Petani Sawit Geram KPPU Lamban Tangani Dugaan Praktik Monopoli Wilmar Grup

Selasa, 15 November 2022 - 14:48 WIB
loading...
Petani Sawit Geram KPPU...
SPKS menilai langkah KPPU menangani dugaan monopoli perusahaan sawit besar berjalan lamban. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Petani sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit ( SPKS ) mempertanyakan soal dugaan praktik monopoli dan persaingan usaha tak sehat yang dilakukan oleh raksasa sawit. SPKS mengaku sudah melaporkan dugaan itu ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ) namun hingga kini penanganannya berjalan lamban.



“Kami meminta KPPU segera menindaklanjuti laporan petani sawit terkait dugaan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan grup perusahaan sawit penerima subsidi dan meminta pemerintah agar 10 grup perusahaan sawit penerima subsidi terbesar termasuk Wilmar yang paling besar keuntungannya dari subsidi ini segera diaudit,” ujar Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, Selasa (15/11/2022).

SPKS menengarai tiga grup perusahaan sawit yang disubsidi pemerintah untuk menjalankan program mandatori diodiesel diduga melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tiga grup itu adalah Wilmar, Musim Mas, dan Sinas Mas.

SPKS menilai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini makin terjaga karena difasilitasi oleh kebijakan pemerintah yang menggelontorkan subsidi bagi grup perusahaan sawit tersebut sejak program mandatori B20 hingga saat ini menjadi B30.

Dalam kajian yang dilakukan SPKS, terdapat 10 terbesar grup perusahaan sawit yang menjalankan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) jenis biodiesel yang menerima subsidi dari dana sawit selama periode 2019-2021.

Di antaranya Wilmar Rp22,56 triliun, Musim Mas Rp11,34 triliun, Royal Golden Eagle Rp6,41 triliun, Sinar Mas Rp5,53 triliun, Permata Hijau Rp5,52 triliun, Darmex Agro Rp5,4 triliun, Louis Dreyfus Rp2,9 triliun, Sungai Budi Rp2,56 triliun, Best Industry Rp2 triliun, dan First Resources Rp1,9 triliun.

“Terungkapnya kasus mafia minyak goreng seharusnya menjadi momentum bagi KPPU untuk mengusut tuntas beberapa grup perusahaan yang diduga menjadi pelaku di balik masalah struktur yang terkonsentrasi pada industri sawit yang tentu menjadi akar persoalan dalam penyediaan bahan baku untuk minyak goreng maupun biodiesel,” tegas Darto.

Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di industri sawit makin terjaga karena adanya perluasan lahan yang melampaui batas dalam aturan hukum, penguasaan suplai bahan baku, produksi dan ekspor oleh segelintir grup perusahaan sawit kelas kakap yang juga ditopang oleh kebijakan subsidi dalam program hilirisasi mandatori biodiesel.

SPKS mendata, total pungutan ekspor CPO pada periode tahun 2019-2021 mencapai angka Rp70,99 triliun. Dalam periode tersebut, dana subsidi yang disalurkan kepada grup perusahaan sawit yang terintegrasi dengan BU BBN jenis biodiesel sebesar Rp68 triliun.

Disampaikan Darto, Wilmar menjadi grup yang paling diuntungkan dari subsidi biodiesel dengan penerimaan hampir tiga kali lipat dari jumlah pungutan ekspor yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

Dalam catatan SPKS dengan selisih antara pungutan ekspor dan subsidi biodiesel, Wilmar memperoleh surplus sebesar Rp14,8 triliun. Namun dari keuntungan ini, tidak ada program-program inovatif yang dilakukan perusahaan seperti Wilmar untuk petani sawit di lapangan, justru banyak petani sawit sekitarnya menjual ke tengkulak.

“Tidak memperkuat SDM petani dan nihil mengembangkan ISPO-RSPO untuk petani sawit. Sementara klaim perusahaan ini selalu dengan jargon sustainability. Ini kan praktik greenwashing,” tegas Darto.

"Tidak hanya itu,keuntungan perusahaan makin berlipat ganda, ketika terjadi penghentian ekspor kelapa sawit beberapa waktu lalu, semua perusahaan membeli murah TBS (tandan buah segar) sawit petani, tetapi kemudian mereka menjual dengan harga yang tinggi saat ini. Ini namanya industri untung petani buntung," tambahnya.

Hal yang lebih ironis, diungkap Darto, surplus yang diterima oleh perusahaan sawit besar seperti Wilmar, tidak sebanding dengan alokasi dana sawit untuk kebutuhan dasar petani sawit. Dalam periode tahun 2015-2019, realisasi untuk program peremajaan sawit rakyat atau PSR hanya sebesar Rp2,7 triliun, pengembangan SDM sebesar Rp140,6 miliar, dan pengadaan sarana- prasarana sebesar Rp1,73 miliar.

“Jika ketiganya digabungkan, totalnya bahkan tidak mencapai 10% dari total dana Rp47,28 triliun yang dihimpun BPDPKS dalam periode tersebut," ucap Darto.

Ia mengatakan bahwa kebijakan pungutan ekspor CPO maupun tax atau bea keluar jelas menekan harga TBS yang diterima petani sawit, atau dengan kata lain, sumber pungutan bukan saja dari perusahaan sawit tetapi juga dari 41,35% (Data BPS 2019) perkebunan yang dikelola oleh rakyat.



Sayangnya, dana ini bukannya dikembalikan kepada petani, melainkan untuk subsidi industri biodiesel. Ini menandakan alarm serius bahwa kebijakan dana sawit tidak berpihak terhadap petani sawit.

(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2077 seconds (0.1#10.140)