Wawancara Dirut Bank Jago, Kharim Indra Gupta Siregar: Mengakar dalam Ekosistem dan Tumbuh Bersama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah memetik hasil positif selama 2022, Bank Jago semakin tak ingin berhenti untuk menghadirkan solusi keuangan digital bagi para nasabahnya. Seiring dengan banyaknya orang yang sadar dengan teknologi, layanan digital perbankan di Indonesia terus menunjukkan potensi yang sangat menjanjikan di masa depan. Terlebih dengan berbagai kemudahan transaksi keuangan yang diberikan.
Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar mengaku optimistis sektor digital perbankan akan terus bertumbuh. Disrupsi teknologi hingga perilaku masyarakat yang pindah ke digital memberi peluang besar bagi hadirnya bank digital.
Sejak meluncur pada 2019, Jago menyebut dirinya sebagai tech-based bank berbasis ekosistem yang berupaya memberikan solusi keuangan dengan berfokus pada kehidupan (life centric financial solution).
“Yang membedakan kami dengan bank digital lain adalah fokus pada life centricity. Digitalisasi memampukan layanan perbankan menjadi life centric, terkait dengan kehidupan sehari-hari. Inilah aspirasi kami membuat bagaimana layanan banking itu menjadi sangat mudah,” tutur Kharim dalam bincang santai dengan KORAN SINDO di kantornya, Menara BTPN, beberapa hari lalu.
(Baca juga:Bank Jago dan Tokopedia Perkuat Kolaborasi)
Meski begitu, perjalanan ke depan belum tentu mulus. Selain persaingan merangkul nasabah, ada juga munculnya isu resesi ekonomi global yang berpotensi terjadi pada tahun depan dan bisa mendatangkan efek negatif ke emiten teknologi, termasuk bank digital. Bagaimana siasat Bank Jago menghadapi tantangan tersebut? Berikut ini petikan wawancara khususnya.
Sebagai pelopor bank digital, seperti apa perkembangan Bank Jago saat ini?
Secara keseluruhan, baik dari liability, jumlah total pinjaman, jumlah nasabah, jumlah partner kita sangat baik. Total partner sudah 32 lebih. Hingga kuartal III, jumlah nasabah 4,2 juta. Punya lending Rp8,2 triliun dan total aset mencapai Rp15 triliun. Funding lebih dari Rp7 triliun. Dan kami sudah meraih laba bersih (profit). Pertumbuhan bisnis secara year on year (yoy) juga sangat bagus. Tapi tentunya angka ini harus dilihat dari perspektif yang benar. Karena kami bank kecil, jadi pertumbuhannya secara persentase sangat bagus.
Saat ini mulai banyak tumbuh bank digital. Apa yang menjadi pembeda Bank Jago dengan lainnya?
Saat ini ada ratusan bank di Indonesia. Masing-masing bank itu memiliki kesamaan, perbedaan dan juga keunggulan. Saya melihat ke depannya, karena memang perilaku masyarakat pindah ke digital, khususnya di segmen consumer, maka peluang untuk bank digital juga makin terbuka lebar. Kami di Bank Jago memilih untuk melayani segmen UMKM, consumer, dan mikro dengan mengoptimalkan teknologi.
Sejak awal membangun bank ini, kami punya strategi yang jelas yakni bekerja sama dengan ekosistem digital. Kami ingin mengakar dalam ekosistem dan tumbuh berkembang bersama mereka. Untuk itu, kami sangat menyadari tentang prinsip economy sharing. Kami tidak bisa maju sendirian. Kami harus melakukan kolaborasi strategis dan terus menjalin sinergi yang mendalam dengan para pemilik ekosistem.
Perilaku masyarakat ke digital memang suatu perubahan yang tidak bisa dihindari. Apalagi, pandemi Covid-19 telah mempercepat transformasi digital. Karena kami memulai pra pandemi, cukup siap dengan pergeseran digital saat terjadi pandemi maupun setelah pandemi berlalu.
(Baca juga:Ketika Pendiri Bank Jago 'Berkokok' Soal Bank Digital)
Yang membedakan dengan bank digital lain adalah fokus pada life centricity. Kami menciptakan fitur yang relevan dengan kebutuhan nasabah. Dan setiap kali menciptakan inovasi baru, selalu berangkat dari pertanyaan: apa manfaatnya untuk pengguna.
Perbedaan lainnya pada penerapan manajemen risiko. Intinya, kami ingin mencapai pertumbuhan yang berkualitas tapi di saat yang sama tetap berani dalam melakukan terobosan baru. Prinsip ini penting karena tanpa keberanian kita tidak pernah mencoba hal hal baru. Keberanian dengan penuh perhitungan menjadi prinsip, nilai-nilai yang kami pegang bersama.
Seperti apa hasil dari perubahan yang dilakukan?
Sekarang (layanan perbankan) mudahnya sudah luar biasa. Mulai dari buka akun, bertransaksi, itu semua disesuaikan dengan perilaku sehari-hari. Misalnya, kami kerjasama dengan GoTo. Jadi, payment-nya itu bisa langsung diambil dari pocket-nya Jago. Dari dulu bank juga melakukan partnership, tapi kan terkendala pada fisik. Biasanya kalau dulu itu harus isi form, tapi konsep ini kami terapkan secara digital. Di GoPay, Anda sekarang bisa buka account Bank Jago tanpa harus men-download dulu aplikasi Bank Jago. Itu sekarang sangat mudah, transparan, cepat, sehingga Jago pocket itu bisa langsung dipakai sebagai sumber dana untuk bayar transaksi.
