Dampak Kebijakan The Fed buat RI Tak Akan Seperti yang Digembar-gemborkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terkait kondisi likuiditas domestik, Indonesia dinilai mampu mengurangi dampak kebijakan di Amerika Serikat atau global. Menurut Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS ) Purbaya Yudhi Sadewa, Indonesia bisa mengendalikan suplai uang di dalam sistem finansial, seperti yang sudah dilakukan Bank Indonesia.
"Pertumbuhan M0 atau pertumbuhan uang primer mencapai 20%, bahkan angka terakhir menunjukkan pertumbuhannya di angka 28%. Artinya, sudah cukup banyak uang yang berada di sistem perekonomian kita,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (9/8/2022).
Sering disebutkan bahwa perekonomian dunia sedang menghadapi ancaman pengetatan likuiditas. Ancaman itu berkaitan dengan tapering off yang dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Fed), yang antara lain tujuannya untuk mengendalikan inflasi dan membawa ekonominya ke level yang lebih stabil, yaitu dengan cara menaikkan bunga dan mengetatkan kebijakan moneter.
“Di Amerika Serikat saat ini hampir resesi, diperkirakan tapering yang dilakukan The Fed juga hampir berakhir. Jadi kami melihat ujung dari tapering tersebut sudah sedikit terlihat. Pengetatan lebih lanjut tidak akan terlalu signifikan. Artinya kendala global, dalam hal ini dampak negatif dari pengetatan kebijakan moneter di AS, yang kita hadapi tidak akan sebesar seperti yang diperkirakan sebelumnya,” jelas Purbaya.
Keadaan likuiditas dalam sistem finansial Indonesia dinilai lebih dari cukup, ditunjukkan juga oleh indikator lainnya, seperti rasio alat likuid atau non-core deposit (AL/NCD) ada di level 133,4% dan alat likuid/DPK (AL/DPK) di level 29,9% pada Juni 2022. Nilai ini berada di atas threshold masing-masing minimal 50% dan 10%.
“Intinya likuiditas perbankan nasional tetap terjaga dengan baik. Perlu ditekankan lagi di sini bahwa kondisi likuiditas itu bukan hanya tergantung pada kondisi global saja, karena sebenarnya kondisi likuiditas perbankan ada di bawah kendali kita sendiri. Bank sentral kita senantiasa menjaga likuiditas perbankan dan memonitor terus dari waktu ke waktu. Dan KSSK sudah menemukan cara yang jitu untuk memelihara atau menjaga likuiditas perbankan nasional,” tambah Purbaya.
Lebih lanjut, menjawab pertanyaan mengenai susutnya kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) yang menurut data terakhir mengecil ke angka sekitar 15%, Purbaya menjelaskan bahwa ada dua sisi yang dapat dilihat dari perkembangan tersebut. Sisi baik dari pengurangan itu adalah ketergantungan kita terhadap dana asing untuk pembangunan semakin kecil, lebih banyak uang yang bersumber dari dalam negeri yang dapat digunakan untuk membiayai misalnya pembangunan infrastruktur nasional.
Keuntungan lainnya adalah stabilitas pasar SBN menjadi lebih mudah dijaga karena kita tidak terlalu terpengaruh lagi oleh pegerakan investor asing di pasar obligasi. Dengan jumlah kepemilikan asing yang lebih sedikit, maka akan relatif lebih memudahkan bagi bank sentral maupun pemerintah mengendalikan gejolak di pasar obligasi.
"Sehingga stabilitas pasar finansial relatif lebih mudah dijaga," jelasnya.
Dia pun membandingkan dengan Jepang, sebab hampir 90% surat berharganya dikuasai oleh domestik. “Jadi jika ada gonjang ganjing di pasar dunia, yield government Jepang tetap stabil, dan stabilitas sistem finansial mereka tetap terjaga,” tandas Purbaya.
Kemudian terkait risiko kepemilikan asing semakin kecil, lanjut Purbaya, jika modal asing banyak yang keluar, tentunya juga akan membuat stabilitas rupiah terganggu, dan rupiah akan terkoreksi. Namun pelaku pasar asing juga investor yang mencari return.
