SKK Migas Ungkap Kontradiksi Produksi Minyak dan Gas Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi ( SKK Migas ) menyoroti kontradiksi produksi antara minyak dan gas ( migas ) di Indonesia. Jika sedotan minyak kian berkurang, sebaliknya produksi gas berkecukupan.
Kekurangan produksi minyak nasional membuat Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan bahwa Indonesia saat ini merupakan negara net importir minyak.
Produksi minyak Indonesia saat ini sekitar 650 ribu barel per hari (bph). Sementara kapasitas kilang yang ada hanya 1 juta bph, sehingga 350 ribu bph masih dipenuhi dari impor.
"Kita punya potensi di bidang migas. Tapi minyak kita sudah impor. Kira-kira kalau produksi kita 650 ribu barel per hari dan kapasitas kilang 1 juta (bph), berarti kita impor 300-an ribu bph," papar Dwi di Bandung, Selasa (4/10/2022).
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan cadangan gas yang dimiliki Indonesia. Untuk sumber gas, Indonesia justru mempunyai pasokan gas yang melimpah.
Apalagi, Indonesia juga masih memiliki empat proyek gas yang masuk dalam daftar proyek strategis nasional, di antaranya Jambaran Tiung Biru (JTB) oleh Pertamina, proyek Train-3 Kilang LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat oleh BP. Berikutnya, proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia Company. Lalu proyek Kilang LNG Abadi Masela yang dikelola oleh Inpex Corporation.
"Dan kalau gas berlebih kita ekspor, apalagi nanti potensi ke depan akan lebih banyak gas," ujarnya.
SKK Migas mencatat realisasi produksi minyak siap jual atau lifting hingga kuartal III 2022 masih belum mencapai target. Beberapa di antaranya karena disebabkan kejadian penghentian produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown), serta adanya kebocoran pipa karena fasilitas hulu migas yang sudah menua.
Berdasarkan data SKK Migas, realisasi lifting minyak hingga 30 September baru mencapai 610,1 ribu barel per hari (bph) atau baru mencapai 86,8% dari target 703 ribu bph. Sedangkan untuk gas mencapai 5.353 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 92,3% dari target 5.800 MMSCFD.
Kekurangan produksi minyak nasional membuat Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan bahwa Indonesia saat ini merupakan negara net importir minyak.
Produksi minyak Indonesia saat ini sekitar 650 ribu barel per hari (bph). Sementara kapasitas kilang yang ada hanya 1 juta bph, sehingga 350 ribu bph masih dipenuhi dari impor.
"Kita punya potensi di bidang migas. Tapi minyak kita sudah impor. Kira-kira kalau produksi kita 650 ribu barel per hari dan kapasitas kilang 1 juta (bph), berarti kita impor 300-an ribu bph," papar Dwi di Bandung, Selasa (4/10/2022).
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan cadangan gas yang dimiliki Indonesia. Untuk sumber gas, Indonesia justru mempunyai pasokan gas yang melimpah.
Apalagi, Indonesia juga masih memiliki empat proyek gas yang masuk dalam daftar proyek strategis nasional, di antaranya Jambaran Tiung Biru (JTB) oleh Pertamina, proyek Train-3 Kilang LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat oleh BP. Berikutnya, proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia Company. Lalu proyek Kilang LNG Abadi Masela yang dikelola oleh Inpex Corporation.
"Dan kalau gas berlebih kita ekspor, apalagi nanti potensi ke depan akan lebih banyak gas," ujarnya.
SKK Migas mencatat realisasi produksi minyak siap jual atau lifting hingga kuartal III 2022 masih belum mencapai target. Beberapa di antaranya karena disebabkan kejadian penghentian produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown), serta adanya kebocoran pipa karena fasilitas hulu migas yang sudah menua.
Berdasarkan data SKK Migas, realisasi lifting minyak hingga 30 September baru mencapai 610,1 ribu barel per hari (bph) atau baru mencapai 86,8% dari target 703 ribu bph. Sedangkan untuk gas mencapai 5.353 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 92,3% dari target 5.800 MMSCFD.
(uka)