Inovasi lainnya adalah integrasi Kantong Jago dengan aplikasi digital lain. Dengan Gopay misalnya, nasabah tidak perlu repot top up. Mereka cukup menghubungkan akun Gopay dengan rekening Jago, lalu bisa transaksi tanpa memikirkan saldo Gopay.
Para merchant Gofood juga bisa mendapatkan kemudahan apabila menggunakan Jago sebagai rekening transaksi. Misalkan mitra gofood melakukan penjualan, uangnya baru bisa dia terima H+2 setelah transaksi. Dengan rekening Jago, dia bisa langsung mencairkan hasil penjualan di hari yang sama transaksi.
Begitu juga integrasi Kantong Jago dengan rekening Bibit.ID. Para nasabah Bibit bisa beli reksadana tanpa perlu top up saldo. Bahkan, mereka bisa melakukan pembelian rutin reksadana di setiap tanggal yang ditentukan dengan fitur auto debet. Kemudahan ini hanya bisa didapat apabila nasabah Bibit mengoneksi akun Bibit ke rekening Jago.
Kami sudah melakukan banyak hal dan menciptakan pengalaman baru dalam menikmati produk dan layanan bank. Semua inovasi ini berkat terwujud karena adopsi teknologi dan keberanian dalam mencoba hal hal baru.
Bagaimana cara Bank Jago membangun ekosistem digitalnya?
Untuk bank membangun ekosistem digital itu akan sangat susah. Semua ekosistem, apakah itu e-commerce, ride hiling, food, travel, untuk bisa menyelesaikan transaksi butuh solusi finansial. Itulah alasan bank perlu hadir di ekosistem digital.
(Baca juga:Gojek Kempit Saham Bank Jago Sebesar 22 Persen)
Bank menyediakan solusi finansial karena itu memang keahliannya. Sedangkan pemilik platform digital adalah pihak yang paling memahami behaviour pelanggannya. Mereka yang membangun ekosistemnya karena memang itulah expertise-nya. Pada titik inilah kita berkolaborasi dan bersinergi. Sinergitas dibangun di atas kesadaran bahwa masing masing pihak memiliki keunggulan dan keahliannya sendiri.
Di sinilah kami lihat pentingnya digital capability, makanya bisa ketemu. Kalau kita ingin diterima bertransaksi dan hadir dalam ekosistem tersebut, teknologi kita harus nyambung dengan teknologi yang mereka punya.
Bagaimana jika dibandingkan perkembangan bank digital di negara lain?
Di Singapura contohnya. Di acara Singapore Fintech Festival (SFF), di hall utama itu menampilkan bank yang sudah established player. Sementara, di bagian paling ujung masih berupa ide yang sudah mulai dilaksanakan. Pada 2019, mereka yang masih berupa ide ini sudah mulai masuk ke bagian tengah hall. Mereka (Singapura) sendiri sudah tahu bahwa masyarakat akan pindah ke digital. Makanya, mereka kasih lisensi untuk dua tipe bank. Kita di Indonesia enggak bisa bilang izin digital bank. Izinnya tetap bank umum, tetapi kita melayani secara digital.
Bank Jago menggunakan solusi core banking system yang berjalan di cloud. Pada 2019, untuk mencari solusi itu, kami berupaya setengah mati. Tapi sekarang, itu sudah mulai masuk ke pemain besar. Adopsi teknologi cloud kini menjadi hal yang biasa.
Teknologi adalah teknologi, jadi sejak awal kita harus tentukan teknologi mana yang mau digunakan dan kita terapkan secara konsisten. Tapi, teknologi hanyalah enabler. Yang paling penting dari itu adalah orang orangnya, para penggunanya.
Di Bank Jago, kami ingin membangun teknologi yang membawa kami kepada dua hal, yaitu memberikan kemudahan kepada nasabah dan di saat yang sama menjadi competitive advantage perusahaan. Dua hal ini yang mendorong kami bikin sendiri. Ini kekuatan kami. Kalau kami beli, enggak ada bedanya dengan yang lain. Makanya, apa yang kami lihat sebagai ide sendiri, itu kami bangun sendiri.
Apa sebenarnya yang membedakan bank digital dengan bank konvensional?
Membandingkan bank digital dengan bank konvensional itu kurang tepat. Bank is a bank dengan tiga fungsi dasarnya; yakni tempat menyimpan uang (menabung), memindahkan uang (transfer/pembayaran) dan meminjamkan uang (kredit).
Lagipula, hampir semua bank juga telah meng-upgrade teknologinya. Jadi, semua bank akan menjadi bank digital pada waktunya.
Yang membedakan itu adalah bagaimana (how to) kita menjalankan banknya. Sejak awal, kami sudah menegaskan Jago adalah bank teknologi (tech-based bank) yang tertanam dalam ekosistem. Kami bisa tertanam dalam ekosistem GoTo, Bibit.ID, dan ekosistem lainnya. Integrasi ini bisa terwujud karena digital capability yang kami miliki dan keberanian kami dalam mencoba hal hal baru yang belum ada sebelumnya.
