Prediksi Sri Mulyani Pandemi Covid-19 Selesai dalam 3 Tahun Dipertanyakan IMF
loading...
A
A
A
NUSA DUA - Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang hanya mempersiapkan Pandemi Covid-19 selama 3 tahun dipertanyakan oleh lembaga pemeringkat, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) . Mantan Direktur Bank Dunia itu menjelaskan bahwa krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 sangat berbeda dengan krisis keuangan Indonesia sebelumnya.
Aktivitas perekonomian turun sangat dalam diakibatkan oleh masalah yang timbul dari sisi kesehatan, pendapatan masyarakat, dan menurunnya penerimaan negara akibat perekonomian yang terhenti. Menanggapi hal itu, respons kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan memungkinkan pelebaran defisit.
Untuk pertama kalinya setelah lebih dari 15 tahun, Indonesia menerapkan kebijakan fiskal yang tidak membiarkan defisit lebih dari 3%.
“Hanya tiga tahun saja kebijakan fiskal memungkinkan defisit lebih dari tiga persen, dan Bank Indonesia dapat membeli obligasi pemerintah secara langsung. Hal itu diperlukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan kemanusiaan atau sebagai upaya jaring pengaman sosial,” terangnya.
Terkait kebijakan tersebut, Sri Mulyani mengakui bahwa telah menerima banyak pertanyaan termasuk dari lembaga pemeringkat. “Termasuk IMF bertanya bukankah terlalu singkat untuk tiga tahun ini? Bagaimana Anda tahu bahwa pandemi akan berakhir dalam tiga tahun? Tidak ada yang tahu. Tapi saya pikir itu sangat penting untuk menautkan kredibilitas,” tutur Sri Mulyani.
Sementara di sisi lain, Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa independensi bank sentral sangat penting dalam menjaga kredibilitas dan kemampuan untuk menahan banyak guncangan.
“Namun, kredibilitas hanya dapat dibangun dengan waktu, dan diuji dengan begitu banyak situasi nyata. Dalam waktu yang sangat sulit itu, Anda dapat menunjukkan apakah Anda memiliki otoritas fiskal dan kebijakan moneter yang kredibel,” ungkapnya.
Dalam High Level Seminar of Macroeconomic Policy Mix for Stability dan Economic Recovery, Ia juga menyampaikan bahwa reformasi struktural menjadi salah satu fokus Indonesia saat ini dalam mengelola perekonomian. Termasuk untuk menangani kerawanan pangan dan energi, sehingga ketahanan pangan dan energi dapat terjaga.
Hal itu dikarenakan proses pemulihan ekonomi dengan bauran kebijakan saat ini makin dipersulit akibat perang di Ukraina yang berdampak sangat serius pada harga pangan dan energi.
“Kami ingin membahas lebih banyak masalah struktural dalam perekonomian. Apakah ini terkait dengan infrastruktur, produktivitas, kualitas sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan, serta hal-hal lain yang dapat meningkatkan produktivitas misalnya kebijakan di bidang riset dan inovasi,” ujar Sri Mulyani di Nusa Dua beberapa waktu lalu.
Aktivitas perekonomian turun sangat dalam diakibatkan oleh masalah yang timbul dari sisi kesehatan, pendapatan masyarakat, dan menurunnya penerimaan negara akibat perekonomian yang terhenti. Menanggapi hal itu, respons kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan memungkinkan pelebaran defisit.
Untuk pertama kalinya setelah lebih dari 15 tahun, Indonesia menerapkan kebijakan fiskal yang tidak membiarkan defisit lebih dari 3%.
“Hanya tiga tahun saja kebijakan fiskal memungkinkan defisit lebih dari tiga persen, dan Bank Indonesia dapat membeli obligasi pemerintah secara langsung. Hal itu diperlukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan kemanusiaan atau sebagai upaya jaring pengaman sosial,” terangnya.
Terkait kebijakan tersebut, Sri Mulyani mengakui bahwa telah menerima banyak pertanyaan termasuk dari lembaga pemeringkat. “Termasuk IMF bertanya bukankah terlalu singkat untuk tiga tahun ini? Bagaimana Anda tahu bahwa pandemi akan berakhir dalam tiga tahun? Tidak ada yang tahu. Tapi saya pikir itu sangat penting untuk menautkan kredibilitas,” tutur Sri Mulyani.
Sementara di sisi lain, Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa independensi bank sentral sangat penting dalam menjaga kredibilitas dan kemampuan untuk menahan banyak guncangan.
“Namun, kredibilitas hanya dapat dibangun dengan waktu, dan diuji dengan begitu banyak situasi nyata. Dalam waktu yang sangat sulit itu, Anda dapat menunjukkan apakah Anda memiliki otoritas fiskal dan kebijakan moneter yang kredibel,” ungkapnya.
Dalam High Level Seminar of Macroeconomic Policy Mix for Stability dan Economic Recovery, Ia juga menyampaikan bahwa reformasi struktural menjadi salah satu fokus Indonesia saat ini dalam mengelola perekonomian. Termasuk untuk menangani kerawanan pangan dan energi, sehingga ketahanan pangan dan energi dapat terjaga.
Hal itu dikarenakan proses pemulihan ekonomi dengan bauran kebijakan saat ini makin dipersulit akibat perang di Ukraina yang berdampak sangat serius pada harga pangan dan energi.
“Kami ingin membahas lebih banyak masalah struktural dalam perekonomian. Apakah ini terkait dengan infrastruktur, produktivitas, kualitas sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan, serta hal-hal lain yang dapat meningkatkan produktivitas misalnya kebijakan di bidang riset dan inovasi,” ujar Sri Mulyani di Nusa Dua beberapa waktu lalu.
(akr)