Rencana Kenaikan CHT di 2023, Pemerintah Diminta Pertimbangan Sektor Padat Karya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan target cukai hasil tembakau (CHT) pada 2023 dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif kepada industri hasil tembakau, terutama segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya.
Padahal, SKT merupakan sumber penghidupan para pekerja yang didominasi dengan pendidikan dan ekonomi terbatas.
Akademisi IPB Prima Ghandi mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kehidupan pekerja SKT sebelum memutuskan kebijakan kenaikan cukai segmen tersebut.
Menurut dia, untuk melindungi para pekerja dari jeratan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah situasi ekonomi saat ini, maka kenaikan cukai SKT tidak perlu dilakukan. “Perlu ada riset sosial ekonomi terkait pekerja pelinting,” ujarnya, Kamis (1/9/2022).
Apalagi, sambung dia, mayoritas pekerja pelinting merupakan perempuan dengan masa kerja panjang dan tidak memiliki pendidikan formal.
“Kenaikan cukai SKT dapat menimbulkan krisis sosial apabila perusahaan memutuskan mengurangi pekerja. Pekerja itu adalah salah satu faktor produksi,” tuturnya.
Belum lagi, di masa pemulihan ekonomi, dunia kini tengah dihantui dengan beragam krisis dari, krisis energi, krisis pangan, hingga krisis keuangan.
Laporan Kementerian Ketenagakerjaan RI menyebutkan bahwa sebagian pekerja yang sebelumnya terkena dampak pandemi Covid-19, telah kembali bekerja. Kondisi inilah yang perlu dijaga agar tidak lagi terjadi PHK.
Anggota DPR RI Komisi VII Mukhtarudin mengatakan bahwa industri hasil tembakau belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi.
Oleh karena itu, kebijakan cukai harus berpihak sektor padat karya yang menjadi sumber penghidupan ratusan ribu tenaga kerja SKT.
“Tenaga kerja ini perlu dilindungi karena mayoritas adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Banyak yang hanya lulusan SD dan SMP, sedangkan para suaminya banyak yang terkena PHK imbas pandemi,” ujarnya.
Mukhtarudin mengatakan, sektor SKT juga perlu diberikan program-program yang tepat untuk meningkatkan kapasitas para tenaga kerja.
“Dalam industri manapun, yang menjadi concern utama adalah kepastian usaha melalui kebijakan jangka menengah dan panjang. Kebijakan ini perlu dirumuskan dengan melibatkan semua pihak. Dengan demikian, keberlangsungan industrinya dapat terjaga,” katanya.
Dia menambahkan, SKT merupakan sektor padat karya sehingga mestinya tidak dibebani kebijakan yang bisa berdampak pada tenaga kerja seperti kenaikan cukai. “Harus ada perbedaan kebijakan untuk perlindungan para pekerja ini," pungkasnya.
Padahal, SKT merupakan sumber penghidupan para pekerja yang didominasi dengan pendidikan dan ekonomi terbatas.
Akademisi IPB Prima Ghandi mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kehidupan pekerja SKT sebelum memutuskan kebijakan kenaikan cukai segmen tersebut.
Menurut dia, untuk melindungi para pekerja dari jeratan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah situasi ekonomi saat ini, maka kenaikan cukai SKT tidak perlu dilakukan. “Perlu ada riset sosial ekonomi terkait pekerja pelinting,” ujarnya, Kamis (1/9/2022).
Apalagi, sambung dia, mayoritas pekerja pelinting merupakan perempuan dengan masa kerja panjang dan tidak memiliki pendidikan formal.
“Kenaikan cukai SKT dapat menimbulkan krisis sosial apabila perusahaan memutuskan mengurangi pekerja. Pekerja itu adalah salah satu faktor produksi,” tuturnya.
Belum lagi, di masa pemulihan ekonomi, dunia kini tengah dihantui dengan beragam krisis dari, krisis energi, krisis pangan, hingga krisis keuangan.
Laporan Kementerian Ketenagakerjaan RI menyebutkan bahwa sebagian pekerja yang sebelumnya terkena dampak pandemi Covid-19, telah kembali bekerja. Kondisi inilah yang perlu dijaga agar tidak lagi terjadi PHK.
Anggota DPR RI Komisi VII Mukhtarudin mengatakan bahwa industri hasil tembakau belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi.
Oleh karena itu, kebijakan cukai harus berpihak sektor padat karya yang menjadi sumber penghidupan ratusan ribu tenaga kerja SKT.
“Tenaga kerja ini perlu dilindungi karena mayoritas adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Banyak yang hanya lulusan SD dan SMP, sedangkan para suaminya banyak yang terkena PHK imbas pandemi,” ujarnya.
Mukhtarudin mengatakan, sektor SKT juga perlu diberikan program-program yang tepat untuk meningkatkan kapasitas para tenaga kerja.
“Dalam industri manapun, yang menjadi concern utama adalah kepastian usaha melalui kebijakan jangka menengah dan panjang. Kebijakan ini perlu dirumuskan dengan melibatkan semua pihak. Dengan demikian, keberlangsungan industrinya dapat terjaga,” katanya.
Dia menambahkan, SKT merupakan sektor padat karya sehingga mestinya tidak dibebani kebijakan yang bisa berdampak pada tenaga kerja seperti kenaikan cukai. “Harus ada perbedaan kebijakan untuk perlindungan para pekerja ini," pungkasnya.
(ind)