Kami melihat bank digital itu sebagai penopang dari semua digital ekonomi ke depan. Kalau digital ekonomi maju, bank berbasis teknologi berpeluang lebih cepat mengimbangi. Digital ekonomi itu membutuhkan layanan keuangan yang berbeda dengan yang ada pada umumnya.
Nah, untuk menjadi bank digital, enggak bisa kita tunggu digital ekonominya jadi dulu, baru berubah dari konvensional ke digital. Digital bank itu adalah bank yang akan memberikan solusi financial banking di digital ekonomi.
Siapa saja target pasar Bank Jago?
Target pasar adalah semua segmen nasabah, tidak terbatasi waktu dan tempat. Namanya juga digital, siapapun bisa download aplikasinya. Kalau dulu bank punya layanan prioritas, tidak semua pelanggan bisa menjadi nasabahnya. Kami sendiri memilih menciptakan (create) produk yang relevan untuk UMKM, consumer, dan mikro.
Adanya bank digital diharapkan memperluas literasi keuangan masyarakat. Misalnya, program Laku Pandai?
Kami ingin menjangkau sebanyak-banyaknya masyarakat. Pada saat itu, kami di bank sebelumnya, sudah punya sekitar 1.500 kantor cabang dan karyawan hampir 20.000 orang. Sementara, target segmen bisa mencapai 60-70 juta. Kalau mau pendekatan yang sama, masak mau punya 15.000 cabang, karyawan 200.000 orang, kan enggak mungkin. Akibatnya, bank itu enggak bisa melayani mass market karena skala ekonominya enggak bisa terjadi.
Makanya ada Laku Pandai. Kami salah satu yang mengadopsi laku pandai. Ketika itu sekitar tahun 2012, kami memperkenalkan layanan perbankan melalui pihak ketiga melalui agen. Layanannya diberikan melalui mobile phone, tapi ada kendalanya, yaitu jaringan dan biaya internet. Waktu itu kami menerapkan laku pandai dengan solusi digital. Bank besar saat itu, solusi laku pandainya pakai mesin EDC. Makanya kami waktu di BTPN men-develop-nya pakai USSD, jadi sudah memperkenalkan digital ke pasar dengan agen banking.
(Baca juga:Gojek-Bank Jago Bergabung, Konsumen Bakal Makin Untung)
Sekarang sudah lebih maju, kendala ini sudah enggak ada. Jadi, menjangkau nasabah sudah tidak lewat agen. Sudah bisa langsung. Cara menjangkaunya dengan hadir di tempat yang mereka suka bertransaksi, yaitu di ekosistem tadi (e-commerce, food, travel, payment). Caranya ini bergeser karena kesiapan masyarakat yang sudah paham dengan digital. Kalau kami tidak ikut dengan pengalaman pergeseran itu, maka kurang mengerti bagaimana caranya melayani masyarakat.
Di beberapa negara, pemerintahnya membatasi jumlah bank digital. Di Indonesia sendiri, bank konvensional melalui arsitektur perbankan nasional juga sempat dibatasi. Bagaimana pandangan Anda terkait ini?
Di Indonesia, pendekatannya sudah sangat baik karena dilihat dari kesiapan bank itu sendiri. Kalau ada yang merasa sudah siap dan melayani segmen digital, itu akan diberikan jalannya. Kalau di OJK, ada layanan perbankan digital (LPD). Any bank can provide digital services. Menurut saya, itu baik karena tidak membatasi. Kalau memang siap, ya silahkan. Jadi, caranya yang ditentukan, bukan seberapa banyaknya bank. Dengan adanya pendekatan seperti itu, otomatis akan tersaring sendiri siapa yang merasa siap melayani secara digital dan yang belum.
Bagaimana kesiapan Bank Jago melalui strategi bisnisnya menghadapi tantangan tahun depan, terutama isu resesi ekonomi?
2023 bukan kondisi yang dihadapi Bank Jago saja, tapi kondisi yang dihadapi semua perbankan. Tahun 2023 akan menjadi tahun penuh ketidakpastian. Bagi Bank Jago, menurut saya ada dua hal, bergantung terhadap perkembangannya seperti apa.
Alhamdulillah, Bank Jago memiliki modal atau capital yang sangat kuat, Rp8 triliun. Itu adalah modal paling utama untuk sebuah bank. Di dalam kondisi yang kurang kondusif, seharusnya dengan modal tersebut, kami bisa menghadapi sampai kondisinya lebih baik. Bank Jago memiliki kapital ini sebagai komitmen pemegang saham bahwa Bank Jago mau growth (bertumbuh). Tetapi dengan kondisi ekonomi kurang menentu di tahun depan, (capital) ini menjadi senjata untuk menghadapi ketidakpastian.
Banyak sekali indikator, termasuk dari ahli ekonomi dan politik, yang melihat Indonesia relatif lebih baik ketimbang negara lainnya untuk menghadapi kondisi ekonomi tahun depan.
Kalau dari segi target tahun depan seperti apa?
Kita lagi menggodok target 2023. Setiap tahun, bank harus mengirimkan rencana bisnis bank kepada OJK. Kami sudah kirimkan, tapi tentunya masih ada adjustment lagi. Karena dari pihak OJK juga mengerti berapa indikator makro tahun depan.
Lalu, seperti apa prediksi Anda terhadap industri keuangan digital dan posisi Bank Jago dalam 5-10 tahun ke depan?
