Jalan Terjal Bisnis Transportasi di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 menjadikan semua sektor angkutan mengalami tantangan besar. Jumlah penumpang semua sektor moda transportasi rata-rata mengalami penurunan lebih dari 90%.
Kebijakan pemerintah yang memberlakukan tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19 atau biasa disebut New Normal membuka harapan bagi para pengusaha yang bergerak di sektor transportasi.
Hal itu sebagaimana diakui Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan. Menurutnya, pengelola perusahaan otobus (PO) sebenarnya telah siap memasuki masa New Normal. Namun, persoalannya, demand and supply tidak seimbang sehingga tidak sedikit biaya tambahan yang harus ditanggung pengelola atau operator bus. “Mau tidak mau ya kenaikan tarif. Tapi, tarif naik juga belum tentu banyak penumpang karena masih adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal Juni 2020,” ungkapnya.
Pengusaha bus meminta berbagai relaksasi kebijakan yang meringankan, namun belum berdampak besar. “Paling yang ada penundaan pembayaran pajak-pajak. Itu pun belum signifikan,” kata Kurnia. (Baca: Merpati Sulit Kembali Terbang, Pegawai Disebut hanya Tersisa 10 Orang)
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengatakan, sejak pandemi Covid-19, pihaknya selalu menyesuaikan pengoperasian berdasarkan protokol dari Gugus Tugas Covid-19. Hasilnya diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 11/2020 transportasi darat.
Secara ringkas, SE tersebut mengatur kapasitas angkutan maksimal 50% dengan penerapan protokol kesehatan. Namun, sejak 1 Juli 2020 pelonggaran kapasitas diperlonggar dari 50% menjadi 70%.
Tapi, pelonggaran tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah sebab demand berkurang akibat pandemi Covid-19, juga masih menjadi stigma yang menakutkan bagi masyarakat menggunakan angkutan bus.
“Per Juli memang sudah dilonggarkan, tapi penumpang baru sekitar 20% sampai 40%. Masalahnya di mana? Penumpang masih punya stigma yang menakutkan naik angkutan ini. Salah satunya adalah urusan naik bus masih berbelit, mulai dari kewajiban rapid test sampai surat izin keluar masuk (SIKM) DKI Jakarta,” ucapnya.
Dibanding naik bus, masyarakat cenderung lebih memilih angkutan kendaraan pribadi jika melintasi antarkota atau provinsi. Hal ini juga menambah masalah pada banyaknya angkutan ilegal berplat hitam, namun mengangkut antarkota. Jika kondisi terus berlarut, pengelola bus makin berat sehingga bisa berdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dan berujung penutupan.
Angkutan bus mengalami masa sulit, namun tidak mendapatkan sokongan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang paling memungkinkan di sektor ini hanya pada penundaan pembayaran pajak dan retribusi lainnya.
Berbeda dengan angkutan kereta api, di mana sejak masa pandemi Covid-19, sektor transportasi ini menjadi satu di antara primadona yang diminati warga masyarakat, selain angkutan pribadi. Namun, bukan berarti pendapatan PT Kereta Api Indonesia (KAI/Persero) aman.
Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo mengatakan, sejak pandemi Covid-19 justru pendapatan turun drastis sehingga arus kas perseroan bermasalah. Hal ini terjadi lantaran perjalanan kereta api juga dikenakan pembatasan kapasitas dan protokol yang ketat.
Dia memproyeksi hingga akhir tahun arus kas masih negatif sekitar Rp2,48 triliun. Tak hanya itu, perseroan juga harus membayar bunga bank dan beban keuangan yang mencapai Rp920 miliar serta masih harus dikenakan pajak penghasilan. (Baca juga: 8 Negara dengan Kekuatan Tank Terbesar)
“Kami memproyeksi arus kas hingga akhir 2020 akan negatif hingga Rp3,44 triliun. Proyeksi ini dengan menggunakan skenario apabila Covid-19 masih berlangsung hingga Agustus 2020,” ungkapnya.
Sebelum pandemi menyebar di Indonesia, pendapatan KAI secara tunai masih normal. Di periode Januari—Februari 2020 masih meraup pendapatan masing-masing Rp2,3 triliun dan Rp1,2 triliun.
Namun, pada Maret 2020 pendapatan tunai KAI mulai turun di angka Rp890 miliar dan berlanjut hingga Mei Rp870 miliar. Nasib PT KAI masih beruntung sebab BUMN kereta api ini masih mendapatkan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp3,5 triliun. Dana talangan ini akan digunakan untuk biaya operasional sarana dan prasarana yang menjadi kewajiban, termasuk membayar gaji pegawai yang berjumlah 36.000.
Dalam kondisi sulit ini moda angkutan kereta api juga masih ada pembatasan kapasitas penumpang sebanyak 45%. PT KAI berharap ada pelonggaran kapasitas hingga 70% dan pelonggaran aturan SIKM dari Pemda DKI.
