Rencana AS Batasi Harga Minyak Rusia Disebut Ide Konyol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Usulan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara G7 lainnya untuk menerapkan pembatasan harga (price cap) untuk minyak Rusia dinilai sebagai ide konyol. Alih-alih bisa membuat minyak lebih murah, rencana itu justru bisa mendorong harga minyak ke USD140 per barel.
"Ini semacam ide yang konyol menurut saya," kata Co-director Institute for the Analysis of Global Security Gal Luft seperti dilansir CNBC, Senin (18/7/2022).
Dia menegaskan, ide itu mengabaikan fakta bahwa minyak adalah komoditas fungible. Istilah fungible berarti dapat dipertukarkan. Luft menyamakan rencana itu dengan pergi ke toko dan meminta penjual untuk menerima lebih sedikit uang dari harga yang tercantum. "Itu bukan cara kerja pasar minyak," cetusnya. "Ini adalah pasar yang sangat canggih, Anda tidak bisa memaksa harga turun."
Apa yang mungkin terjadi, sambung dia, adalah bahwa Rusia justru akan membatasi produksinya dan menciptakan kelangkaan artifisial di pasar. "Orang-orang Eropa dan Amerika yang berbicara tentang harga USD40 per barel, justru akan mendapatkan harga USD140 per barel," ujar Luft.
Bloomberg, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah ini, melaporkan bahwa AS dan sekutunya telah membahas pembatasan harga minyak Rusia antara USD40 dan USD60 per barel. "Anda tidak bisa menipu hukum penawaran dan permintaan, dan Anda tidak bisa menentang hukum gravitasi ketika menyangkut komoditas yang fungible," tegasnya.
Harga minyak belakangan ini telah melonjak karena permintaan kembali meningkat setelah negara-negara kembali membuka diri setelah pandemi Covid-19.
Perang Rusia di Ukraina juga berkontribusi pada lonjakan harga energi. Untuk menghukum Moskow atas invasi tersebut, AS melarang impor minyak Rusia, sementara Uni Eropa berencana memberlakukan embargo bertahap. Sementara itu, beberapa negara penghasil minyak sedang berjuang untuk meningkatkan produksi.
Luft bukan satu-satunya analis yang skeptis terhadap rencana tersebut. Pengamat pasar lainnya telah menunjukkan bahwa India dan China, yang telah membeli minyak Rusia yang didiskon, kemungkinan besar tidak akan bekerja sama dengan mekanisme pembatasan tersebut.
Pada pertemuan Kelompok 20 di Bali pekan lalu, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyebut langkah itu sebagai "salah satu alat paling kuat kami" untuk memerangi inflasi. Namun, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengatakan CNBC bahwa masalah energi ada di sisi pasokan, dan pembatasan harga tidak akan menyelesaikannya.
"Ini semacam ide yang konyol menurut saya," kata Co-director Institute for the Analysis of Global Security Gal Luft seperti dilansir CNBC, Senin (18/7/2022).
Dia menegaskan, ide itu mengabaikan fakta bahwa minyak adalah komoditas fungible. Istilah fungible berarti dapat dipertukarkan. Luft menyamakan rencana itu dengan pergi ke toko dan meminta penjual untuk menerima lebih sedikit uang dari harga yang tercantum. "Itu bukan cara kerja pasar minyak," cetusnya. "Ini adalah pasar yang sangat canggih, Anda tidak bisa memaksa harga turun."
Apa yang mungkin terjadi, sambung dia, adalah bahwa Rusia justru akan membatasi produksinya dan menciptakan kelangkaan artifisial di pasar. "Orang-orang Eropa dan Amerika yang berbicara tentang harga USD40 per barel, justru akan mendapatkan harga USD140 per barel," ujar Luft.
Bloomberg, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah ini, melaporkan bahwa AS dan sekutunya telah membahas pembatasan harga minyak Rusia antara USD40 dan USD60 per barel. "Anda tidak bisa menipu hukum penawaran dan permintaan, dan Anda tidak bisa menentang hukum gravitasi ketika menyangkut komoditas yang fungible," tegasnya.
Harga minyak belakangan ini telah melonjak karena permintaan kembali meningkat setelah negara-negara kembali membuka diri setelah pandemi Covid-19.
Perang Rusia di Ukraina juga berkontribusi pada lonjakan harga energi. Untuk menghukum Moskow atas invasi tersebut, AS melarang impor minyak Rusia, sementara Uni Eropa berencana memberlakukan embargo bertahap. Sementara itu, beberapa negara penghasil minyak sedang berjuang untuk meningkatkan produksi.
Luft bukan satu-satunya analis yang skeptis terhadap rencana tersebut. Pengamat pasar lainnya telah menunjukkan bahwa India dan China, yang telah membeli minyak Rusia yang didiskon, kemungkinan besar tidak akan bekerja sama dengan mekanisme pembatasan tersebut.
Pada pertemuan Kelompok 20 di Bali pekan lalu, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyebut langkah itu sebagai "salah satu alat paling kuat kami" untuk memerangi inflasi. Namun, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengatakan CNBC bahwa masalah energi ada di sisi pasokan, dan pembatasan harga tidak akan menyelesaikannya.
(fai)