Saya melihat digital ekonomi Indonesia akan kuat. Kemudian, bank digital akan memiliki good positioning di dalam digital ekonomi. Contohnya, Bank Indonesia mau memperkenalkan digital rupiah. Menurut saya, yang paling mudah bisa menerapkan digital rupiah, antara lain adalah bank digital. BI melihat ke depannya kesempatan atau peluang ada di sana, sooner or later, harder or slower, it will come. Saya bilang: digital banking is here to stay for good, digital banking akan selalu ada, sekarang maupun ke depannya.
Bank Jago berharap posisi ke depannya akan menjadi salah satu leading digital bank berdasarkan pengalaman, opportunity, dan capability yang terus kami bangun. Karena kalau ngomongin digital, perubahan terus terjadi. Misalnya, digital rupiah. Tentunya sebagai bank digital, kami harus selalu siap. Makanya saya bilang ke tim: “Kita harus menjadi salah satu yang mengadopsi digital rupiah sejak awal.”
Dari segi infrastruktur, apakah sebenarnya perbankan di Indonesia sudah siap untuk digital rupiah ini?
Ada dua hal yang harus siap, yaitu pelaku dan konsumen. Menurut saya, konsumen sudah bisa menerima untuk menggunakan. Kalau siap itu, tentunya berproses. Kalau dari segi bank sentral (BI), tentunya mereka sudah melakukan berbagai kesiapan, simulasinya.
Bagaimana kesiapan Bank Jago dengan kompetisi ke depannya dengan digital bank?
Sekarang ada ratusan bank, bank ritel juga banyak. Di digital, kita harus membuat perbedaan. Saat ini, yang kami tawarkan adalah aplikasi Bank Jago memudahkan nasabah dalam mengelola keuangan. Dengan kami bisa bikin pemisahan atau pengelompokan dana di dalam rekening. Bukan berdasarkan penggunaan, tetapi berdasarkan waktu. Ada pengelompokan uang berdasarkan minggu pertama hingga minggu ke empat setiap bulannya. Ini terbuka bagi nasabah untuk bisa menggunakan konsep pocket ini untuk bermacam hal. Ini yang kami maksud life centric. Bisa perencana keuangan sehari-hari, keuangan ke depan, keuangan untuk bersama. Menurut saya, konsep keuangan bersama ini yang pertama kali diperkenalkan Bank Jago. Selama ini dengan kendala bank konvensional, enggak bisa melayani keuangan secara bersama.
Bank Jago itu unik. Kita bergabung dengan teman-teman yang punya pengalaman lain. Bank Jago itu isinya orang-orang bank dan non bank. Kalau orang bank biasanya kan tahu pengalaman yang dulu saja, rekening bank hanya untuk sendiri saja, enggak mungkin digabung, susah, mahal, dan tidak aman. Kalau kami ini kolaborasi antara tua dan muda, antara bank dan non bank.
Bagaimana untuk memadukan seluruh karyawan ini?
Kami punya empat value. Pertama, life sentricity. Kita harus fokus pada kehidupan, bagaimanapun juga bank ini membawa tujuan yang ada nilainya bagi kita. Kedua, purposeful growth. Artinya, harus bertumbuh dengan sesuatu nilai yang baik. Kalau kita memberikan layanan, harusnya membuat nasabah bisa berkembang positif. Misalnya, pocket Jago bisa digunakan untuk manajemen keuangan, menabung, dan sebagainya.
Ketiga, fearless creativity. Harus berani kreatif karena semua aturan perbankan yang terkait dengan risiko, itu mengatur risiko dan perbankan dari perkembangan selama ini yaitu konvensional dengan kendala fisik. Kalau di digital, kendala itu tidak ada lagi. Tetapi pasti ada risiko-risiko lain. Keempat, empowered agility. Harus bisa gesit, lincah dan cepat mengambil keputusan.
Dalam waktu dekat, apa rencana kerja sama/kemitraan yang akan dilakukan Bank Jago?
Kita akan terus melihat ekosistem. Ada nih lagi exciting, tapi saat ini belum bisa saya sharing. There a lot of very interesting and very good partner. Yang jelas bukan sektor yang kami sudah garap. Ini sektor baru. Sektor tersebut ada positifnya dan kami juga melihat, berharap itu bisa jadi kerjasama.
Dari Gowes hingga Balap Formula
Rutinitas yang padat tentunya menguras tenaga dan waktu. Meski begitu, Kharim menyempatkan diri untuk menjaga kebugaran dengan berolahraga. Sejak kecil, dirinya gemar bersepeda dan dilakukan hampir setiap hari. “Gowes itu ada adrenalinnya. Karena ada speed dan sehat. Saya tipe gowesnya lumayan cepat,” ujar lulusan Sarjana Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Namun, aktivitas itu terpaksa mulai dikurangi lantaran pernah mengalami kecelakaan. Terlebih ketika pandemi, kegiatan di luar juga mulai dibatasi. Sesekali ia tetap menyempatkan untuk bersepeda.
Olahraga lain yang disukai Kharim adalah sepak bola. Namun, dirinya hanya sekadar menonton siaran pertandingan di televisi (TV). Kharim pun masih menyempatkan waktu untuk menonton pertandingan, khususnya Piala Dunia 2022 di Qatar. Ia mengaku sudah jarang mengikuti perkembangan liga-liga sepak bola internasional lantaran tidak lagi memasang siaran TV berlangganan khusus olahraga tersebut.
