Kenaikan Cukai Rokok Perlu Perhatikan Ekosistem Pertembakauan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah perlu mengambil langkah komprehensif untuk mendorong pertumbuhan ekosistem pertembakauan di Tanah Air. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp1.580 triliun atau 106,4% dari target.
"Dengan segala daya dan upaya, sektor pertembakauan berhasil mencapai target dan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Bahkan, tahun depan, proyeksi penerimaan CHT dinaikkan mencapai Rp 245,45 triliun," ujar Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono, Kamis (15/122022).
Sebab itu, elemen eksosistem pertembakauan menyayangkan, di tengah kondisi kontraksi ekonomi seharusnya ekosistem pertembakauan diberi ruang untuk semakin bertumbuh dan berdaya saing. Namun sayangnya, hal ini tak sejalan dengan peran pemerintah mendorong pertumbuhan ekosistem pertembakauan. Sebaliknya, masih banyak regulasi eksesif dan tidak komprehensif yang mengelilingi sektor pertembakauan. "Komitmen untuk membangun ekosistem pertembakauan baik di tingkat hulu maupun hilir masih minim," kata dia.
Hananto mencontohkan, narasi terhadap revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih terus digaungkan. AMTI bersama mata rantai ekosistem pertembakauan telah bersurat kepada Presiden untuk memohon perlindungan dan menyampaikan aspirasi untuk menolak revisi PP 109 Tahun 2012 dalam bentuk regulasi apapun.
Di sisi lain, regulasi seperti Raperda maupun Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga masih banyak yang tidak harmoni dengan peraturan perundangan di atasnya. Ditambah lagi dengan kentalnya unsur intervensi asing seperti dalam momentum gelaran 7th Asia Pacific Summit Mayors APCAT yang di dalamnya hadir sejumlah lembaga asing. "Pada hajatan internasional tersebut, secara terang-terangan lembaga asing menjadi sponsor untuk mengatur kebijakan tembakau di Indonesia," tegas Hananto.
Menurut Hananto, empat pilar yang disebut-sebut menjadi pegangan pemerintah dalam penentuan kebijakan seperti pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal, juga tidak berimbang. Dalam hal pengendalian konsumsi misalnya, Kementerian Keuangan dalam menentukan kebijakan fiskal, justru berlandaskan data tebang pilih.
"Industri hasil tembakau juga sejalan dengan pemerintah untuk memerangi perokok usia muda. Namun, data yang menjadi acuan tidak jelas. Data yang digunakan justru data Riskesda yang berbeda dengan data BPS. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada kelompok umur di bawah 18 tahun telah berada di angka 3,44%," ungkapnya.
BPS ditunjuk sebagai lembaga pengelola data, satu data Indonesia, karena itu BPS bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengelola data. Namun kebijakan yang diambil seolah meragukan akurasi dan validitas data BPS. Padahal, data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan.
Regulasi yang tidak komprehensif juga sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan terkait penerapan regulasi pertembakauan, terutama yang berkaitan dengan dampak kesehatan. Ekosistem pertembakauan, sebut Hananto, diframing harus bertangungjawab atas berbagai penyebab penyakit. Mulai dari kesehatan ibu anak, penyakit akut dan kronis, hingga risiko kematian.
"Ini tidak adil. Seolah-olah semua penyakit yang ada di dunia ini disebabkan oleh tembakau. Tentunya ini harus dibuktikan dengan kajian ilmiah dan data yang lengkap. Ini memengaruhi regulasi fiskal dan non fiskal yang mengatur seluruh ekosistem pertembakauan," ujarnya.
Sebab itu, ketika seluruh dunia saat ini tengah dalam kondisi waspada risiko stagflasi akibat ketidakpastian ekonomi global, di mana inflasi melonjak, sedangkan pertumbuhan ekonomi menurun dan angka pemutusan hubungan kerja meningkat, pemerintah harus memiliki sense of crisis.
"Peran pemerintah bukan sekadar memitigasi potensi-potensi penerimaan negara namun juga harus memiliki sense of crisis. Pemerintah harus sensitf, membantu, memberi kesempatan sektor atau segmen industri yang bisa bertahan sejauh ini, salah satunya ekosistem pertembakauan," tambahnya.
