Awas, Makan Duit Haram dari Pinjaman Online Bodong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan,sejak 2018 terdapat 2.591 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal (P2P) atau pinjaman online bodong yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) . Angka itu jauh lebih besar dibanding fintech legal yang tercatat di OJK, yaitu 159 entitas.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan, keberadaan pinjaman online bodong ini tak hanya merugikan masyarakat, tapi juga merugikan negara. ( Baca:Kerja Sama dengan Pinjaman Online, Dukcapil Pastikan Tak Berikan Akses Data Kependudukan )
"Keberadaan fintech peer to peer lending ilegal ini merugikan pemerintah, sebab potensi pajak yang diterima negara tidak ada," katanya dalam diskusi secara virtual, Jumat (3/7/2020)
Ia menambahkan maraknya fintech ilegal saat ini diakibatkan oleh proses pembuatan aplikasi yang cukup mudah. Selain itu, perluasan akses media bisnis membuat gerak fintech ilegal kian masif. Sebab saat ini tidak hanya lewat sosial media, namun juga sudah merambah short message service (SMS) atau pesan singkat. (Lihat grafis: Titel Negara Berpendapatan Menengah Atas Jadi Tantangan RI)
"Hal ini membuat kita tidak mengetahui data riil, berapa sebenarnya jumlah pinjaman yang diterima masyarakat," terangnya.
Ia mengimbau, agar masyarakat tidak memakai jasa fintech ilegal. Pasalnya, sumber dana yang dikeluarkan oleh fintech ilegal tidak diketahui asal-usulnya dari mana. (Lihat foto: Pandemi COVID-19, Penjual Sepeda Bekas di Pasar Rumput Laku Keras)
"Yang lebih bahaya, jika fintech ilegal menggunakan dana pencucian uang. Hal tentu akan sangat merugikan masyarakat dan pemerintah," tuturnya.
Untuk mengatasi hal ini, SWI mengambil langkah preventif dengan mengedukasi masyarakat. Kemudian SWI juga berkerja sama dengan Google untuk mendeteksi sejak dini pergerakan aplikasi fintech ilegal tersebut.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan, keberadaan pinjaman online bodong ini tak hanya merugikan masyarakat, tapi juga merugikan negara. ( Baca:Kerja Sama dengan Pinjaman Online, Dukcapil Pastikan Tak Berikan Akses Data Kependudukan )
"Keberadaan fintech peer to peer lending ilegal ini merugikan pemerintah, sebab potensi pajak yang diterima negara tidak ada," katanya dalam diskusi secara virtual, Jumat (3/7/2020)
Ia menambahkan maraknya fintech ilegal saat ini diakibatkan oleh proses pembuatan aplikasi yang cukup mudah. Selain itu, perluasan akses media bisnis membuat gerak fintech ilegal kian masif. Sebab saat ini tidak hanya lewat sosial media, namun juga sudah merambah short message service (SMS) atau pesan singkat. (Lihat grafis: Titel Negara Berpendapatan Menengah Atas Jadi Tantangan RI)
"Hal ini membuat kita tidak mengetahui data riil, berapa sebenarnya jumlah pinjaman yang diterima masyarakat," terangnya.
Ia mengimbau, agar masyarakat tidak memakai jasa fintech ilegal. Pasalnya, sumber dana yang dikeluarkan oleh fintech ilegal tidak diketahui asal-usulnya dari mana. (Lihat foto: Pandemi COVID-19, Penjual Sepeda Bekas di Pasar Rumput Laku Keras)
"Yang lebih bahaya, jika fintech ilegal menggunakan dana pencucian uang. Hal tentu akan sangat merugikan masyarakat dan pemerintah," tuturnya.
Untuk mengatasi hal ini, SWI mengambil langkah preventif dengan mengedukasi masyarakat. Kemudian SWI juga berkerja sama dengan Google untuk mendeteksi sejak dini pergerakan aplikasi fintech ilegal tersebut.
(uka)