Kini, mantan Direktur Teknologi Informasi Bank BTPN ini tengah menggemari balap ajang balap mobil tercepat di dunia, Formula 1 (F1). Tidak hanya di TV, bila ada kesempatan, Kharim pun meluangkan waktu untuk datang langsung menonton di sirkuit.
Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar mengaku optimistis sektor digital perbankan akan terus bertumbuh. Disrupsi teknologi hingga perilaku masyarakat yang pindah ke digital memberi peluang besar bagi hadirnya bank digital.
Sejak meluncur pada 2019, Jago menyebut dirinya sebagai tech-based bank berbasis ekosistem yang berupaya memberikan solusi keuangan dengan berfokus pada kehidupan (life centric financial solution).
“Yang membedakan kami dengan bank digital lain adalah fokus pada life centricity. Digitalisasi memampukan layanan perbankan menjadi life centric, terkait dengan kehidupan sehari-hari. Inilah aspirasi kami membuat bagaimana layanan banking itu menjadi sangat mudah,” tutur Kharim dalam bincang santai dengan KORAN SINDO di kantornya, Menara BTPN, beberapa hari lalu.
(Baca juga:Bank Jago dan Tokopedia Perkuat Kolaborasi)
Meski begitu, perjalanan ke depan belum tentu mulus. Selain persaingan merangkul nasabah, ada juga munculnya isu resesi ekonomi global yang berpotensi terjadi pada tahun depan dan bisa mendatangkan efek negatif ke emiten teknologi, termasuk bank digital. Bagaimana siasat Bank Jago menghadapi tantangan tersebut? Berikut ini petikan wawancara khususnya.
Sebagai pelopor bank digital, seperti apa perkembangan Bank Jago saat ini?
Secara keseluruhan, baik dari liability, jumlah total pinjaman, jumlah nasabah, jumlah partner kita sangat baik. Total partner sudah 32 lebih. Hingga kuartal III, jumlah nasabah 4,2 juta. Punya lending Rp8,2 triliun dan total aset mencapai Rp15 triliun. Funding lebih dari Rp7 triliun. Dan kami sudah meraih laba bersih (profit). Pertumbuhan bisnis secara year on year (yoy) juga sangat bagus. Tapi tentunya angka ini harus dilihat dari perspektif yang benar. Karena kami bank kecil, jadi pertumbuhannya secara persentase sangat bagus.
Saat ini mulai banyak tumbuh bank digital. Apa yang menjadi pembeda Bank Jago dengan lainnya?
Saat ini ada ratusan bank di Indonesia. Masing-masing bank itu memiliki kesamaan, perbedaan dan juga keunggulan. Saya melihat ke depannya, karena memang perilaku masyarakat pindah ke digital, khususnya di segmen consumer, maka peluang untuk bank digital juga makin terbuka lebar. Kami di Bank Jago memilih untuk melayani segmen UMKM, consumer, dan mikro dengan mengoptimalkan teknologi.
Sejak awal membangun bank ini, kami punya strategi yang jelas yakni bekerja sama dengan ekosistem digital. Kami ingin mengakar dalam ekosistem dan tumbuh berkembang bersama mereka. Untuk itu, kami sangat menyadari tentang prinsip economy sharing. Kami tidak bisa maju sendirian. Kami harus melakukan kolaborasi strategis dan terus menjalin sinergi yang mendalam dengan para pemilik ekosistem.
Perilaku masyarakat ke digital memang suatu perubahan yang tidak bisa dihindari. Apalagi, pandemi Covid-19 telah mempercepat transformasi digital. Karena kami memulai pra pandemi, cukup siap dengan pergeseran digital saat terjadi pandemi maupun setelah pandemi berlalu.
(Baca juga:Ketika Pendiri Bank Jago 'Berkokok' Soal Bank Digital)
Yang membedakan dengan bank digital lain adalah fokus pada life centricity. Kami menciptakan fitur yang relevan dengan kebutuhan nasabah. Dan setiap kali menciptakan inovasi baru, selalu berangkat dari pertanyaan: apa manfaatnya untuk pengguna.
Perbedaan lainnya pada penerapan manajemen risiko. Intinya, kami ingin mencapai pertumbuhan yang berkualitas tapi di saat yang sama tetap berani dalam melakukan terobosan baru. Prinsip ini penting karena tanpa keberanian kita tidak pernah mencoba hal hal baru. Keberanian dengan penuh perhitungan menjadi prinsip, nilai-nilai yang kami pegang bersama.
Seperti apa hasil dari perubahan yang dilakukan?
Sekarang (layanan perbankan) mudahnya sudah luar biasa. Mulai dari buka akun, bertransaksi, itu semua disesuaikan dengan perilaku sehari-hari. Misalnya, kami kerjasama dengan GoTo. Jadi, payment-nya itu bisa langsung diambil dari pocket-nya Jago. Dari dulu bank juga melakukan partnership, tapi kan terkendala pada fisik. Biasanya kalau dulu itu harus isi form, tapi konsep ini kami terapkan secara digital. Di GoPay, Anda sekarang bisa buka account Bank Jago tanpa harus men-download dulu aplikasi Bank Jago. Itu sekarang sangat mudah, transparan, cepat, sehingga Jago pocket itu bisa langsung dipakai sebagai sumber dana untuk bayar transaksi.