"Dengan segala daya dan upaya, sektor pertembakauan berhasil mencapai target dan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Bahkan, tahun depan, proyeksi penerimaan CHT dinaikkan mencapai Rp 245,45 triliun," ujar Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono, Kamis (15/122022).
Sebab itu, elemen eksosistem pertembakauan menyayangkan, di tengah kondisi kontraksi ekonomi seharusnya ekosistem pertembakauan diberi ruang untuk semakin bertumbuh dan berdaya saing. Namun sayangnya, hal ini tak sejalan dengan peran pemerintah mendorong pertumbuhan ekosistem pertembakauan. Sebaliknya, masih banyak regulasi eksesif dan tidak komprehensif yang mengelilingi sektor pertembakauan. "Komitmen untuk membangun ekosistem pertembakauan baik di tingkat hulu maupun hilir masih minim," kata dia.
Hananto mencontohkan, narasi terhadap revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih terus digaungkan. AMTI bersama mata rantai ekosistem pertembakauan telah bersurat kepada Presiden untuk memohon perlindungan dan menyampaikan aspirasi untuk menolak revisi PP 109 Tahun 2012 dalam bentuk regulasi apapun.
Di sisi lain, regulasi seperti Raperda maupun Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga masih banyak yang tidak harmoni dengan peraturan perundangan di atasnya. Ditambah lagi dengan kentalnya unsur intervensi asing seperti dalam momentum gelaran 7th Asia Pacific Summit Mayors APCAT yang di dalamnya hadir sejumlah lembaga asing. "Pada hajatan internasional tersebut, secara terang-terangan lembaga asing menjadi sponsor untuk mengatur kebijakan tembakau di Indonesia," tegas Hananto.
Menurut Hananto, empat pilar yang disebut-sebut menjadi pegangan pemerintah dalam penentuan kebijakan seperti pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal, juga tidak berimbang. Dalam hal pengendalian konsumsi misalnya, Kementerian Keuangan dalam menentukan kebijakan fiskal, justru berlandaskan data tebang pilih.
"Industri hasil tembakau juga sejalan dengan pemerintah untuk memerangi perokok usia muda. Namun, data yang menjadi acuan tidak jelas. Data yang digunakan justru data Riskesda yang berbeda dengan data BPS. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada kelompok umur di bawah 18 tahun telah berada di angka 3,44%," ungkapnya.
BPS ditunjuk sebagai lembaga pengelola data, satu data Indonesia, karena itu BPS bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengelola data. Namun kebijakan yang diambil seolah meragukan akurasi dan validitas data BPS. Padahal, data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan.
Regulasi yang tidak komprehensif juga sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan terkait penerapan regulasi pertembakauan, terutama yang berkaitan dengan dampak kesehatan. Ekosistem pertembakauan, sebut Hananto, diframing harus bertangungjawab atas berbagai penyebab penyakit. Mulai dari kesehatan ibu anak, penyakit akut dan kronis, hingga risiko kematian.
"Ini tidak adil. Seolah-olah semua penyakit yang ada di dunia ini disebabkan oleh tembakau. Tentunya ini harus dibuktikan dengan kajian ilmiah dan data yang lengkap. Ini memengaruhi regulasi fiskal dan non fiskal yang mengatur seluruh ekosistem pertembakauan," ujarnya.
Sebab itu, ketika seluruh dunia saat ini tengah dalam kondisi waspada risiko stagflasi akibat ketidakpastian ekonomi global, di mana inflasi melonjak, sedangkan pertumbuhan ekonomi menurun dan angka pemutusan hubungan kerja meningkat, pemerintah harus memiliki sense of crisis.
"Peran pemerintah bukan sekadar memitigasi potensi-potensi penerimaan negara namun juga harus memiliki sense of crisis. Pemerintah harus sensitf, membantu, memberi kesempatan sektor atau segmen industri yang bisa bertahan sejauh ini, salah satunya ekosistem pertembakauan," tambahnya.
(nng)