dan penugasan tidak naik di tengah tingginya harga minyak dunia dinilai sebagai pilihan tepat.

Diketahui, Pemerintah dan Pertamina hingga saat ini kompak tidak menaikkan harga solar subsidi, tetap Rp5.150 per liter dan BBM penugasan Pertalite pada harga Rp7.650 per liter. Padahal, harga keekonomian dua jenis BBM itu masing-masing adalah Rp12.119 dan Rp12.665 per liter.

Untuk menahan harga, pemerintah menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 sebesar Rp71,8 triliun. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penambahan subsidi adalah imbas dari disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi yang terlampau jauh.



"Dengan kondisi ini pemerintah harus all out menjaga subsidi energi. Dana masih tersedia asal pemerintah mau fokus ke stabilisasi harga energi sekaligus membantu meringankan cashflow Pertamina," ujar Bhima, dalam keterangannya, Rabu (25/5/2022).

Dengan mengambil sikap untuk menambah subsidi daripada menaikkan harga BBM, pemerintah berupaya untuk menjaga daya beli masyarakat.

Sementara, Pertamina sebagai badan usaha pelaksana subsidi dan penugasan, juga dinilai telah menjalankan tugas dengan baik. Hal itu dibuktikan dengan terlaksananya pengadaan dan penyaluran BBM subsidi dan penugasan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah 3 T (terdepan, terpencil, dan terluar) sesuai kuota yang telah ditetapkan.

Berkaitan dengan tugas penting itu, lanjut Bhima, pemerintah dapat memprioritaskan alokasi pembayaran piutang ke Pertamina yang nilainya sekitar Rp100 triliun. Hal itu penting untuk membantu arus kas BUMN migas tersebut. "Pemanfaatan windfall pendapatan negara dari booming harga komoditas idealnya sebagian juga masuk ke subsidi energi," ujar Bhima.

Terpisah, Guru Besar Bidang Manajemen dari President University Jony Oktavian Haryanto mengatakan bahwa dampak perang Rusia-Ukraina mendorong banyak negara di dunia menggelontorkan dana dalam jumlah besar kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi. Hal itu dinilai wajar untuk menggerakkan ekonomi dan menekan inflasi.

Pasalnya, kata dia, seperti ditakutkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, apabila inflasi ini tidak terkontrol maka bisa memicu krisis berkelanjutan.

Menurut Jony, saat harga minyak sudah menembus level USD100 per barel, kondisi ini seharusnya direspons dengan kenaikan harga BBM. Namun, kenaikan harga BBM akan menekan daya beli dan mengerek inflasi lebih tinggi. Terlebih, kata dia, kenaikan harga BBM secara politis sangat tidak populer di tengah kondisi masyarakat yang sedang susah.

"Makanya, terobosan yang dilakukan pemerintah mau tidak mau harus memberikan subsidi. Imbasnya angka subsidi membengkak seperti yang disampaikan menteri keuangan kemarin," ujarnya.

Menurut dia, penambahan subsidi BBM harusnya diikuti oleh kebijakan untuk mengelola kuota BBM subsidi dan penugasan. Apalagi pemerintah telah mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dari 15 juta KL dan pertalite 28,5 juta KL dari proyeksi 23 juta KL.

"Kembali ke masyarakat, mau pakai barang subsidi atau tidak. Ini karena pemerintah tidak punya tools untuk mengontrol subsidi tersebut digunakan oleh yang berhak atau tidak," katanya.

Peneliti Center for Economics and Development Studieds (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti juga menilai bahwa kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan menambah subsidi BBM sudah tepat.

"Langkah tersebut merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilisasi inflasi secara domestik," tandasnya.

Artinya, pemerintah yang didukung Pertamina melakukan intervensi fiskal demi mengurangi dampak rantai logistik yang disebabkan kenaikan BBM, terutama untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga dan rentan masuk dalam jurang kemiskinan.

Saat ini, kata dia, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan eksrem akibat pandemi yang harus segera ditekan. Jika tidak ada kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM, maka akan merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan.



"Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi solar dan pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif," tuturnya.

Di sisi lain, Yayan menilai, pemerintah harus mereformasi kebijakan subsidi energi. Menurutnya, efektivitas subsidi energi sangat kecil dan tidak mengedukasi penggunaan energi yang baik. Dia berharap pemerintah tegas mendorong masyarakat perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan mampu untuk membeli pertamax.

"Pertalite difokuskan pada kendaraan umum dan wilayah suburban atau perdesaan yang pendapatannya lebih kecil dan aksesnya lebih terbatas di bandingkan perkotaan. Mengapa ini dilakukan? Dengan pembagian ini akan memudahkan pelayanan penggunaan energi agar tepat sasaran dan tidak menyulitkan masyarakat untuk mengakses BBM," ujarnya.

Selain itu, kata Yayan, dengan memberikan subsidi kepada kendaraan umum diharapkan masyarakat menggunakan kembali transportasi publik dan menghidupkan sektor transportasi yang sempat terjerembab akibat dihantam pandemi.
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1730 seconds (0.1#10.140)