Indonesia Belum Punya Destinasi Wisata Cokelat, Ini Penyebabnya!
loading...
A
A
A
BANDUNG - Melancong ke negara-negara tujuan wisata, seperti Singapura dan Malaysia, wisatawan biasanya disuguhi paket perjalanan mengunjungi sentra dagang cokelat dengan beraneka merek. Tujuannya, untuk menggerakkan bisnis pelaku usaha cokelat, baik UMKM maupun besar.
Baca juga: 5 Fakta Amelia Alfamart yang Bikin Malu Maling Cokelat, Nomor Terakhir Merdeka
Bagaimana dengan Indonesia? Adakah sentra cokelat yang menjadi tujuan destinasi wisata ? Bagaimanapun, Indonesia merupakan salah satu produsen bahan baku cokelat.
Managing Director Barry Callebout Indonesia Ciptadi Sukono mengatakan, Indonesia dikenal sebagai sentra kakao yang menjadi bahan dasar utama pembuatan cokelat. Namun, tidak semua kalangan bisa menikmati produk cokelat dengan berbagai varian.
“Kendalanya memang pasar kita belum ada. Berbeda dengan negara lain seperti Eropa, semua segmen bisa menikmati produk cokelat dari level middle hingga kelas premium," ucapnya di Bandung, Jawa Barat.
Menurut Ciptadi, kondisi tu tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Pihaknya pun bercita-cita produk cokrlat Indonesia bisa dinikmati semua kalangan masyarakat.
"Caranya mungkin ke depan kami bakal punya tagline Chocolate For Everyone dengan menyediakan cokelat di semua lapisan pasar. Artinya, cokelat bisa dirasakan tidak hanya dari bahan cemilan atau jenis-jenis kue, namun bagaimana menikmati batangan cokelat varian rasa,” ucapnya.
Di dalam negeri, kebutuhan dasar cokelat untuk berbagai kebutuhan industri makanan dan minuman masih mampu dipenuhi. Presentasenya 30%, sedangkan sisanya 70% disediakan untuk kebutuhan global.
“Saya rasa kita masih mampu selama pasarnya atau industrinya juga berkembang. Jika industrinya berkembang ke bagai varian produk, kebutuhan bahan baku cokelat juga pasti bakal besar,” ujar Ciptadi, optimistis.
Di sisi lain, sentra-sentra kakao sebagai penghasil cokelat juga harus diberdayakan dengan menciptakan lab atau pusat cokelat yang mampu memenuhi kebuthan cokelat terhadap semua kalangan.
“Bukan kebetulan, per hari ini (16 September) dikenal sebagai Hari Kakao. Harapan dan cita-cita kami juga besar karena Indonesia tidak hanya dikenal sebagai produsen kopi, namun juga cokelat dengan varian rasa dan barista,” pungkasnya.
Konsumsi cokelat tahunan di Indonesia saat ini hanya sekitar 0,3 kilogram per kapita. Jumlah konsumsi ini masih kalah dibanding Autralia (5,1 kg), Singapura (11 kg) dan Malaysia (0,5 kg). Ini menjadi tantangan tersendiri, sebab Indonesia masih dikenal sebagai produsen biji kakao terbesar, terutama di wilayah Sulawesi dan Sumatra.
“Tantangannya ada pada menciptakan segmen pasar. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami tentu saja,” pungkas Ciptadi.
Meski begitu, pasar cokelat di Indonesia masih mempunyai banyak potensi. Menurut Euromonitor (Juli 2022), nilai penjualan ritel naik 2% pada 2022 menjadi Rp13,4 triliun. Penjualan ritel ditargetkan naik 6% CAGR mencapai Rp18,2 triliun pada 2027. Sejak 2012, Barry Callebaut telah menginvestasikan lebih dari USD50 juta (Rp741,8 miliar) dan saat ini memiliki lebih dari 700 karyawan di seluruh Indonesia.
Baca juga: 5 Fakta Amelia Alfamart yang Bikin Malu Maling Cokelat, Nomor Terakhir Merdeka
Bagaimana dengan Indonesia? Adakah sentra cokelat yang menjadi tujuan destinasi wisata ? Bagaimanapun, Indonesia merupakan salah satu produsen bahan baku cokelat.
Managing Director Barry Callebout Indonesia Ciptadi Sukono mengatakan, Indonesia dikenal sebagai sentra kakao yang menjadi bahan dasar utama pembuatan cokelat. Namun, tidak semua kalangan bisa menikmati produk cokelat dengan berbagai varian.
“Kendalanya memang pasar kita belum ada. Berbeda dengan negara lain seperti Eropa, semua segmen bisa menikmati produk cokelat dari level middle hingga kelas premium," ucapnya di Bandung, Jawa Barat.
Menurut Ciptadi, kondisi tu tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Pihaknya pun bercita-cita produk cokrlat Indonesia bisa dinikmati semua kalangan masyarakat.
"Caranya mungkin ke depan kami bakal punya tagline Chocolate For Everyone dengan menyediakan cokelat di semua lapisan pasar. Artinya, cokelat bisa dirasakan tidak hanya dari bahan cemilan atau jenis-jenis kue, namun bagaimana menikmati batangan cokelat varian rasa,” ucapnya.
Di dalam negeri, kebutuhan dasar cokelat untuk berbagai kebutuhan industri makanan dan minuman masih mampu dipenuhi. Presentasenya 30%, sedangkan sisanya 70% disediakan untuk kebutuhan global.
“Saya rasa kita masih mampu selama pasarnya atau industrinya juga berkembang. Jika industrinya berkembang ke bagai varian produk, kebutuhan bahan baku cokelat juga pasti bakal besar,” ujar Ciptadi, optimistis.
Di sisi lain, sentra-sentra kakao sebagai penghasil cokelat juga harus diberdayakan dengan menciptakan lab atau pusat cokelat yang mampu memenuhi kebuthan cokelat terhadap semua kalangan.
“Bukan kebetulan, per hari ini (16 September) dikenal sebagai Hari Kakao. Harapan dan cita-cita kami juga besar karena Indonesia tidak hanya dikenal sebagai produsen kopi, namun juga cokelat dengan varian rasa dan barista,” pungkasnya.
Konsumsi cokelat tahunan di Indonesia saat ini hanya sekitar 0,3 kilogram per kapita. Jumlah konsumsi ini masih kalah dibanding Autralia (5,1 kg), Singapura (11 kg) dan Malaysia (0,5 kg). Ini menjadi tantangan tersendiri, sebab Indonesia masih dikenal sebagai produsen biji kakao terbesar, terutama di wilayah Sulawesi dan Sumatra.
“Tantangannya ada pada menciptakan segmen pasar. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami tentu saja,” pungkas Ciptadi.
Meski begitu, pasar cokelat di Indonesia masih mempunyai banyak potensi. Menurut Euromonitor (Juli 2022), nilai penjualan ritel naik 2% pada 2022 menjadi Rp13,4 triliun. Penjualan ritel ditargetkan naik 6% CAGR mencapai Rp18,2 triliun pada 2027. Sejak 2012, Barry Callebaut telah menginvestasikan lebih dari USD50 juta (Rp741,8 miliar) dan saat ini memiliki lebih dari 700 karyawan di seluruh Indonesia.
(uka)