Inovasi lainnya adalah integrasi Kantong Jago dengan aplikasi digital lain. Dengan Gopay misalnya, nasabah tidak perlu repot top up. Mereka cukup menghubungkan akun Gopay dengan rekening Jago, lalu bisa transaksi tanpa memikirkan saldo Gopay.
Para merchant Gofood juga bisa mendapatkan kemudahan apabila menggunakan Jago sebagai rekening transaksi. Misalkan mitra gofood melakukan penjualan, uangnya baru bisa dia terima H+2 setelah transaksi. Dengan rekening Jago, dia bisa langsung mencairkan hasil penjualan di hari yang sama transaksi.
Begitu juga integrasi Kantong Jago dengan rekening Bibit.ID. Para nasabah Bibit bisa beli reksadana tanpa perlu top up saldo. Bahkan, mereka bisa melakukan pembelian rutin reksadana di setiap tanggal yang ditentukan dengan fitur auto debet. Kemudahan ini hanya bisa didapat apabila nasabah Bibit mengoneksi akun Bibit ke rekening Jago.
Kami sudah melakukan banyak hal dan menciptakan pengalaman baru dalam menikmati produk dan layanan bank. Semua inovasi ini berkat terwujud karena adopsi teknologi dan keberanian dalam mencoba hal hal baru.
Bagaimana cara Bank Jago membangun ekosistem digitalnya?
Untuk bank membangun ekosistem digital itu akan sangat susah. Semua ekosistem, apakah itu e-commerce, ride hiling, food, travel, untuk bisa menyelesaikan transaksi butuh solusi finansial. Itulah alasan bank perlu hadir di ekosistem digital.
(Baca juga:Gojek Kempit Saham Bank Jago Sebesar 22 Persen)
Bank menyediakan solusi finansial karena itu memang keahliannya. Sedangkan pemilik platform digital adalah pihak yang paling memahami behaviour pelanggannya. Mereka yang membangun ekosistemnya karena memang itulah expertise-nya. Pada titik inilah kita berkolaborasi dan bersinergi. Sinergitas dibangun di atas kesadaran bahwa masing masing pihak memiliki keunggulan dan keahliannya sendiri.
Di sinilah kami lihat pentingnya digital capability, makanya bisa ketemu. Kalau kita ingin diterima bertransaksi dan hadir dalam ekosistem tersebut, teknologi kita harus nyambung dengan teknologi yang mereka punya.
Bagaimana jika dibandingkan perkembangan bank digital di negara lain?
Di Singapura contohnya. Di acara Singapore Fintech Festival (SFF), di hall utama itu menampilkan bank yang sudah established player. Sementara, di bagian paling ujung masih berupa ide yang sudah mulai dilaksanakan. Pada 2019, mereka yang masih berupa ide ini sudah mulai masuk ke bagian tengah hall. Mereka (Singapura) sendiri sudah tahu bahwa masyarakat akan pindah ke digital. Makanya, mereka kasih lisensi untuk dua tipe bank. Kita di Indonesia enggak bisa bilang izin digital bank. Izinnya tetap bank umum, tetapi kita melayani secara digital.
Bank Jago menggunakan solusi core banking system yang berjalan di cloud. Pada 2019, untuk mencari solusi itu, kami berupaya setengah mati. Tapi sekarang, itu sudah mulai masuk ke pemain besar. Adopsi teknologi cloud kini menjadi hal yang biasa.
Teknologi adalah teknologi, jadi sejak awal kita harus tentukan teknologi mana yang mau digunakan dan kita terapkan secara konsisten. Tapi, teknologi hanyalah enabler. Yang paling penting dari itu adalah orang orangnya, para penggunanya.
Di Bank Jago, kami ingin membangun teknologi yang membawa kami kepada dua hal, yaitu memberikan kemudahan kepada nasabah dan di saat yang sama menjadi competitive advantage perusahaan. Dua hal ini yang mendorong kami bikin sendiri. Ini kekuatan kami. Kalau kami beli, enggak ada bedanya dengan yang lain. Makanya, apa yang kami lihat sebagai ide sendiri, itu kami bangun sendiri.
Apa sebenarnya yang membedakan bank digital dengan bank konvensional?
Membandingkan bank digital dengan bank konvensional itu kurang tepat. Bank is a bank dengan tiga fungsi dasarnya; yakni tempat menyimpan uang (menabung), memindahkan uang (transfer/pembayaran) dan meminjamkan uang (kredit).
Lagipula, hampir semua bank juga telah meng-upgrade teknologinya. Jadi, semua bank akan menjadi bank digital pada waktunya.
Yang membedakan itu adalah bagaimana (how to) kita menjalankan banknya. Sejak awal, kami sudah menegaskan Jago adalah bank teknologi (tech-based bank) yang tertanam dalam ekosistem. Kami bisa tertanam dalam ekosistem GoTo, Bibit.ID, dan ekosistem lainnya. Integrasi ini bisa terwujud karena digital capability yang kami miliki dan keberanian kami dalam mencoba hal hal baru yang belum ada sebelumnya.
Kami melihat bank digital itu sebagai penopang dari semua digital ekonomi ke depan. Kalau digital ekonomi maju, bank berbasis teknologi berpeluang lebih cepat mengimbangi. Digital ekonomi itu membutuhkan layanan keuangan yang berbeda dengan yang ada pada umumnya.