Kondisi lebih parah dialami moda transportasi udara. Maskapai penerbangan langsung terdampak begitu virus korona masuk Indonesia. Maskapai Garuda Indonesia menyatakan jumlah penumpang turun drastis hingga 90%.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, 90% pendapatan Garuda amblas. Dengan segala upaya maskapai pelat merah ini bertahan untuk bisa beroperasi walaupun hanya sekitar 10% pesawatnya yang terbang. Sementara 70% dari jumlah pesawatnya dikandangkan.
“Mayoritas penerbangan itu load factor-nya di bawah 50%. Ini impact-nya sangat berat, bukan hanya bagi Garuda Indonesia, namun juga maskapai lain di dalam negeri,” ucapnya.
Hampir semua maskapai bertahan dengan sisa tenaga yang ada. Implikasinya, banyak karyawannya pun dirumahkan. Gaji direktur juga harus rela dipotong. (Baca juga: Wahai Para Pemilik Bank, Saatnya Menunjukkan Komitmen)
Maskapai AirAsia Indonesia misalnya mengaku pemotongan gaji tetap diterapkan, termasuk merumahkan karyawan. “Ya, kita ada potong gaji di level direktur, termasuk merumahkan karyawan sampai situasi dan kondisi normal kembali, tepatnya ketika pengoperasian penuh mulai berlaku,” kata Direktur Utama AirAsia Indonesia Veranita Yosephine Sinaga.
Kendati demikian, AirAsia Indonesia tetap memberikan layanan kepastian penerbangan kepada calon penumpangnya dengan meniadakan biaya tambahan pada perubahan jadwal penerbangan yang dipesan sejak Juni dan berlaku hingga September 2020. Sementara bagi maskapai Lion Air, cara bertahan dilakukan dengan menghentikan operasional penerbangannya untuk sementara waktu hingga pembukaan penerbangan pada pertengahan Juni 2020. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, Simak Kronologis Lengkapnya)
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, semua sektor transportasi terdampak pandemi Covid-19. Namun, pemerintah juga berupaya memberikan yang terbaik melalui relaksasi dan dana talangan.
Beberapa di antaranya BUMN transportasi yang mendapat dana talangan, yakni PT KAI dan Garuda Indonesia. “Barangkali karena pemerintah melihat sektor ini sangat padat karya dan padat modal di mana masyarakat sangat bergantung pada mobilitas dua moda transportasi ini,” ucapnya.
Dia berharap pemerintah juga memberikan relaksasi pada sektor transportasi lain seperti angkutan bus (darat) maupun angkutan laut. Alasannya, di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, sulit mengatur supply and demand selama pembatasan kapasitas dan penerapan protokol masih berjalan. “Protokol boleh berjalan, tapi jangan justru membebani masyarakat yang pada akhirnya memukul industri ini,” pungkasnya. (Ichsan Amin)
Kebijakan pemerintah yang memberlakukan tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19 atau biasa disebut New Normal membuka harapan bagi para pengusaha yang bergerak di sektor transportasi.
Hal itu sebagaimana diakui Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan. Menurutnya, pengelola perusahaan otobus (PO) sebenarnya telah siap memasuki masa New Normal. Namun, persoalannya, demand and supply tidak seimbang sehingga tidak sedikit biaya tambahan yang harus ditanggung pengelola atau operator bus. “Mau tidak mau ya kenaikan tarif. Tapi, tarif naik juga belum tentu banyak penumpang karena masih adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal Juni 2020,” ungkapnya.
Pengusaha bus meminta berbagai relaksasi kebijakan yang meringankan, namun belum berdampak besar. “Paling yang ada penundaan pembayaran pajak-pajak. Itu pun belum signifikan,” kata Kurnia. (Baca: Merpati Sulit Kembali Terbang, Pegawai Disebut hanya Tersisa 10 Orang)
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengatakan, sejak pandemi Covid-19, pihaknya selalu menyesuaikan pengoperasian berdasarkan protokol dari Gugus Tugas Covid-19. Hasilnya diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 11/2020 transportasi darat.
Secara ringkas, SE tersebut mengatur kapasitas angkutan maksimal 50% dengan penerapan protokol kesehatan. Namun, sejak 1 Juli 2020 pelonggaran kapasitas diperlonggar dari 50% menjadi 70%.
Tapi, pelonggaran tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah sebab demand berkurang akibat pandemi Covid-19, juga masih menjadi stigma yang menakutkan bagi masyarakat menggunakan angkutan bus.
“Per Juli memang sudah dilonggarkan, tapi penumpang baru sekitar 20% sampai 40%. Masalahnya di mana? Penumpang masih punya stigma yang menakutkan naik angkutan ini. Salah satunya adalah urusan naik bus masih berbelit, mulai dari kewajiban rapid test sampai surat izin keluar masuk (SIKM) DKI Jakarta,” ucapnya.
Dibanding naik bus, masyarakat cenderung lebih memilih angkutan kendaraan pribadi jika melintasi antarkota atau provinsi. Hal ini juga menambah masalah pada banyaknya angkutan ilegal berplat hitam, namun mengangkut antarkota. Jika kondisi terus berlarut, pengelola bus makin berat sehingga bisa berdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dan berujung penutupan.
