Data Tenaga Kerja AS Bisa Bikin The Fed Makin Agresif, Wall Street Tumbang
loading...
A
A
A
NEW YORK - Tiga indeks Wall Street ditutup turun tajam pada akhir pekan, Jumat (7/10) waktu setempat, menyusul laporanketenagakerjaan Amerika Serikat periode September yang meningkatkan ekspektasi terhadap Federal Reserve (Bank Sentral AS) akan terus memperketat kebijakan moneter dengan mengerek suku bunganya.
Dow Jones Industrial Average (.DJI) ditutup turun 630,15 poin, atau 2,11%, pada 29.296,79, sedangkan indeks S&P 500 (.SPX) kehilangan 104,86 poin atau 2,80% menjadi 3.639,66. Selanjutnya Nasdaq Composite (.IXIC) juga turun 420,91 poin, atau 3,8% menjadi 10.652,41.
Rata-rata volume bursa AS mencapai 11,15 miliar saham, lebih rendah dari 20 hari perdagangan terakhir yang sebesar 11,73 miliar.
Kendati ditutup merosot di akhir pekan, dalam seminggu terakhir S&P 500 naik 1,51%, Dow bertambah 1,99% dan Nasdaq naik 0,73%. Semua 11 sektor utama di S&P 500 turun, dengan sektor teknologi turun paling banyak mencapai 4,14%.
Sebelumnya, Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5%, alias lebih rendah dari ekspektasi pasar 3,7%. Hal ini menunjukkan ekonomi AS masih bertahan di tengah upaya Fed untuk menurunkan lonjakan inflasi.
Data pekerjaan di luar sektor pertanian / non-farm payrolls naik 263.000 pekerjaan, atau lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 250.000. Kuatnya pasar tenaga kerja membuat Fed berpotensi besar mengerek suku bunga 75 basis poin selama empat kali berturut-turut di pertemuan FOMC pada 1-2 November mendatang.
"Ini adalah kasus klasik di mana kabar baik dari ekonomi AS justru adalah kabar buruk bagi The Fed," kata Analis GW&K Investment Management, Bill Sterling, dilansir Reuters, Sabtu (8/10/2022).
Angka pengangguran yang rendah ditambah adanya pertumbuhan upah yang memacu positif pasar tenaga kerja diperkirakan masih cenderung membawa inflasi AS ke level yang masih tinggi.
Sebelumnya Presiden Fed New York John Williams mengatakan, kenaikan suku bunga yang lebih banyak justru diperlukan untuk mengatasi peningkatan harga.
"Pasar menerima kabar baik dari laporan pasar tenaga kerja yang kuat, yang justru membuat Fed menjadi semakin waspada dan oleh karena itu berpotensi meningkatkan risiko resesi tahun depan," pungkasnya.
Dow Jones Industrial Average (.DJI) ditutup turun 630,15 poin, atau 2,11%, pada 29.296,79, sedangkan indeks S&P 500 (.SPX) kehilangan 104,86 poin atau 2,80% menjadi 3.639,66. Selanjutnya Nasdaq Composite (.IXIC) juga turun 420,91 poin, atau 3,8% menjadi 10.652,41.
Rata-rata volume bursa AS mencapai 11,15 miliar saham, lebih rendah dari 20 hari perdagangan terakhir yang sebesar 11,73 miliar.
Kendati ditutup merosot di akhir pekan, dalam seminggu terakhir S&P 500 naik 1,51%, Dow bertambah 1,99% dan Nasdaq naik 0,73%. Semua 11 sektor utama di S&P 500 turun, dengan sektor teknologi turun paling banyak mencapai 4,14%.
Sebelumnya, Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5%, alias lebih rendah dari ekspektasi pasar 3,7%. Hal ini menunjukkan ekonomi AS masih bertahan di tengah upaya Fed untuk menurunkan lonjakan inflasi.
Data pekerjaan di luar sektor pertanian / non-farm payrolls naik 263.000 pekerjaan, atau lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 250.000. Kuatnya pasar tenaga kerja membuat Fed berpotensi besar mengerek suku bunga 75 basis poin selama empat kali berturut-turut di pertemuan FOMC pada 1-2 November mendatang.
"Ini adalah kasus klasik di mana kabar baik dari ekonomi AS justru adalah kabar buruk bagi The Fed," kata Analis GW&K Investment Management, Bill Sterling, dilansir Reuters, Sabtu (8/10/2022).
Angka pengangguran yang rendah ditambah adanya pertumbuhan upah yang memacu positif pasar tenaga kerja diperkirakan masih cenderung membawa inflasi AS ke level yang masih tinggi.
Sebelumnya Presiden Fed New York John Williams mengatakan, kenaikan suku bunga yang lebih banyak justru diperlukan untuk mengatasi peningkatan harga.
"Pasar menerima kabar baik dari laporan pasar tenaga kerja yang kuat, yang justru membuat Fed menjadi semakin waspada dan oleh karena itu berpotensi meningkatkan risiko resesi tahun depan," pungkasnya.
(akr)