CHT Naik Lagi di 2023, Ini Saran dan Rekomendasi Hasil Kajian untuk Pemerintah

Selasa, 11 Oktober 2022 - 22:02 WIB
loading...
CHT Naik Lagi di 2023, Ini Saran dan Rekomendasi Hasil Kajian untuk Pemerintah
Warga membeli rokok di salah satu toko di kawasan Jakarta Timur, Kamis (4/2/2021). Foto/SINDOnews/EKo Purwanto
A A A
JAKARTA - Kenaikan cukai hasil tembakau atau CHT acapkali menuai pro kontra. Berbagai aspek perlu dipertimbangkan agar lebih banyak dampak positif yang dituai dari kebijakan kenaikan tersebut.

Seiring rencana pemerintah menaikkan CHT pada tahun depan, sejumlah ekosistem tembakau menyatakan penolakan. Sebagai informasi, jika menilik UU APBN 2023, pemerintah akan menaikan cukai Rp245,4 triliun.

Terkait hal tersebut, Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB) melakukan kajian. Adapun hasil kajian tersebut merekomendasikan pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia. Di antaranya sisi tenaga kerja, penerimaan CHT, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.

Direktur PPKE FEB-UB Candra Fajri Ananda mengatakan, hasil kajian yang berjudul 'Analisa Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia' tersebut menegaskan bahwa keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) legal menjadi bagian penting dalam pertimbangan kebijakan cukai di Indonesia untuk menjaga keberlangsungan IHT demi mendorong terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran di Indonesia.

Menurut dia, hal itu perlu dilakukan mengingat indikator angka prevalensi merokok usia dini telah tercapai di RPJMN yang menargetkan penurunan sebesar 8,7%.

Pada perkembangannya, presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah melebihi capaian target pemerintah dari 7,2% (2013) menjadi 3,8% (2020).

"Hasil kajian itu menunjukkan bahwa kenaikan harga yang terlalu tinggi akan mengancam kesinambungan IHT yang terbukti mengalami penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Pasalnya, golongan 1 memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga. Kenaikan harga rokok pada golongan 2 dan 3 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan peredaran rokok ilegal," papar Candra dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (11/11/2022).



Merujuk hasil kajian, lanjut cia, secara umum kenaikan harga rokok akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT dan pertumbuhan penerimaan CHT. Kenaikan harga juga berpengaruh langsung terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal.

"Kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat meningkatkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen rokok dan berpotensi menurunkan penerimaan negara," bebernya.

Oleh sebab itu, dia menyatakan kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pasalnya, dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok.

"Saat ini, pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," tukasnya.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo usul agar tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau tahun 2023.

Kalaupun dinaikan, pihaknya mengusulkan angkanya setinggi inflasi. Pasalnya, kenaikan cukai ini tidak bisa diikuti secara otomatis oleh kenaikan harga.

"Kalau tidak ada waktu jeda, maka ini akan mengikis margin atau barangkali akan berdampak buruk terhadap kelangsungan IHT," tuturnya.



Edy menyebut dalam tiga tahun terakhir, CHT terus digeber naik. Tahun 2020 naik sebesar 23%, tahun 2021 naik sebesar 12%, dan tahun 2022 sebesar 12%.

Menurut dia, IHT merupakan salah satu bantalan perekonomian nasional, di samping industri kecil menengah dan industri makanan minuman. IHT juga sudah terbukti menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk di masa pandemi Covid-19.

Edy pun menegaskan Indonesia saat ini masih membutuhkan sumbangsih IHT. Artinya, diperlukan sikap kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan yang ketat terhadap IHT, menurut dia, berpotensi akan mematikan kelangsungan IHT.

“Kebijakan yang seimbang yang memerhatikan segala aspek kebijakan yang berkeadilan terhadap IHT sangat diperlukan,” tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai (BKC) sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara, mengingat kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan.

Menurut dia, penerimaan cukai di Indonesia selama ini hanya mengandalkan tiga obyek BKC, yakni CHT, MEA, MMEA.

"Kami mendorong multi stakeholders untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama untuk kepentingan negara yang sangat fundamental yaitu penerimaan negara yang sangat besar," ujarnya.

Dia pun mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasoi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan eksosistem tembakau yang punya peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai, dan masih banyak lagi.

Lebih lanjut, rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Hikmahanto Juwana mengingatkan ancaman yang akan dihadapi bila pemerintah tidak hati-hati melindungi kelangsungan IHT.

Pertama, ancaman dari dalam negeri seperti maraknya rokok ilegal. Kedua, ancaman yang datangnya dari luar negeri.

“Mereka ingin mengambil pangsa pasar yang ada di Indonesia. Di Indonesia pangsa pasar sangat luar biasa dan tentu merupakan sesuatu yang seksi. Hal ini sangat mungkin ada gangguan dari luar negeri. Ini yang perlu kita waspadai,” tukasnya.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu mengharapkan pemerintah mampu merumuskan sebuah kebijakan terhadap IHT yang semangatnya kemandirian.

Dia pun menyebut revisi PP No. 109 tahun 2012 yang saat ini masih dibahas kementerian/lembaga terkait bisa menjadi ancaman bagi ekosistem tembakau.

Padahal, keberadaan PP 109/2012 ini sudah mengakomodasi banyak perjanjian antar negara yang berkaitan dengan hasil tembakau.



Melalui perjanjian internasional, ungkap dia, kemandirian/kedaulatan negara kita bisa dikerdilkan, karena mengikuti apa yang ditentukan oleh perjanjian internasional tersebut.

Hikmahanto juga menilai Indonesia sudah tepat tidak mengikuti perjanjian internasional FCTC dengan tetap teguh memegang kemandirian.

“Saya tidak ingin Indonesia yang merupakan pangsa pasar besar yang memanfaatkan IHT tergantung ke negara-negara lain dan IHT kita bisa hancur. Maka itu, segala kepentingan mesti dilihat secara bersama, dan mudah-mudahan pemerintah sebagai regulator bisa membuat kebijakan yang adil buat semua,” tutup dia.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3346 seconds (0.1#10.140)