"Kalau pertumbuhan ekonomi suatu negara itu kuat, juga akan menarik investasi di pasar surat utang negara. Pertumbuhan ekonomi yang kuat akan mengundang investasi di sektor riil maupun di sektor finansial, sehingga nilai tukar menguat dan yield surat utang negara pun cenderung turun,” tandasnya.
"Pertumbuhan M0 atau pertumbuhan uang primer mencapai 20%, bahkan angka terakhir menunjukkan pertumbuhannya di angka 28%. Artinya, sudah cukup banyak uang yang berada di sistem perekonomian kita,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (9/8/2022).
Sering disebutkan bahwa perekonomian dunia sedang menghadapi ancaman pengetatan likuiditas. Ancaman itu berkaitan dengan tapering off yang dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Fed), yang antara lain tujuannya untuk mengendalikan inflasi dan membawa ekonominya ke level yang lebih stabil, yaitu dengan cara menaikkan bunga dan mengetatkan kebijakan moneter.
“Di Amerika Serikat saat ini hampir resesi, diperkirakan tapering yang dilakukan The Fed juga hampir berakhir. Jadi kami melihat ujung dari tapering tersebut sudah sedikit terlihat. Pengetatan lebih lanjut tidak akan terlalu signifikan. Artinya kendala global, dalam hal ini dampak negatif dari pengetatan kebijakan moneter di AS, yang kita hadapi tidak akan sebesar seperti yang diperkirakan sebelumnya,” jelas Purbaya.
Keadaan likuiditas dalam sistem finansial Indonesia dinilai lebih dari cukup, ditunjukkan juga oleh indikator lainnya, seperti rasio alat likuid atau non-core deposit (AL/NCD) ada di level 133,4% dan alat likuid/DPK (AL/DPK) di level 29,9% pada Juni 2022. Nilai ini berada di atas threshold masing-masing minimal 50% dan 10%.
“Intinya likuiditas perbankan nasional tetap terjaga dengan baik. Perlu ditekankan lagi di sini bahwa kondisi likuiditas itu bukan hanya tergantung pada kondisi global saja, karena sebenarnya kondisi likuiditas perbankan ada di bawah kendali kita sendiri. Bank sentral kita senantiasa menjaga likuiditas perbankan dan memonitor terus dari waktu ke waktu. Dan KSSK sudah menemukan cara yang jitu untuk memelihara atau menjaga likuiditas perbankan nasional,” tambah Purbaya.
Lebih lanjut, menjawab pertanyaan mengenai susutnya kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) yang menurut data terakhir mengecil ke angka sekitar 15%, Purbaya menjelaskan bahwa ada dua sisi yang dapat dilihat dari perkembangan tersebut. Sisi baik dari pengurangan itu adalah ketergantungan kita terhadap dana asing untuk pembangunan semakin kecil, lebih banyak uang yang bersumber dari dalam negeri yang dapat digunakan untuk membiayai misalnya pembangunan infrastruktur nasional.
Keuntungan lainnya adalah stabilitas pasar SBN menjadi lebih mudah dijaga karena kita tidak terlalu terpengaruh lagi oleh pegerakan investor asing di pasar obligasi. Dengan jumlah kepemilikan asing yang lebih sedikit, maka akan relatif lebih memudahkan bagi bank sentral maupun pemerintah mengendalikan gejolak di pasar obligasi.
"Sehingga stabilitas pasar finansial relatif lebih mudah dijaga," jelasnya.
Dia pun membandingkan dengan Jepang, sebab hampir 90% surat berharganya dikuasai oleh domestik. “Jadi jika ada gonjang ganjing di pasar dunia, yield government Jepang tetap stabil, dan stabilitas sistem finansial mereka tetap terjaga,” tandas Purbaya.
Kemudian terkait risiko kepemilikan asing semakin kecil, lanjut Purbaya, jika modal asing banyak yang keluar, tentunya juga akan membuat stabilitas rupiah terganggu, dan rupiah akan terkoreksi. Namun pelaku pasar asing juga investor yang mencari return.
Baca Juga
"Kalau pertumbuhan ekonomi suatu negara itu kuat, juga akan menarik investasi di pasar surat utang negara. Pertumbuhan ekonomi yang kuat akan mengundang investasi di sektor riil maupun di sektor finansial, sehingga nilai tukar menguat dan yield surat utang negara pun cenderung turun,” tandasnya.
(uka)