Penting untuk Capai NZE, Panas Bumi Harus Dikembangkan Optimal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dari beragam potensi potensi sumber energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia, panas bumi dinilai sebagai salah satu elemen penting untuk mencapai target netralitas karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060. Karena itu, pengembangan sumber energi panas bumi dinilai perlumendapatkan prioritas pengembangan dari pemerintah.
"Dalam rangka mencapai NZE, seluruh potensi energi terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, belum lamaini.
Fabby menilai sangat wajar jika pemerintah memberi perhatian serius untuk pengembangan panas bumi. Terlebih pemerintah sendiri memiliki peta jalan pengembangan panas bumi dengan target kapasitas 7 Gigawatt (GW) pada 2030.
Apalagi, lanjut Fabby, saat ini ada fasilitas penurunan risiko eksplorasi panas bumi, yaitu Geothermal Resources Risk Management (GREM) yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Belum lagi pendanaan infrastruktur panas bumi yang juga dikelola PT SMI sebesar Rp3,7 triliun yang berasal dari dana APBN dan hibah Bank Dunia.
Tidak kalah penting, lanjut dia, adanya sejumlah pemain besar yang konsisten mengembangkan panas bumi di Tanah Air. Salah satunya adalah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, subholding Power and New Renewable Energy (NRE) Pertamina. "Dalam hal ini prospek bisnis PGE sangat bagus," ujarnya.
Namun, tegas Fabby, PGE tetap harus didukung dan diperkuat agar target yang dicanangkan bisa tercapai. Penguatan PGE lebih pada kemampuan dalam mengelola risiko. “Tak bisa dimungkiri pengembangan panas bumi tidak beda jauh dengan migas yang memiliki risiko sangat tinggi,” tuturnya.
Dia juga menyarankan agar PGE mempersingkat waktu pengembangan lapangan panas bumi dan pembiayaan untuk investasi. "Termasuk bermitra serta mengeksplorasi pemanfaatan listrik panas bumi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, misalnya green hydrogen," ujarnya.
Direktur Utama PGE Ahmad Yuniarto mengungkapkan, hilirisasi panas bumi menjadi salah satu fokus PGE. Green hydrogen yang menjadi produk lanjutan panas bumi, kata dia, pengembangannya diakui bisa memberikan efek berantai luar biasa. Namun upaya pengembangan ini membutuhkan dana tidak sedikit.
"Risiko dalam pengelolaan proyek panas bumi tidak hanya pada fase eksplorasi. Ketika memasuki tahapan konstruksi PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) dan bahkan pada fase operasional lapangan dan PLTP, risiko malah meningkat. Risiko ini terbagi atas risiko surface maupun sub-surface,"jelasnya.
Terlepas dari itu, Yuniarto menegaskan bahwa energi panas bumi bisa menjadi pilar utama dalam menyongsong kebutuhan akan EBT di masa datang, termasuk mendukung capaian NZE dan menjadi pemicu pengembangan ekonomi hijau. Energi panas bumi, kata dia, merupakan satu-satunya EBT yang bisa menyuplai energi secara kontinu dan dapat dijadikan sebagai beban dasar dalam sistem ketenagalistrikan dengan tingkat ketersediaan yang tinggi.
Saat ini, PGE mengelola 13 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang PLTP sebesar 1,8 GW. Sebanyak 672 Megawatt (MW) dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skenario Kontrak Operasi Bersama.
"Dalam rangka mencapai NZE, seluruh potensi energi terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, belum lamaini.
Fabby menilai sangat wajar jika pemerintah memberi perhatian serius untuk pengembangan panas bumi. Terlebih pemerintah sendiri memiliki peta jalan pengembangan panas bumi dengan target kapasitas 7 Gigawatt (GW) pada 2030.
Apalagi, lanjut Fabby, saat ini ada fasilitas penurunan risiko eksplorasi panas bumi, yaitu Geothermal Resources Risk Management (GREM) yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Belum lagi pendanaan infrastruktur panas bumi yang juga dikelola PT SMI sebesar Rp3,7 triliun yang berasal dari dana APBN dan hibah Bank Dunia.
Tidak kalah penting, lanjut dia, adanya sejumlah pemain besar yang konsisten mengembangkan panas bumi di Tanah Air. Salah satunya adalah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, subholding Power and New Renewable Energy (NRE) Pertamina. "Dalam hal ini prospek bisnis PGE sangat bagus," ujarnya.
Namun, tegas Fabby, PGE tetap harus didukung dan diperkuat agar target yang dicanangkan bisa tercapai. Penguatan PGE lebih pada kemampuan dalam mengelola risiko. “Tak bisa dimungkiri pengembangan panas bumi tidak beda jauh dengan migas yang memiliki risiko sangat tinggi,” tuturnya.
Dia juga menyarankan agar PGE mempersingkat waktu pengembangan lapangan panas bumi dan pembiayaan untuk investasi. "Termasuk bermitra serta mengeksplorasi pemanfaatan listrik panas bumi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, misalnya green hydrogen," ujarnya.
Direktur Utama PGE Ahmad Yuniarto mengungkapkan, hilirisasi panas bumi menjadi salah satu fokus PGE. Green hydrogen yang menjadi produk lanjutan panas bumi, kata dia, pengembangannya diakui bisa memberikan efek berantai luar biasa. Namun upaya pengembangan ini membutuhkan dana tidak sedikit.
"Risiko dalam pengelolaan proyek panas bumi tidak hanya pada fase eksplorasi. Ketika memasuki tahapan konstruksi PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) dan bahkan pada fase operasional lapangan dan PLTP, risiko malah meningkat. Risiko ini terbagi atas risiko surface maupun sub-surface,"jelasnya.
Terlepas dari itu, Yuniarto menegaskan bahwa energi panas bumi bisa menjadi pilar utama dalam menyongsong kebutuhan akan EBT di masa datang, termasuk mendukung capaian NZE dan menjadi pemicu pengembangan ekonomi hijau. Energi panas bumi, kata dia, merupakan satu-satunya EBT yang bisa menyuplai energi secara kontinu dan dapat dijadikan sebagai beban dasar dalam sistem ketenagalistrikan dengan tingkat ketersediaan yang tinggi.
Saat ini, PGE mengelola 13 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang PLTP sebesar 1,8 GW. Sebanyak 672 Megawatt (MW) dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skenario Kontrak Operasi Bersama.
(fai)