Kemasan Plastik Sekali Pakai Jadi Hambatan Kejar Target Ekonomi Hijau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peta jalan transformasi ekonomi hijau yang menitikberatkan pada pengurangan penggunaan sampah plastik telah menjadi komitmen pemerintah mencapai target pengurangan sampah plastik hingga 70% di tahun 2025. Namun demikian, penggunaan air minum kemasan sekali pakai justru menjadi hambatan terhadap komitmen tersebut lantaran bertentangan dengan tujuan utama mengurangi sampah plastik.
"Kalau tiba-tiba penggunaan galon isi ulang ini tidak bisa digunakan lagi, apa penggantinya? Jangan kita kembali jungkir balik, sementara semua sepakat untuk mengurangi pencemaran sampah plastik di lingkungan, tidak lagi menggunakan single-use plastic atau plastik sekali pakai," kata Pakar Teknologi Lingkungan ITB Enri Damanhuri, di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut dia menilai kemasan galon air minum isi ulang justru menjadi solusi penyediaan air minum yang ramah lingkungan di Indonesia. Pasalnya, kemasan galon isi ulang bisa digunakan secara berulang dan praktis tanpa menimbulkan potensi timbulnya persoalan sampah plastik baru yang dapat menganggu lingkungan.
Melansir data produksi sampah plastik nasional 2021, beberapa tipe bahan plastik yang kerap ditemukan adalah Polypropylene (PP), Polyethylene Terephthalate (PET), dan Polycarbonate (PC), yang sebagian besar berasal dari produk air minum dalam kemasan
(AMDK). Dengan kata lain, polusi sampah plastik AMDK masih jadi krisis yang belum teratasi di Tanah Air.
Berdasarkan data olahan dari Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) dan lembaga riset AC Nielsen, produk AMDK menyumbang 328.117 ton dari 11,6 juta ton sampah plastik sepanjang tahun 2021. Enri berpendapat, kemasan galon isi ulang justru dapat menjadi solusi karena di Indonesia memang belum banyak tersedia infrastruktur air siap minum atau (tap drinkable water) seperti di
sejumlah negara-negara maju.
Dia mengatakan setiap kemasan memiliki keunggulan sendiri dari segi pertimbangan ketahanan, keamanan, maupun keramahan terhadap lingkungan, seperti kemampuan untuk digunakan kembali sehingga tidak menimbulkan limbah plastik yang mengancam lingkungan.
"Penting menjadi perhatian juga adalah bagaimana perlakukan kita terhadap kemasan plastik itu setelah kita konsumsi air minumnya," ujarnya.
Secara persentase, volume sampah plastik pada 2021 naik dua kali lipat dibandingkan dengan data 10 tahun terakhir. Hal inilah yang perlu diantisipasi oleh pemerintah dan segera direspons oleh pelaku usaha. Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik mengatakan kemasan guna ulang lebih baik dibandingkan sekali pakai untuk mencegah agar orang tidak mudah nyampah. Namun demikian dengan rencana pelabelan BPA akan menimbulkan pergeseran kebiasaan masyarakat dari penggunaan galon isi ulang ke galon sekali pakai.
"Dalam konteks pengelolaan sampah, betul, mungkin akan ada pergeseran dari konsumsi galon yang dipakai ulang ke galon sekali pakai, akan ada pengaruhnya," kata dia.
Sebagi informasi, KLHK telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Permen tersebut mengatur ketentuan bagi perusahaan, termasuk produsen AMDK, dalam mengelola kemasan plastik dalam pelaksanaan usahanya dengan tujuan membantu pencapaian target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen pada 2029.
"Kalau tiba-tiba penggunaan galon isi ulang ini tidak bisa digunakan lagi, apa penggantinya? Jangan kita kembali jungkir balik, sementara semua sepakat untuk mengurangi pencemaran sampah plastik di lingkungan, tidak lagi menggunakan single-use plastic atau plastik sekali pakai," kata Pakar Teknologi Lingkungan ITB Enri Damanhuri, di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut dia menilai kemasan galon air minum isi ulang justru menjadi solusi penyediaan air minum yang ramah lingkungan di Indonesia. Pasalnya, kemasan galon isi ulang bisa digunakan secara berulang dan praktis tanpa menimbulkan potensi timbulnya persoalan sampah plastik baru yang dapat menganggu lingkungan.
Melansir data produksi sampah plastik nasional 2021, beberapa tipe bahan plastik yang kerap ditemukan adalah Polypropylene (PP), Polyethylene Terephthalate (PET), dan Polycarbonate (PC), yang sebagian besar berasal dari produk air minum dalam kemasan
(AMDK). Dengan kata lain, polusi sampah plastik AMDK masih jadi krisis yang belum teratasi di Tanah Air.
Berdasarkan data olahan dari Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) dan lembaga riset AC Nielsen, produk AMDK menyumbang 328.117 ton dari 11,6 juta ton sampah plastik sepanjang tahun 2021. Enri berpendapat, kemasan galon isi ulang justru dapat menjadi solusi karena di Indonesia memang belum banyak tersedia infrastruktur air siap minum atau (tap drinkable water) seperti di
sejumlah negara-negara maju.
Dia mengatakan setiap kemasan memiliki keunggulan sendiri dari segi pertimbangan ketahanan, keamanan, maupun keramahan terhadap lingkungan, seperti kemampuan untuk digunakan kembali sehingga tidak menimbulkan limbah plastik yang mengancam lingkungan.
"Penting menjadi perhatian juga adalah bagaimana perlakukan kita terhadap kemasan plastik itu setelah kita konsumsi air minumnya," ujarnya.
Secara persentase, volume sampah plastik pada 2021 naik dua kali lipat dibandingkan dengan data 10 tahun terakhir. Hal inilah yang perlu diantisipasi oleh pemerintah dan segera direspons oleh pelaku usaha. Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik mengatakan kemasan guna ulang lebih baik dibandingkan sekali pakai untuk mencegah agar orang tidak mudah nyampah. Namun demikian dengan rencana pelabelan BPA akan menimbulkan pergeseran kebiasaan masyarakat dari penggunaan galon isi ulang ke galon sekali pakai.
"Dalam konteks pengelolaan sampah, betul, mungkin akan ada pergeseran dari konsumsi galon yang dipakai ulang ke galon sekali pakai, akan ada pengaruhnya," kata dia.
Sebagi informasi, KLHK telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Permen tersebut mengatur ketentuan bagi perusahaan, termasuk produsen AMDK, dalam mengelola kemasan plastik dalam pelaksanaan usahanya dengan tujuan membantu pencapaian target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen pada 2029.
(nng)