Nah, untuk menjadi bank digital, enggak bisa kita tunggu digital ekonominya jadi dulu, baru berubah dari konvensional ke digital. Digital bank itu adalah bank yang akan memberikan solusi financial banking di digital ekonomi.
Siapa saja target pasar Bank Jago?
Target pasar adalah semua segmen nasabah, tidak terbatasi waktu dan tempat. Namanya juga digital, siapapun bisa download aplikasinya. Kalau dulu bank punya layanan prioritas, tidak semua pelanggan bisa menjadi nasabahnya. Kami sendiri memilih menciptakan (create) produk yang relevan untuk UMKM, consumer, dan mikro.
Adanya bank digital diharapkan memperluas literasi keuangan masyarakat. Misalnya, program Laku Pandai?
Kami ingin menjangkau sebanyak-banyaknya masyarakat. Pada saat itu, kami di bank sebelumnya, sudah punya sekitar 1.500 kantor cabang dan karyawan hampir 20.000 orang. Sementara, target segmen bisa mencapai 60-70 juta. Kalau mau pendekatan yang sama, masak mau punya 15.000 cabang, karyawan 200.000 orang, kan enggak mungkin. Akibatnya, bank itu enggak bisa melayani mass market karena skala ekonominya enggak bisa terjadi.
Makanya ada Laku Pandai. Kami salah satu yang mengadopsi laku pandai. Ketika itu sekitar tahun 2012, kami memperkenalkan layanan perbankan melalui pihak ketiga melalui agen. Layanannya diberikan melalui mobile phone, tapi ada kendalanya, yaitu jaringan dan biaya internet. Waktu itu kami menerapkan laku pandai dengan solusi digital. Bank besar saat itu, solusi laku pandainya pakai mesin EDC. Makanya kami waktu di BTPN men-develop-nya pakai USSD, jadi sudah memperkenalkan digital ke pasar dengan agen banking.
(Baca juga:Gojek-Bank Jago Bergabung, Konsumen Bakal Makin Untung)
Sekarang sudah lebih maju, kendala ini sudah enggak ada. Jadi, menjangkau nasabah sudah tidak lewat agen. Sudah bisa langsung. Cara menjangkaunya dengan hadir di tempat yang mereka suka bertransaksi, yaitu di ekosistem tadi (e-commerce, food, travel, payment). Caranya ini bergeser karena kesiapan masyarakat yang sudah paham dengan digital. Kalau kami tidak ikut dengan pengalaman pergeseran itu, maka kurang mengerti bagaimana caranya melayani masyarakat.
Di beberapa negara, pemerintahnya membatasi jumlah bank digital. Di Indonesia sendiri, bank konvensional melalui arsitektur perbankan nasional juga sempat dibatasi. Bagaimana pandangan Anda terkait ini?
Di Indonesia, pendekatannya sudah sangat baik karena dilihat dari kesiapan bank itu sendiri. Kalau ada yang merasa sudah siap dan melayani segmen digital, itu akan diberikan jalannya. Kalau di OJK, ada layanan perbankan digital (LPD). Any bank can provide digital services. Menurut saya, itu baik karena tidak membatasi. Kalau memang siap, ya silahkan. Jadi, caranya yang ditentukan, bukan seberapa banyaknya bank. Dengan adanya pendekatan seperti itu, otomatis akan tersaring sendiri siapa yang merasa siap melayani secara digital dan yang belum.
Bagaimana kesiapan Bank Jago melalui strategi bisnisnya menghadapi tantangan tahun depan, terutama isu resesi ekonomi?
2023 bukan kondisi yang dihadapi Bank Jago saja, tapi kondisi yang dihadapi semua perbankan. Tahun 2023 akan menjadi tahun penuh ketidakpastian. Bagi Bank Jago, menurut saya ada dua hal, bergantung terhadap perkembangannya seperti apa.
Alhamdulillah, Bank Jago memiliki modal atau capital yang sangat kuat, Rp8 triliun. Itu adalah modal paling utama untuk sebuah bank. Di dalam kondisi yang kurang kondusif, seharusnya dengan modal tersebut, kami bisa menghadapi sampai kondisinya lebih baik. Bank Jago memiliki kapital ini sebagai komitmen pemegang saham bahwa Bank Jago mau growth (bertumbuh). Tetapi dengan kondisi ekonomi kurang menentu di tahun depan, (capital) ini menjadi senjata untuk menghadapi ketidakpastian.
Banyak sekali indikator, termasuk dari ahli ekonomi dan politik, yang melihat Indonesia relatif lebih baik ketimbang negara lainnya untuk menghadapi kondisi ekonomi tahun depan.
Kalau dari segi target tahun depan seperti apa?
Kita lagi menggodok target 2023. Setiap tahun, bank harus mengirimkan rencana bisnis bank kepada OJK. Kami sudah kirimkan, tapi tentunya masih ada adjustment lagi. Karena dari pihak OJK juga mengerti berapa indikator makro tahun depan.
Lalu, seperti apa prediksi Anda terhadap industri keuangan digital dan posisi Bank Jago dalam 5-10 tahun ke depan?
Saya melihat digital ekonomi Indonesia akan kuat. Kemudian, bank digital akan memiliki good positioning di dalam digital ekonomi. Contohnya, Bank Indonesia mau memperkenalkan digital rupiah. Menurut saya, yang paling mudah bisa menerapkan digital rupiah, antara lain adalah bank digital. BI melihat ke depannya kesempatan atau peluang ada di sana, sooner or later, harder or slower, it will come. Saya bilang: digital banking is here to stay for good, digital banking akan selalu ada, sekarang maupun ke depannya.