Angkutan bus mengalami masa sulit, namun tidak mendapatkan sokongan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang paling memungkinkan di sektor ini hanya pada penundaan pembayaran pajak dan retribusi lainnya.
Berbeda dengan angkutan kereta api, di mana sejak masa pandemi Covid-19, sektor transportasi ini menjadi satu di antara primadona yang diminati warga masyarakat, selain angkutan pribadi. Namun, bukan berarti pendapatan PT Kereta Api Indonesia (KAI/Persero) aman.
Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo mengatakan, sejak pandemi Covid-19 justru pendapatan turun drastis sehingga arus kas perseroan bermasalah. Hal ini terjadi lantaran perjalanan kereta api juga dikenakan pembatasan kapasitas dan protokol yang ketat.
Dia memproyeksi hingga akhir tahun arus kas masih negatif sekitar Rp2,48 triliun. Tak hanya itu, perseroan juga harus membayar bunga bank dan beban keuangan yang mencapai Rp920 miliar serta masih harus dikenakan pajak penghasilan. (Baca juga: 8 Negara dengan Kekuatan Tank Terbesar)
“Kami memproyeksi arus kas hingga akhir 2020 akan negatif hingga Rp3,44 triliun. Proyeksi ini dengan menggunakan skenario apabila Covid-19 masih berlangsung hingga Agustus 2020,” ungkapnya.
Sebelum pandemi menyebar di Indonesia, pendapatan KAI secara tunai masih normal. Di periode Januari—Februari 2020 masih meraup pendapatan masing-masing Rp2,3 triliun dan Rp1,2 triliun.
Namun, pada Maret 2020 pendapatan tunai KAI mulai turun di angka Rp890 miliar dan berlanjut hingga Mei Rp870 miliar. Nasib PT KAI masih beruntung sebab BUMN kereta api ini masih mendapatkan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp3,5 triliun. Dana talangan ini akan digunakan untuk biaya operasional sarana dan prasarana yang menjadi kewajiban, termasuk membayar gaji pegawai yang berjumlah 36.000.
Dalam kondisi sulit ini moda angkutan kereta api juga masih ada pembatasan kapasitas penumpang sebanyak 45%. PT KAI berharap ada pelonggaran kapasitas hingga 70% dan pelonggaran aturan SIKM dari Pemda DKI.
Kondisi lebih parah dialami moda transportasi udara. Maskapai penerbangan langsung terdampak begitu virus korona masuk Indonesia. Maskapai Garuda Indonesia menyatakan jumlah penumpang turun drastis hingga 90%.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, 90% pendapatan Garuda amblas. Dengan segala upaya maskapai pelat merah ini bertahan untuk bisa beroperasi walaupun hanya sekitar 10% pesawatnya yang terbang. Sementara 70% dari jumlah pesawatnya dikandangkan.
“Mayoritas penerbangan itu load factor-nya di bawah 50%. Ini impact-nya sangat berat, bukan hanya bagi Garuda Indonesia, namun juga maskapai lain di dalam negeri,” ucapnya.
Hampir semua maskapai bertahan dengan sisa tenaga yang ada. Implikasinya, banyak karyawannya pun dirumahkan. Gaji direktur juga harus rela dipotong. (Baca juga: Wahai Para Pemilik Bank, Saatnya Menunjukkan Komitmen)
Maskapai AirAsia Indonesia misalnya mengaku pemotongan gaji tetap diterapkan, termasuk merumahkan karyawan. “Ya, kita ada potong gaji di level direktur, termasuk merumahkan karyawan sampai situasi dan kondisi normal kembali, tepatnya ketika pengoperasian penuh mulai berlaku,” kata Direktur Utama AirAsia Indonesia Veranita Yosephine Sinaga.
Kendati demikian, AirAsia Indonesia tetap memberikan layanan kepastian penerbangan kepada calon penumpangnya dengan meniadakan biaya tambahan pada perubahan jadwal penerbangan yang dipesan sejak Juni dan berlaku hingga September 2020. Sementara bagi maskapai Lion Air, cara bertahan dilakukan dengan menghentikan operasional penerbangannya untuk sementara waktu hingga pembukaan penerbangan pada pertengahan Juni 2020. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, Simak Kronologis Lengkapnya)
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, semua sektor transportasi terdampak pandemi Covid-19. Namun, pemerintah juga berupaya memberikan yang terbaik melalui relaksasi dan dana talangan.
Beberapa di antaranya BUMN transportasi yang mendapat dana talangan, yakni PT KAI dan Garuda Indonesia. “Barangkali karena pemerintah melihat sektor ini sangat padat karya dan padat modal di mana masyarakat sangat bergantung pada mobilitas dua moda transportasi ini,” ucapnya.
Dia berharap pemerintah juga memberikan relaksasi pada sektor transportasi lain seperti angkutan bus (darat) maupun angkutan laut. Alasannya, di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, sulit mengatur supply and demand selama pembatasan kapasitas dan penerapan protokol masih berjalan. “Protokol boleh berjalan, tapi jangan justru membebani masyarakat yang pada akhirnya memukul industri ini,” pungkasnya. (Ichsan Amin)
(ysw)