Lewat Dana Bantuan Pendidikan dan Kesehatan, Pupuk Kaltim Bantu Korban Terorisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia memiliki komitmen penuh dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban terorisme . Komitmen negara ini telah digaungkan di mata dunia oleh Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia) , Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar M.H di The First United Nations Global Congress of Victims of Terrorism yang digelar di Markas Besar PBB New York, bulan lalu (8/9).
Negara bertanggung jawab penuh atas hak, kebutuhan, peningkatan kesejahteraan, dan pengobatan dari para korban aksi terorisme dari seluruh penjuru Indonesia, baik lewat BNPT dan juga kolaborasi dengan multi-stakeholder.
Provinsi Kalimantan Timur pun secara langsung maupun tidak langsung pernah mengalami aksi terorisme. Yang pertama, terjadi secara tidak langsung di tahun 2005. Kala itu terjadi aksi teror berupa penyerangan ke lokasi tugas Brimobda Kaltim di Desa Loki, Maluku. Teror terjadi lewat penembakan petugas.
Salah satu yang menjadi korban adalah Briptu Slamet Priyanto yang meninggal dunia. Almarhum meninggalkan seorang anak bernama Muqsith Syahid Aljabbar.
Selain itu, masih segar dalam ingatan ketika aksi terorisme terjadi secara langsung di Kota Samarinda, pada Minggu, 13 November 2016 pukul 10.00 WITA. Kala itu, aksi teror menyasar Gereja Oikumene dengan ledakan bom molotov sebanyak tiga kali di depan lokasi gereja. Akibatnya, tercatat ada empat korban, satu meninggal dunia dan tiga lainnya mengalami luka bakar.
Intan Olivia Banjarnahor yang saat kejadian masih berusia tiga tahun menjadi satu-satunya korban meninggal dunia. Sementara tiga anak lainnya yakni Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (sekarang berusia 10 tahun) mengalami luka bakar sebesar 40%, Trinity Hutahaean (sekarang berusia 9 tahun) luka bakar sebesar 60% dan Anita Cristabel (sekarang berusia 8 tahun) luka bakar sebesar 20%.
Masih Terus Berjuang
Menjadi korban aksi terorisme di usia yang sangat belia tentu bukan hal mudah yang dialami para survivor. Hal tersebut juga yang dialami oleh Trinity Hutahaean.
Negara bertanggung jawab penuh atas hak, kebutuhan, peningkatan kesejahteraan, dan pengobatan dari para korban aksi terorisme dari seluruh penjuru Indonesia, baik lewat BNPT dan juga kolaborasi dengan multi-stakeholder.
Provinsi Kalimantan Timur pun secara langsung maupun tidak langsung pernah mengalami aksi terorisme. Yang pertama, terjadi secara tidak langsung di tahun 2005. Kala itu terjadi aksi teror berupa penyerangan ke lokasi tugas Brimobda Kaltim di Desa Loki, Maluku. Teror terjadi lewat penembakan petugas.
Salah satu yang menjadi korban adalah Briptu Slamet Priyanto yang meninggal dunia. Almarhum meninggalkan seorang anak bernama Muqsith Syahid Aljabbar.
Selain itu, masih segar dalam ingatan ketika aksi terorisme terjadi secara langsung di Kota Samarinda, pada Minggu, 13 November 2016 pukul 10.00 WITA. Kala itu, aksi teror menyasar Gereja Oikumene dengan ledakan bom molotov sebanyak tiga kali di depan lokasi gereja. Akibatnya, tercatat ada empat korban, satu meninggal dunia dan tiga lainnya mengalami luka bakar.
Intan Olivia Banjarnahor yang saat kejadian masih berusia tiga tahun menjadi satu-satunya korban meninggal dunia. Sementara tiga anak lainnya yakni Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (sekarang berusia 10 tahun) mengalami luka bakar sebesar 40%, Trinity Hutahaean (sekarang berusia 9 tahun) luka bakar sebesar 60% dan Anita Cristabel (sekarang berusia 8 tahun) luka bakar sebesar 20%.
Masih Terus Berjuang
Menjadi korban aksi terorisme di usia yang sangat belia tentu bukan hal mudah yang dialami para survivor. Hal tersebut juga yang dialami oleh Trinity Hutahaean.