Bank Jago berharap posisi ke depannya akan menjadi salah satu leading digital bank berdasarkan pengalaman, opportunity, dan capability yang terus kami bangun. Karena kalau ngomongin digital, perubahan terus terjadi. Misalnya, digital rupiah. Tentunya sebagai bank digital, kami harus selalu siap. Makanya saya bilang ke tim: “Kita harus menjadi salah satu yang mengadopsi digital rupiah sejak awal.”
Dari segi infrastruktur, apakah sebenarnya perbankan di Indonesia sudah siap untuk digital rupiah ini?
Ada dua hal yang harus siap, yaitu pelaku dan konsumen. Menurut saya, konsumen sudah bisa menerima untuk menggunakan. Kalau siap itu, tentunya berproses. Kalau dari segi bank sentral (BI), tentunya mereka sudah melakukan berbagai kesiapan, simulasinya.
Bagaimana kesiapan Bank Jago dengan kompetisi ke depannya dengan digital bank?
Sekarang ada ratusan bank, bank ritel juga banyak. Di digital, kita harus membuat perbedaan. Saat ini, yang kami tawarkan adalah aplikasi Bank Jago memudahkan nasabah dalam mengelola keuangan. Dengan kami bisa bikin pemisahan atau pengelompokan dana di dalam rekening. Bukan berdasarkan penggunaan, tetapi berdasarkan waktu. Ada pengelompokan uang berdasarkan minggu pertama hingga minggu ke empat setiap bulannya. Ini terbuka bagi nasabah untuk bisa menggunakan konsep pocket ini untuk bermacam hal. Ini yang kami maksud life centric. Bisa perencana keuangan sehari-hari, keuangan ke depan, keuangan untuk bersama. Menurut saya, konsep keuangan bersama ini yang pertama kali diperkenalkan Bank Jago. Selama ini dengan kendala bank konvensional, enggak bisa melayani keuangan secara bersama.
Bank Jago itu unik. Kita bergabung dengan teman-teman yang punya pengalaman lain. Bank Jago itu isinya orang-orang bank dan non bank. Kalau orang bank biasanya kan tahu pengalaman yang dulu saja, rekening bank hanya untuk sendiri saja, enggak mungkin digabung, susah, mahal, dan tidak aman. Kalau kami ini kolaborasi antara tua dan muda, antara bank dan non bank.
Bagaimana untuk memadukan seluruh karyawan ini?
Kami punya empat value. Pertama, life sentricity. Kita harus fokus pada kehidupan, bagaimanapun juga bank ini membawa tujuan yang ada nilainya bagi kita. Kedua, purposeful growth. Artinya, harus bertumbuh dengan sesuatu nilai yang baik. Kalau kita memberikan layanan, harusnya membuat nasabah bisa berkembang positif. Misalnya, pocket Jago bisa digunakan untuk manajemen keuangan, menabung, dan sebagainya.
Ketiga, fearless creativity. Harus berani kreatif karena semua aturan perbankan yang terkait dengan risiko, itu mengatur risiko dan perbankan dari perkembangan selama ini yaitu konvensional dengan kendala fisik. Kalau di digital, kendala itu tidak ada lagi. Tetapi pasti ada risiko-risiko lain. Keempat, empowered agility. Harus bisa gesit, lincah dan cepat mengambil keputusan.
Dalam waktu dekat, apa rencana kerja sama/kemitraan yang akan dilakukan Bank Jago?
Kita akan terus melihat ekosistem. Ada nih lagi exciting, tapi saat ini belum bisa saya sharing. There a lot of very interesting and very good partner. Yang jelas bukan sektor yang kami sudah garap. Ini sektor baru. Sektor tersebut ada positifnya dan kami juga melihat, berharap itu bisa jadi kerjasama.
Dari Gowes hingga Balap Formula
Rutinitas yang padat tentunya menguras tenaga dan waktu. Meski begitu, Kharim menyempatkan diri untuk menjaga kebugaran dengan berolahraga. Sejak kecil, dirinya gemar bersepeda dan dilakukan hampir setiap hari. “Gowes itu ada adrenalinnya. Karena ada speed dan sehat. Saya tipe gowesnya lumayan cepat,” ujar lulusan Sarjana Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Namun, aktivitas itu terpaksa mulai dikurangi lantaran pernah mengalami kecelakaan. Terlebih ketika pandemi, kegiatan di luar juga mulai dibatasi. Sesekali ia tetap menyempatkan untuk bersepeda.
Olahraga lain yang disukai Kharim adalah sepak bola. Namun, dirinya hanya sekadar menonton siaran pertandingan di televisi (TV). Kharim pun masih menyempatkan waktu untuk menonton pertandingan, khususnya Piala Dunia 2022 di Qatar. Ia mengaku sudah jarang mengikuti perkembangan liga-liga sepak bola internasional lantaran tidak lagi memasang siaran TV berlangganan khusus olahraga tersebut.
Kini, mantan Direktur Teknologi Informasi Bank BTPN ini tengah menggemari balap ajang balap mobil tercepat di dunia, Formula 1 (F1). Tidak hanya di TV, bila ada kesempatan, Kharim pun meluangkan waktu untuk datang langsung menonton di sirkuit.
(dar)