50% UMKM Diperkirakan 'Gulung Tikar' Terpapar Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Krisis akibat Covid-19 berbeda dengan krisis ekonomi 1998, dimana UMKM masih mampu bertahan. Saat ini, akibat pandemi Covid-19, sekitar 50% UMKM diperkirakan gulung tikar. Meski demikian, pemerintah berupaya optimal untuk menyelamatkan UMKM dengan berbagai stimulus, setidaknya agar bisa menekan bertambahnya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan.
"Setidaknya 40 survei memperkirakan separuh UMKM tidak akan mampu bertahan. Pemerintah berusaha membangkitkan UMKM dengan berbagai cara karena di sana ada 60 juta pengusaha UMKM, belum lagi jumlah tenaga kerjanya," kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (28/6/2020).
Langkah-langkah yang dilakukan untuk membangkitkan UMKM antara lain mendorong UMKM menerima bantuan sosial, memberikan insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi pinjaman, dimana ada 60,6 juta UMKM yang sudah terhubung dengan lembaga pembiayaan formal.
Selanjutnya, memberikan pinjaman baru, termasuk pada koperasi, mendorong Kementerian dan Lembaga serta pemda menyerap produk UMKM, serta kampanye membeli produk lokal. "Semua kebijakan itu ditujukan agar daya beli masyarakat bisa tumbuh, sekaligus menggerakkan perekonomian," kata Teten.
Lebih lanjut Teten mengatakan, pemerintah juga memprioritaskan adanya transformasi UMKM, dari yang selama ini mengandalkan offline menjadi online atau ekonomi digital.
"Pandemi saat ini semakin mengharuskan UMKM untuk masuk dalam ekonomi digital. Saat ini baru 8 juta UMKM, atau 13% saja dari total UMKM, yang sudah terkoneksi secara digital. Kami mentargetkan hingga akhir tahun ini ada tambahan 2 juta UMKM yang bisa terhubung ke ekonomi digital, sehingga total akan ada10 juta UMKM," kata Teten.
Sayangnya, lanjut Menkop, tidak serta merta UMKM yang sudah sigital itu bisa bertahan. "Berbagai survei menunjukkan, tingkat keberhasilan UMKM yang masuk ekonomi digital berkisar hanya 4% sampai 10%," katanya.
Berarti ada masalah di situ. "Masalahnya apa? Ada beberapa. Misalnya di pasar online, UMKM sudah harus berhadapan dengan brand besar, sementara kemampuan manajemen masih rendah, kapasitas dan volume produksi juga relatif kecil. Kasus bakpia pathok bisa jadi pelajaran, di mana pelaku UMKM sangat banyak, dengan volume produksi yang terbatas. "Di sini perlu adanya konsolidasi brand, juga perlu ada rumah produksi bersama, sehingga bisa menjadi efisien," sambung Teten.
Menkop menegaskan, pelibatan kaum milenial yang sudah akrab dengan Teknologi Informasi (TI) akan sangat membantu UMKM, khususnya dalam masalah pemasaran di pasar digital. Kaum milenial juga bisa mendampingi UMKM dalam teknologi pengemasan dan kualitas produk.
Staf Khusus Presiden Putri Tanjung menambahkan, saat ini yang dibutuhkan UMKM untuk bisa bertahan, bahkan menjadi pemenang, adalah leader atau CEO, atau entrepreneur yang mampu adaptif dalam menghadapi perubahan, konsisten dalam berproduksi, serta inovatif dalam menciptakan produk.
"Setidaknya 40 survei memperkirakan separuh UMKM tidak akan mampu bertahan. Pemerintah berusaha membangkitkan UMKM dengan berbagai cara karena di sana ada 60 juta pengusaha UMKM, belum lagi jumlah tenaga kerjanya," kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (28/6/2020).
Langkah-langkah yang dilakukan untuk membangkitkan UMKM antara lain mendorong UMKM menerima bantuan sosial, memberikan insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi pinjaman, dimana ada 60,6 juta UMKM yang sudah terhubung dengan lembaga pembiayaan formal.
Selanjutnya, memberikan pinjaman baru, termasuk pada koperasi, mendorong Kementerian dan Lembaga serta pemda menyerap produk UMKM, serta kampanye membeli produk lokal. "Semua kebijakan itu ditujukan agar daya beli masyarakat bisa tumbuh, sekaligus menggerakkan perekonomian," kata Teten.
Lebih lanjut Teten mengatakan, pemerintah juga memprioritaskan adanya transformasi UMKM, dari yang selama ini mengandalkan offline menjadi online atau ekonomi digital.
"Pandemi saat ini semakin mengharuskan UMKM untuk masuk dalam ekonomi digital. Saat ini baru 8 juta UMKM, atau 13% saja dari total UMKM, yang sudah terkoneksi secara digital. Kami mentargetkan hingga akhir tahun ini ada tambahan 2 juta UMKM yang bisa terhubung ke ekonomi digital, sehingga total akan ada10 juta UMKM," kata Teten.
Sayangnya, lanjut Menkop, tidak serta merta UMKM yang sudah sigital itu bisa bertahan. "Berbagai survei menunjukkan, tingkat keberhasilan UMKM yang masuk ekonomi digital berkisar hanya 4% sampai 10%," katanya.
Berarti ada masalah di situ. "Masalahnya apa? Ada beberapa. Misalnya di pasar online, UMKM sudah harus berhadapan dengan brand besar, sementara kemampuan manajemen masih rendah, kapasitas dan volume produksi juga relatif kecil. Kasus bakpia pathok bisa jadi pelajaran, di mana pelaku UMKM sangat banyak, dengan volume produksi yang terbatas. "Di sini perlu adanya konsolidasi brand, juga perlu ada rumah produksi bersama, sehingga bisa menjadi efisien," sambung Teten.
Menkop menegaskan, pelibatan kaum milenial yang sudah akrab dengan Teknologi Informasi (TI) akan sangat membantu UMKM, khususnya dalam masalah pemasaran di pasar digital. Kaum milenial juga bisa mendampingi UMKM dalam teknologi pengemasan dan kualitas produk.
Staf Khusus Presiden Putri Tanjung menambahkan, saat ini yang dibutuhkan UMKM untuk bisa bertahan, bahkan menjadi pemenang, adalah leader atau CEO, atau entrepreneur yang mampu adaptif dalam menghadapi perubahan, konsisten dalam berproduksi, serta inovatif dalam menciptakan produk.
(bon)